Penangkapan Terduga Teroris Berulang di Cirebon, Program Penanggulangan Mendesak
Penangkapan terduga teroris terus berulang di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya atau Formasina pun mendesak pemerintah daerah menyiapkan program penanggulangan ekstremisme dan terorisme.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Penangkapan terduga teroris terus berulang di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya atau Formasina pun mendesak pemerintah daerah segera menetapkan rencana aksi daerah untuk penanggulangan ekstremisme dan terorisme.
Kasus teranyar, Detasemen Khusus 88 Antiteror meringkus seorang terduga teroris berinisial AT (28) di Desa Kubang, Kecamatan Talun, Selasa (7/2/2023) pagi. Warga asal Palembang, Sumatera Selatan, itu tinggal di Cirebon sejak Agustus 2021. Ia diduga termasuk jaringan teroris.
Penangkapan AT menambah daftar orang yang diduga terlibat terorisme di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan atau Cirebon Raya. Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Formasina mencatat, sekitar 60 orang pernah ditangkap di Cirebon dan sekitarnya karena dugaan terorisme.
”Pada semua kecamatan di Kota Cirebon, terdapat warga yang pernah terlibat jaringan terorisme. Di Kabupaten Cirebon, terdapat 17 kecamatan yang warganya pernah ditangkan Densus 88,” ujar Sekretaris YSK Syamsul Alam dalam pernyataan tertulis Formasina yang diterima Kompas, Minggu (12/2/2023).
Formasina merupakan forum gabungan sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media yang fokus untuk rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme. Anggota forumnya, antara lain, YSK, Fahmina Institute, hingga Gusdurian Cirebon.
Inisiator Formasina, Marzuki Wahid, menilai, para terduga teroris yang ditangkap di wilayah Cirebon tidak selalu beraksi di Cirebon. ”Mereka memang terlibat dalam jaringan terorisme di sejumlah daerah di Indonesia. Cirebon hanya menjadi tempat persinggahan pelaku,” ujarnya.
Marzuki menilai, para terduga teroris memilih tempat persinggahan di Cirebon karena sejumlah faktor. Selain lokasi Cirebon yang relatif dekat dengan ibu kota negara, para terduga teroris juga dinilai memanfaatkan karakter masyarakat Cirebon yang toleran.
Karakter toleran itulah yang menyebabkan banyak warga Cirebon tidak menaruh curiga terhadap terduga teroris yang tinggal di wilayah tersebut meski mereka berasal dari luar daerah.
Kondisi itulah yang terjadi pada AT. Terduga teroris itu telah berbaur dengan warga setempat. Bahkan, dia menjual kerupuk Palembang di warung-warung.
”Waktu penangkapannya, warga kaget karena orangnya tidak terlalu mencurigakan. Dia setiap hari ke masjid. Orangnya sopan,” ujar Kepala Urusan Umum Desa Kubang Aa Nurkasim.
Marzuki menyebut, kasus AT menunjukkan lemahnya sistem peringatan dini terkait terorisme. ”Belum adanya formulasi yang efektif untuk mengidentifikasi ancaman terorisme di lingkungan masyarakat,” ungkap Rektor Institut Studi Islam Fahmina itu.
Pada semua kecamatan di Kota Cirebon, terdapat warga yang pernah terlibat jaringan terorisme.
Oleh karena itu, Marzuki mendesak pemerintah daerah (pemda) membuat program penanggulangan kasus terorisme. ”Pemda harus menetapkan rencana aksi daerah penanggulangan aksi kekerasan berbasis ekstremisme atau terorisme sebagai kebijakan prioritas,” ujarnya.
Marzuki menambahkan, dalam rencana aksi daerah itu, pemda harus melibatkan masyarakat untuk mengidentifikasi potensi terorisme. Rencana aksi daerah itu juga mesti mencakup program reintegrasi dan rehabilitasi bagi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme.
Hal ini karena proses reintegrasi dan rehabilitasi itu penting untuk mencegah kasus terorisme berulang. Selain itu, Marzuki juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dan tetap menjaga kedamaian.