Wangsakerta dan Rempah Karsa Memuliakan Rempah di Cirebon
Potensi rempah-rempah belum optimal dimanfaatkan. Padahal, komoditas ekspor ini menguntungkan. Yayasan Wangsakerta dan Rempah Karsa pun mengembangkan usaha rempah di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Yayasan Wangsakerta dan Rempah Karsa mengembangkan usaha rempah di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Selain menggali potensi pangan lokal, kolaborasi itu juga bakal memberdayakan masyarakat setempat dalam produksi hingga pemasaran rempah.
Kerja sama itu tertuang dalam nota kesepahaman yang ditandatangani kedua pihak di Saung Wangsakerta, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Sabtu (21/5/2022). Yayasan Wangsakerta merupakan lembaga yang bergerak di bidang pangan, energi, dan pendidikan. Adapun Rempah Karsa adalah usaha mikro kecil menengah peracik rempah, herbal, dan turunannya.
Ketua Yayasan Wangsakerta Farida Mahri mengatakan, kerja sama tersebut meliputi produksi rempah, pengeringan, hingga pemasaran. ”Kami akan mengajak warga di Dusun Karangdawa (Setupatok) untuk menanam rempah. Paling tidak, warga punya tambahan penghasilan,” katanya.
Selama ini, petani setempat belum meraup untung dari bertani. Sebab, banyak lahan tidur yang tidak diolah karena kekeringan saat musim kemarau. Dengan menanam rempah, seperti daun kelor, lanjutnya, petani tak perlu khawatir kesulitan air. Bahkan, banyak daun kelor tumbuh liar.
”Kebutuhan rempah-rempah ini luar biasa. Ada perusahaan yang meminta 20 ton daun kelor seminggu. Kami jelas belum mampu,” ucap Farida. Pihaknya baru mampu memproduksi kelor, kunyit, jahe, kacang koro pedang, hingga daun rosela dalam skala belasan kilogram per minggu.
Padahal, harga rempah-rempah tersebut lebih tinggi dibandingkan padi. Misalnya, harga satu kilogram daun rosela kering mencapai Rp 50.000, sedangkan harga gabah kering giling berkisar Rp 5.000 per kilogram. Harga kunyit kering bahkan bisa menyentuh Rp 55.000 per kg.
Pengelolaan
Berbagai tanaman itu berasal dari sejumlah petani di Karangdawa dan mitra Wangsakerta di Cirebon. Selanjutnya, rempah-rempah tersebut dikeringkan dalam ruangan 14 x 6 meter dengan suhu hingga 42 derajat celsius. Pihaknya lalu mengirim bahan itu ke perusahaan.
Pengelolaan rempah tersebut, lanjutnya, juga bakal melibatkan murid program Ngenger Sekolah Alam Wangsakerta. Dalam program itu, anak-anak tinggal selama tiga bulan di Saung Wangsakerta dan rumah penduduk. Selain memetakan potensi desa, mereka juga belajar bertani.
Pemilik Rempah Karsa, Puji F Susanti, juga bekerja sama dengan bagian farmakologi salah satu kampu swasta di Jakarta. Menurut dia, rempah juga bisa dijadikan obat herbal. ”Jadi, enggak hanya bikin dan jual rempah, tetapi mereka (warga) juga mengerti cara pengolahannya,” ujarnya.
Selama ini, masyarakat belum memahami manfaat rempah-rempah. Bahkan, lanjutnya, masih banyak orang yang tidak lagi mengetahui kencur seiring menjamurnya bumbu kemasan produksi perusahaan. ”Padahal, rempah itu kearifan lokal dan mewakili kita di depan dunia,” ucapnya.
Jadi, enggak hanya bikin dan jual rempah, tetapi mereka (warga) juga mengerti cara pengolahannya. (Puji Susanti)
Puji juga menilai, kebutuhan rempah-rempah semakin meningkat pascapandemi Covid-19 pada 2020. Rempah-rempah dianggap mampu menambah imunitas tubuh. ”Tahun 2020 itu, omzet kami bisa naik 10 kali lipat. Bahkan, semakin banyak kompetitor termasuk perusahaan,” ujarnya.
Dalam sepekan, Puji membutuhkan sedikitnya 100 kilogram rempah-rempah, seperti kencur, kunyit, dan jahe. Bahan itu didatangkan dari Wonogiri dan daerah lain di Jawa Tengah. Tingginya permintaan akan rempah-rempah membuat harga komoditas itu naik.
Terlebih lagi, rempah-rempah juga diekspor ke sejumlah negara. Volume ekspor kunyit segar, misalnya, dari 7.163 ton pada 2015 menjadi 9.914 ton tahun 2020. India, Singapura, dan Malaysia menjadi tujuan utama ekspor kunyit. ”Tapi, ekspor masih banyak berbentuk mentah, belum olahan. Ini mengurangi nilai tambah rempah,” katanya.