Yenny Wahid: Gus Dur Tak Hanya Mewariskan Nilai Pluralisme dan Toleransi
Gus Dur tak hanya mewariskan nilai pluralisme dan toleransi, tetapi juga nilai-nilai kebaikan yang lain.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak hanya mewariskan nilai pluralisme dan toleransi sebagaimana diketahui banyak orang selama ini, tetapi juga mewariskan nilai-nilai yang lain, seperti keadilan dan membantu mereka yang terzalimi.
Hal itu disampaikan salah satu putri Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, pada acara Haul Ke-13 Gus Dur dan 100 Hari Tragedi Kanjuruhan, di Pendopo Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (5/2/2023).
Di hadapan seribuan umat Islam yang memenuhi pendopo, Yenny mengatakan dirinya ingin mengoreksi keasalahpahaman di masyarakat tentang apa yang diwariskan oleh orangtuanya itu. ”Fungsinya apa? Untuk kita lebih punya pemahaman mengenai sosok Gus Dur seperti apa,” ucapnya.
Seusai haul, Yenny meresmikan penamaan Jalan KH Abdulrachman Wahid yang membentang dari Desa Penarukan hingga Kedung Pedaringan di Kecamatan Kepanjen.
Hadir pada kesempatan ini, antara lain, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NahdlatulUlama (PBNU) KH Imron Rosyadi Hamid,Rois Syuriah NU Kabupaten Malang KH Zainul Arifin, Ketua Tanfidziyah NU Kabupaten Malang KH Hamim Kholili,Bupati Malang M Sanusi beserta jajaran, serta Barisan Kader Gus Dur dan tokoh lintas agama.
Menurut Yenny, rata-rata orang mengatakan Gus Dur cuma mewariskan nilai-nilai tentang pluralisme dan perdamaian. ”Itu hanya salah satu, Gus Dur jauh lebih banyak yang diwariskan,” katanya.
Gus Dur tak hanya memperjuangkan kelompok minoritas. Yang dia perjuangkan adalah mereka yang terzalimi, baik itu mayoritas apalagi minoritas. Jika yang terzalimi kebetulan kelompok minoritas, itu pasti akan dibela olehnya.
Yenny menyebut saat Orde Baru yang terzalimi adalah kelompok mayoritas. Bagaimana Gus Dur marah mengetahui kasus penculikan terhadap mahasiswa, petani yang diserobot haknya, hingga penghilangan aktivis buruh Marsinah saat menuntut hak.
”Itu semua mayoritas, orang Islam semua. Namun, kalau ada minoritas akan beribadah dipersulit, ya, tetap dibela oleh Gus Dur. Jadi, bukan cuman membela satu kelompok, tidak. Semua dibela,” ujarnya.
Begitu pula soal toleransi, Gus Dur tak hanya memperjuangkan itu, tetapi juga keadilan. Gus Dur juga membela sesama warga Indonesia yang diperlakukan tidak adil.
”Toleransi memang sudah kehendak Allah. Manusia diciptakan beragam. Kalau kita taaruf (perkenalan) jadi kenal, caramu mendekat ke Tuhanmu seperti ini, ya gakpopo (tidak apa-apa), coroku ngene (caraku begini). Selama semua untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” katanya.
Menurut Yenny, saat ini Indonesia menjadi terkenal karena toleransi. Orang dari penjuru dunia datang ke Indonesia untuk belajar soal toleransi. Terakhir Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim bertanya kepada Presiden Joko Widodo bagaimana cara mengatasi radikalisme dan politik identitas.
Indonesia sejak lama menerapkan toleransi. Saat ikrar bersama Sumpah Pemuda 1928. Juga bagaimana Bung Karno dan pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan RI pada 1945 yang didasarkan pada kebinekaan merupakan bukti pelaksanaan toleransi sejak dulu.
”Uni Emirat Arab, di sana sampai dibuat Kementerian Toleransi. Kalau kita tidak perlu membuat karena sudah mempraktikkan toleransi. Apalagi orang NU, tasamuh (saling menghormati) menjadi salah satu nilai yang dari awal sudah didoktrinkan. Semua yang mengaku nahdliyin sikap dasarnya harus bertasamuh,” ucap Yenny mencontohkan bagaimana negara lain berupaya mewujudkan sikap toleran.
Semua yang mengaku nahdliyin sikap dasarnya harus bertasamuh. (Yenny Wahid)
Kekeliruan lain soal warisan Gus Dur dikaitkan nilai non-islami. Terkait hak asasi manusia (HAM), misalnya, menurut Yenny sudah lebih awal diperjuangkan oleh Islam ketimbang bangsa Barat. Tonggak HAM Barat, salah satunya Konvensi Geneva—salah satunya berisi kesepakatan melarang penyiksaan terhadap tawanan perang.
Ribuan tahun lalu, Nabi Muhammad sudah lebih dulu melarang akan hal itu saat perang. Orang harus diperlakukan dengan baik. ”Pohon saja tidak boleh ditebang. Makanya jangan bilang HAM milik orang Barat,” ucapnya.
Soal jender yang katanya milik orang Barat. Islam, lagi-lagi kata Yenny, lebih dulu mengajarkan soal itu. Salah satu revolusi mental di masa Nabi Muhammad adalah soal kesetaraan jender. Pada zaman jahiliah perempuan merupakan barang warisan, tetapi pada zaman Nabi mereka mendapat perlindungan dan hak atas harta suaminya.
Sementara itu, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Kepala Badan Koordinasi Wilayah III Budi Santoso, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan, Gus Dur telah meninggal dunia 13 tahun lalu, tetapi nilai-nilai, keteladanan, dan pemikiran yang diwariskannya tidak pernah dilupakan.
Semua pemikiran, cara bertindak, dan bersikap, menurut Khofifah, dapat menjadi referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa saat ini.
Semasa hidup, Gus Dur selalu memperjuangkan nilai-nilai kemanusian, pluralisme, inklusivisme, dan toleransi dengan keberagaman agama, suku, bangsa, budaya, dan adat istiadat. Termasuk berbagai persoalan dan konflik akibat menguatnya politik identitas, radikalisme, berbagai dampak negatif di era disrupsi informasi.
”Nilai-nilai yang telah dilakukan Gus Dur saat itu, di momentum 13 tahun wafatnya beliau, masih sangat relevan sebagai sikap dan komitmen generasi muda saat ini untuk terus memperjuangkan negara bangsa agar tetap bersatu dan berkeadilan,” katanya. (WER)