”Ngenger” di Wangsakerta Cirebon, Anak Muda Belajar Mengerti Diri dan Alam
”Ngenger” adalah program belajar pertanian organik, peternakan, dan pengorganisasian warga. Kegiatan yang dimulai sejak September 2021 itu tidak dipungut biaya.
Jika perusahaan menawarkan magang dengan daya tarik kapital dan lowongan kerja, Sekolah Alam Wangsakerta di Cirebon, Jawa Barat, mengusung ”Ngenger”. Program intensif tiga bulan itu membekali muridnya dengan pengetahuan dan keterampilan untuk memahami diri juga alam.
Sambil menenteng celurit, Taryati (18) berjalan menuju semak belukar di Kampung Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Senin (6/2/2023). Senjata tajam itu bukan untuk mengeroyok orang lain, seperti yang dilakukan sejumlah remaja di Cirebon akhir-akhir ini.
Dengan alat itu, ia memotong rumput pakchong sebelum menjemur dan mencacahnya memakai mesin. ”Kalau enggak dicacah, bibir kambing bisa luka karena ujung rumput tajam. Seperti ini nanti,” ucap Ati, sapaannya, sambil menunjukkan goresan di tangannya yang kuning langsat.
Selain rumput pakchong, Ati juga mencampurkan indigofera yang mengandung protein bagi ternak. Pengetahuan tentang ternak hingga keterampilan memotong rumput itu tidak ia dapatkan di rumah atau bangku sekolah. Akan tetapi dalam program Ngenger Sekolah Alam Wangsakerta.
Baca juga: Wangsakerta dan Rempah Karsa Memuliakan Rempah di Cirebon
”Ngenger” adalah program magang tiga bulan di SA Wangsakerta di Karangdawa. Selama itu, peserta belajar pertanian organik, peternakan, dan pengorganisasian warga. Kegiatan yang dimulai sejak September 2021 itu tidak dipungut biaya dan mengutamakan anak putus sekolah.
Ati, misalnya, putus sekolah di tingkat menengah atas karena persoalan ekonomi. Warga Desa Tinumpuk, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jabar, ini tertarik mengikuti ”Ngenger” setelah diajak Mutia, aktivis setempat. Ia menjadi angkatan kedua ”Ngenger”pada Mei 2022.
”Aku kan enggak sekolah, enggak ngapa-ngapain di rumah, enggak produktif. Jadi, ikut aja,” ucap perempuan berambut pendek seleher ini. Ati tinggal dengan bibinya. Orangtuanya yang menikah muda telah lama bercerai. Ibunya sempat menjadi pekerja migran di Timur Tengah.
Sebelumnya, teman saya di rumah itu HP ( hand phone). Sama tetangga saja saya enggak saling sapa. Di sini saya juga sudah bisa masak.
Setelah komunikasi dengan kakaknya yang kerja di luar daerah, ia diizinkan ikut ”Ngenger”. ”Tadinya, aku kira di sini mau bikin jamu karena kata Mbak Mutia, Wangsakerta produksi herbal,” ujarnya diikuti tawa. Aneka tanaman obat, seperti kunyit, jahe, dan kelor memang ada.
Faktanya, Ati tidak hanya belajar tentang rempah, tetapi juga beternak, bertani, dan berinteraksi dengan warga lainnya. ”Sebelumnya, teman saya di rumah itu HP (hand phone). Sama tetangga saja saya enggak saling sapa. Di sini saya juga sudah bisa masak,” ujarnya.
”Tapi, ngasih garamnya terlalu royal,” celetuk Haamid (23), peserta ”Ngenger” angkatan ketiga, sambil menyantap sambal terung buatan Ati. Cabai dan terung itu ditanam dengan pupuk organik di lahan SA Wangsakerta. Mendengar sindiran itu, Ati tertawa sambil menundukkan kepala.
Meskipun tangannya kerap menyentuh tanah hingga kotoran kambing, Ati merasa betah dengan ”Ngenger”. Ia bahkan, sudah sembilan bulan di sana. Selain diizinkan keluarga, remaja beralis tebal dan hidung mancung ini juga ingin mengikuti ujian Paket C yang difasilitasi Wangsakerta.
Seperti Ati, Haamid juga antusias masuk ”Ngenger”. Ia ikut program itu awal Januari. Padahal, ”Ngenger” ketiga berlangsung sejak November 2022 hingga bulan lalu. Meskipun rekan-rekannya sudah pulang, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon tetap semangat.
”Saya orang Tengah Tani, Cirebon, tetapi enggak ngerti tani. Makanya, saya ikut di sini. Apalagi, ada ajakan teman,” ucap anak pedagang dan guru mengaji ini. Sebulan di Wangsakerta, ia kini mahir membuat eco enzyme, hasil fermentasi limbah organik, seperti sayuran, gula, dan air.
Haamid juga belajar beternak bebek. Salah satu tugasnya, mencari sayuran bekas di warung dan pasar untuk menjadi bahan pakan ternak. ”Pedagangnya malah senang karena masalah sampahnya selesai. Sampah itu juga bisa mengurangi biaya pakan karena dedak mahal,” katanya.
Ia mencontohkan, kebutuhan dedak untuk sekitar 120 ekor unggas di Wangsakerta dalam seminggu minimal 40 kilogram. Dengan harga dedak Rp 4.000, biaya dedak itu bisa mencapai Rp 160.000. Dengan campuran sayuran bekas, lanjutnya, komposisi dedak bisa hanya 15 persen.
Lebih dari itu, mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam ini kini merasa lebih mengenal alam. ”Dari TK (taman kanak-kanak) sampai SMK, saya mondok di pesantren. Habis itu, saya di rumah aja. Dari kecil saya enggak kenal tetangga. Saya ke sini buat kenal lingkungan,” ucapnya.
Makan yang ditanam
Wakhit Hasim, salah satu pendiri SA Wangsakerta, mengatakan, ”Ngenger” berasal dari bahasa Jawa yang berarti mengikuti seseorang. ”’Ngenger’ mengkritik sistem magang yang berorientasi kapital. Di sini, tujuannya mengenal diri dan alam. Alam paling dekat itu pangan,” ujarnya.
Awal pembelajaran, Wakhit meminta peserta menuliskan apa saja yang dimakan dan menganalisa. Dari pemetaan itu, hampir seluruh murid mengatakan, makanannya dibeli dari pasar dan supermarket. Padahal, mereka sebenarnya bisa memproduksi sejumlah bahan pangan.
Namun, ketiadaan lahan, putusnya pengetahuan soal pangan, dan ribet menjadi sederet alasan untuk tidak menanam. Kapitalisme, lanjutnya, memanfaatkan itu dengan menjual bahan pangan praktis. Akhirnya, warga lebih mengenal merek bumbu instan tertentu dibandingkan rempah.
”Ngenger” mencoba mengajak siapa pun untuk kembali mengenal diri dan alam. Istilahnya, nanem sing dipangan, pangan sing dimakan. Pengertian bebasnya, menanam yang dimakan dan makan yang ditanam. Itu sebabnya, ”Ngenger” tidak hanya berisi teori, tetapi juga praktik.
”Dengan begitu, orang menghargai tani sehingga mau menanam. Kesadaran ini yang tidak mudah dan cepat,” ungkap Wakhit yang juga dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Waktu tiga bulan, lanjutnya, dianggap pas untuk memahami keterampilan bertani dan punya perspektif.
Baca juga: Farida Mahri, Asa bagi Anak Desa yang Putus Sekolah
Dengan mengenal alam, peserta bisa mengerti dirinya. Seorang peserta, misalnya, merupakan korban pemasungan bertahun-tahun. ”Dia mantan pekerja migran yang jadi korban perdagangan orang. Waktu pulang ke Indramayu dia depresi dan dipasung,” ucap Farida Mahri, istri Wakhit.
Alih-alih membedakan dengan peserta lainnya, Farida memperlakukan perempuan itu seperti murid lainnya. Ia belajar mencangkul, membuat pupuk kompos, dan menulis laporan. ”Awal ke sini, dia enggak senyum. Setelah dua bulan, dia bisa ketawa. Kami ikut senang,” ujarnya.
Sejak memulai program ”Ngenger” September 2021, sudah ada tiga angkatan. Awalnya, tiga murid lalu angkatan kedua tercatat tujuh orang. Angkatan ketiga, ada enam orang. Pesertanya berasal dari Cirebon, Indramayu, Bandung, Sukabumi di Jabar, hingga Luwu, Sulawesi Selatan.
Kini, berbagai lulusannya telah punya bekal membuat pupuk organik hingga mengorganisasi orang. Haamid, misalnya, mulai menanam bunga telang dan cabai secara organik. Sementara Ati yang perlahan mahir berbicara di depan umum bercita-cita menjadi kepala desa atau kuwu.
Lihat juga: Sekolah Alam Wangsakerta, Mengolah Tanaman dengan Ramah Lingkungan