Kejahatan Anak, Korban dan Pelaku Terempas Lingkaran Setan yang Sama
Kepada anak yang tewas, AH melayangkan 15 tendangan. Dia juga tujuh kali menendang anaknya yang lain yang kini dirawat di rumah sakit.
Tidak mudah menghakimi siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus kekerasan yang melibatkan anak. Anak rentan menjadi pelakunya. Namun, dalam kesempatan yang sama, anak juga rawan menjadi korban dari arus kencang lingkaran setan kejahatan tanpa ujung.
Rabu (8/2/2023), empat orang berusia di bawah 18 tahun duduk tertunduk di halaman Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, Rabu (8/2/2023). Topeng menutupi wajahnya. Hanya hidung, mulut, dan dua mata yang terlihat. Sorot mata mereka tidak bisa menyembunyikan usia yang belia.
”Mereka tersangka pengeroyokan yang melukai dua orang. Dari 11 tersangka, kami menangkap tujuh. Anak-anak ada empat, rata-rata usia 16 tahun. Tiga tersangka lainnya dewasa,” ujar Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Ariek Indra Sentanu.
Keempat anak di bawah umur itu berinisial T, EP, S, dan BS. Sementara ketiga tersangka berusia dewasa adalah AS, SP, dan R.
Adapun empat tersangka lainnya, termasuk tiga yang masih berusia anak, kini dalam pencarian polisi. Identitas mereka sudah diketahui aparat.
Ariek memaparkan, kasus pengeroyokan itu terjadi pada Minggu (29/1/2023) pukul 00.30 di Jalan Prujakan, Pekalangan, Kota Cirebon, Jawa Barat. Awalnya, pada Sabtu (28/1/2023) malam, T, SP, dan seorang tersangka yang sedang buron tengah asyik menenggak minuman keras.
Baca juga: Lindungi Anak-anak dari Jerat Situs Berbahaya
Mulai mabuk, ketiganya nekat mengendarai sepeda motor keliling kota sambil membawa celurit. Dalam perjalanan, mereka bertemu R, AS, S, EP, dan BS yang membawa katana. Ikut juga tiga tersangka lainnya yang masih buron.
Saat berkeliling bersama menggunakan sepeda motor di Jalan Prujakan, tersangka menemui lima korban yang juga naik sepeda motor. ”Mereka meneriaki korban seakan-akan lawannya,” ujarnya.
Seorang korban mengatakan, bukan geng motor seperti yang diutarakan para tersangka. Namun, para tersangka tetap mengejar dan menendang sepeda motor korban.
Saat dua korban terjatuh, tersangka mengeroyok korban. Bahkan, dua korban terbacok di kepala dan kaki.
”Kejadian ini dipergoki polisi patroli. Tidak lebih dari 24 jam, polisi sudah menangkap tujuh tersangka,” ungkap Ariek. Dari tersangka, polisi menyita dua sepeda motor dan sebilah celurit sepanjang 60 sentimeter.
Atas tindakannya, tersangka diduga melanggar Pasal 170 Ayat 2 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan luka berat. Ancaman penjaranya maksimal 9 tahun.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Perida Apriani Sisera mengatakan, tersangka anak akan menjalani peradilan anak. ”Kami juga berkoordinasi dengan Bapas (Balai Pemasyarakatan Kelas I Cirebon) untuk penelitian tersangka anak,” ujar Perida.
Menurut dia, kasus kriminal yang melibatkan anak bukan kali ini saja. Tahun 2021, misalnya, data dinas sosial setempat menunjukkan 54 anak di Cirebon berhadapan dengan hukum.
”Mereka tidak bisa lagi membedakan mana yang mengancam keselamatan jiwa dan mana yang tidak. Mereka membawa senjata tajam untuk menyakiti orang,” ungkapnya.
Pihaknya telah berupaya mencegah tawuran atau pengeroyokan yang melibatkan anak. Salah satunya dengan patroli rutin setiap malam di sejumlah titik rawan tawuran.
”Namun, kalau kami fokus ke satu titik, mereka pindah ke titik lainnya. Kami hanya di bagian hilir atau penindakan hukum. Seharusnya orangtua juga mengawasi anak-anaknya,” ujarnya. Pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah setempat hingga pemerhati anak untuk mencegah kriminalitas yang melibatkan anak.
Asih Widiyowati, pendiri Umah Ramah, lembaga yang fokus pada isu perempuan dan anak, menilai, faktor polah asuh anak, stigma buruk dari lingkungan, hingga impitan ekonomi turut memengaruhi kasus kriminalitas yang melibatkan anak. Misalnya, orangtua tidak punya banyak waktu untuk bersama anaknya dan akhirnya berkonflik.
Menurut Asih, anak yang terlibat dalam kriminal kerap tidak senang dengan perangai orangtuanya, misalnya orangtua mereka sering bertengkar atau bercerai.
”Akhirnya mereka mencari model lain di luar rumah,” ujarnya.
Kondisi kian buruk ketika orang yang jadi model itu terlibat kekerasan atau tindakan kriminal lainnya. Itu sebabnya, menurut dia, orangtua harus bisa menjadi sahabat bagi anaknya.
Ironisnya, tidak semua orangtua piawai menjadi sahabat bagi anak. Mereka kesulitan mendengar dan gagal memahami isi kepala anak-anak. Ujungnya sering kali fatal. Bagi beberapa orangtua yang akrab dengan kekerasan, pukulan dan tendangan juga yang biasa dilakukan ketika mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Anak tewas
Contoh paling anyar setidaknya terjadi di Cimahi, Jabar. AN (34), seorang ayah, menyiksa dua anaknya. Ironisnya, salah seorang anaknya di antaranya bahkan meregang nyawa.
Raut wajah AN muram saat digelandang polisi di Markas Polres Cimahi, Rabu (8/2/2023). Kepala plontosnya menunduk ke bawah, menatap aspal jalan sambil berjalan.
”Saya menyesal,” ujar AN yang keluar masuk penjara karena kasus pencurian dengan kekerasan.
Namun, semua terlambat. Ulahnya telanjur mencabut nyawa anak perempuannya, AH (11). AA (12), kakak AH, tidak lebih beruntung. Dia kini menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Senin (6/2/2023), entah kenapa AN menuduh AH dan AA mencuri uang hasil mengamen Rp 450.000. Menurut rencana, uang itu akan digunakan membayar sewa kamar kontrakan di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi.
”Saya tidak ingin mereka menjadi anak nakal seperti saya dan ibunya. Saya juga pernah ngomong baik-baik, tetapi tidak menurut,” ujarnya.
Kepala Polres Cimahi Ajun Komisaris Besar Aldi Subartono mengatakan, AH tewas setelah dihantam benda tumpul. Bekasnya tertinggal di seluruh tubuh. Tidak jauh berbeda, AA terluka kepala hingga mata lebam. Tangan kiri patah.
”Kepada anaknya yang meninggal, pelaku melayangkan 15 tendangan. Pelaku juga tujuh kali menendang anaknya yang kini dirawat di rumah sakit,” kata Aldi.
Kasus ini terungkap saat salah satu kerabat korban melaporkan AH yang meninggal dengan luka di tubuh. Di awal pemeriksaan, pelaku tidak mengakui AH adalah korban pembunuhan. Dia menyebut anaknya jatuh dari tangga.
Namun, petugas tidak percaya. Setelah diinterogasi, pelaku baru mengakui bahwa dia menganiaya kedua anaknya hingga salah satu di antaranya tewas.
Dari interogasi dan pemeriksaan, pelaku diduga beberapa kali penyiksaan kepada para korban. Berdasarkan keterangan dari para saksi dan warga, kata Aldi, mereka tidak mendengar suara tangisan, tetapi ada suara mencurigakan seperti benturan.
”Ini identik dengan keterangan pelaku bahwa saat menganiaya korban, mereka tidak menangis dengan tendangan dan pukulan tersebut. Kemudian dari keterangan saksi tidak mendengar tangisan, tetapi sering mendengar suara jedag-jedug,” ujarnya.
Akibat tindakannya, AN menghadapi konsekuensi hukum. Aldi berujar, pelaku dijerat dengan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 44 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga subsider Pasal 340 dan atau Pasal 338 dan atau Pasal 351 KUHP.
”Pelaku terancam hukuman penjara paling lama 20 tahun atau seumur hidup, bahkan hukuman mati. Berdasarkan konstruksi hukum yang kami bangun, perbuatan ini tidak hanya sekali. Karena itu, kami sepakat untuk memasang Pasal 340 (pembunuhan berencana),” ujarnya.
Nyawa yang hilang tidak akan kembali. Luka fisik atau trauma batin juga mungkin bakal lama sembuh. Namun, usaha baik menekan kejahatan yang melibatkan atau memakan korban jiwa pada anak-anak seharusnya tidak boleh berhenti. Tanpa kerja bersama, lingkaran setan kejahatan ini tidak akan berhenti berputar dan memicu korban baru di kemudian hari.
Baca juga: Anak-anak di Rusun Butuh Perlindungan dari Ancaman Kejahatan Seksual