Gus Dur Sudah Mengajarkan, Saatnya Kita Meneruskannya...
Dengan segala karyanya, Gus Dur sudah mengajarkan banyak nilai kebaikan. Kini, saatnya kita untuk meneruskannya.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Atraksi barongsai dari Kelenteng Tiao Kak Sie menyambut Inayah Wahid, putri Gus Dur (kiri), dalam acara haul ke-13 Gus Dur di aula Gereja Bunda Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023) malam. Kegiatan yang dihadiri tokoh lintas iman dan berbagai komunitas itu untuk mengingat warisan nilai kemanusiaan dan keadilan dari Gus Dur.
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Warisannya tetap abadi meski Presiden keempat Indonesia itu telah berpulang 13 tahun silam. Kini, giliran anak bangsa meneruskan perjuangannya di tengah ancaman berbagai krisis.
Deretan lampion memayungi langit Gereja Bunda Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023). Sayup-sayup terdengar lantunan selawat. Warga berhijab hingga bersalib duduk bersama. Malam itu, semua memperingati haul ke-13 Gus Dur demi menjaga napas toleransi.
Dari dalam aula gereja, belasan santri Assirojulhasan Pondok Pesantren An-Nashuha, Pabedilan, menabuh rebana. Mengenakan gamis, sarung, dan kopiah, mereka mendendangkan Syi’ir Tanpo Waton, yakni rangkaian istigfar, selawat Nabi Muhammad SAW, dan syair berbahasa Jawa.
Seperti salib Yesus Kristus di ruangan itu, lantunan Syi’ir Tanpo Waton juga menyambut para tamu acara haul ke-13 Gus Dur. ”Ini pembelajaran untuk kami tentang toleransi. Ini acara yang baik. Ini pertama kali kami tampil di aula gereja,” kata Dani Ishakul (21), santri Assirojulhasan.
Dani dan santri lainnya sudah tiba di gereja sore hari. Mereka menumpangi mobil bak terbuka sekitar sejam dari Pabedilan. ”Waktu mau cek sound, ternyata sedang ada misa gereja. Kami tetap dipersilakan tes suara tetapi tidak pakai mik. Ini pelajaran saling menghargai,” ungkapnya.
Setelah para santri beraksi, giliran kelompok barongsai dari Kelenteng Tiao Kak Sie unjuk gigi. Dua remaja mengenakan kostum barongsai. Pemuda lainnya memukul gendang dan simbal. Bersama sejumlah pemuka agama, mereka mengiringi kedatangan Inayah Wahid, anak Gus Dur.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sejumlah tokoh lintas iman memanjatkan doa dalam acara haul ke-13 Gus Dur di aula Gereja Bunda Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023) malam. Kegiatan yang dihadiri tokoh lintas iman dan berbagai komunitas itu untuk mengingat warisan nilai kemanusiaan dan keadilan dari Gus Dur.
Valentino (37), pembina barongsai, merasa bangga bisa berpartisipasi dalam acara yang diinisiasi Jaringan Gusdurian Cirebon itu. ”Kami selalu ikut haul Gus Dur. Karena waktunya dekat dengan Imlek, maka sumbangsih sukarela dari wihara kali ini adalah barongsai,” ujarnya.
Ia sama sekali tak mempersoalkan barongsai, yang biasanya tampil di wihara, kini hadir di gereja. Bagi Valentino, barongsai merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dapat dinikmati siapa saja, tidak terbatas agama. ”Justru anggota kami itu orang Katolik dan Buddhis,” katanya.
Bahkan, katanya, barongsai bisa kembali ”mengudara” berkat sosok Gus Dur. Sebelum Gus Dur menjabat Presiden awal 2000-an, pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 melarang kegiatan adat istiadat komunitas Tionghoa di lingkungan publik.
Jangankan Cap Go Meh, perayaan 15 hari setelah Imlek, melihat barongsai pun sesuatu yang sulit bagi Valentino. Padahal, ia ingin sekali belajar budaya itu. Setelah Gus Dur mencabut regulasi itu, barulah masyarakat Tionghoa bisa menjalankan tradisinya di muka umum.
Valentino akhirnya menjadi pemain barongsai di Kelenteng Tek Hay Kiong, Tegal, Jawa Tengah. Ia berharap, apa yang terjadi kala Orde Baru tidak terulang lagi. Pengalaman diskriminasi itu, katanya, telah menyebabkan kesenjangan antargenerasi Tionghoa.
Generasi gap itu membuat tidak semua masyarakat Tionghoa bisa kehilangan identitasnya. Nama mereka diganti. ”Jangan sampai generasi sekarang lupa dengan peristiwa dulu. Haul Gus Dur kali ini untuk mengingatkan kembali perjuangan beliau supaya kita tidak lupa,” katanya.
Milik bersama
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Inayah Wahid, putri Gus Dur (baju hitam di tengah), bersama tokoh lintas iman berfoto dalam acara haul ke-13 Gus Dur di aula Gereja Bunda Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023) malam. Kegiatan yang dihadiri tokoh lintas iman dan berbagai komunitas itu untuk mengingat warisan nilai kemanusiaan dan keadilan dari Gus Dur.
Ketua panitia bersama haul ke-13 Gus Dur di Cirebon, Eva Zulfauzah (23), mengatakan, pelaksanaan haul di gereja juga mengingatkan sosok Gus Dur yang melindungi pemeluk agama lainnya. ”Kami ingin mempertegas bahwa Gus Dur bukan milik satu agama saja,” ungkapnya.
Itu sebabnya, rangkaian acara haul beragam, mulai dari donor darah, safari Imlek ke wihara, selawatan, tari topeng, paduan suara orang muda Katolik, hingga doa lintas iman. Panitianya pun berasal dari berbagai organisasi dan komunitas yang sebagian besar masih anak muda.
Semuanya ingin berkontribusi untuk haul Gus Dur. Bahkan, Romo Antonius Haryanto, Ketua Umum DPP Gereja Bunda Maria Cirebon, merasa begitu dekat dengan Presiden ke-4 RI itu meski belum pernah berjumpa secara langsung. Ia bahkan menyebut Gus Dur, ”Bapakku”.
”Terus terang, saya merasa tenang dan sejuk mendengarkan kata gitu aja kok repot dari Gus Dur. Saya memahaminya berbeda agama itu tidak repot,” ujarnya. Namunnya, masih ada pihak yang menganggap perbedaan agama sebagai alasan perpecahan, bukan modal persatuan.
Inayah Wahid, misalnya, tidak habis pikir ketika mendengar sindiran, ”Kok, bikin haul (Gus Dur) di gereja?” ”Saya kaget karena pertanyaan ini muncul di Cirebon, daerah yang jadi model keberagaman. Kalau di Cirebon saja ada yang berpikiran begini, bagaimana daerah lain?” katanya.
Putri keempat Gus Dur itu menilai, kekhawatiran adanya hal yang tidak diinginkan saat haul di gereja tidaklah berdasar. Sebab, kegiatan serupa bukan kali ini saja. Ibunya, Sinta Nuriyah, bahkan pernah memberikan tausiah di masjid yang bangunannya eks gereja di Amerika Serikat.
Inayah Wahid, putri Gus Dur, menyampaikan orasi kebudayaan dalam acara haul ke-13 Gus Dur di aula Gereja Bunda Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023) malam. Kegiatan yang dihadiri tokoh lintas iman dan berbagai komunitas itu untuk mengingat warisan nilai kemanusiaan dan keadilan dari Gus Dur.
Inayah menuturkan, setelah ayahnya wafat akhir 2009, keluarga menerima banyak undangan haul hampir setiap tahun dari beragam latar belakang. Inilah salah satu bukti bahwa Gus Dur yang memperjuangkan pluralisme bukan hanya milik keluarga, melainkan juga milik bangsa.
”Kalau orang yang berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri itu banyak. Namun, kalau yang berjuang untuk kelompok lain meski kehilangan banyak hal, itu sedikit. Gus Dur salah satunya,” ujar Inayah mengutip ungkapan KH Mustofa Bisri, salah satu sahabat Gus Dur.
Menurut Inayah, ayahnya bisa seperti itu karena kekuatan dan keberaniannya. ”Saya berharap, para pejabat dan penegak hukum dengan kekuatannya tidak justru takut dan tunduk pada kelompok yang menindas kelompok lainnya. Kalau itu terjadi, bangsa kita celaka,” katanya.
Sejumlah peristiwa pelarangan ibadah atau pembangunaan rumah ibadah atas nama kondusivitas, misalnya, menunjukkan ketakutan menegakkan nilai keberagaman. Padahal, konstitusi telah menjamin hak beragama dan beribadah seperti yang sempat ditegaskan Presiden Joko Widodo.
Inayah pun mendorong semua pihak untuk berani melompati batas ketakutannya untuk memperjuangkan keberagaman. ”Hari ini kita krisis lingkungan, politik, ekonomi. Hanya ada satu cara menghadapinya: kolaborasi. Syarat utamanya, menyepakati keberagaman,” ujarnya.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
KH Marzuki Wahid, Rektor Institut Studi Islam Fahmina, menyampaikan pendapatnya tentang Gus Dur dalam acara haul ke-13 Gus Dur di aula Gereja Bunda Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023) malam. Kegiatan yang dihadiri tokoh lintas iman dan berbagai komunitas itu untuk mengingat warisan nilai kemanusiaan dan keadilan dari Gus Dur.
KH Marzuki Wahid, Rektor Institut Studi Islam Fahmina, mengatakan, Gus Dur telah mewariskan nilai kemanusiaan di Tanah Air. Misalnya, seseorang yang tidak seiman adalah saudara sebangsa dan sesama manusia. Dengan begitu, perbedaan agama bukanlah masalah.
”Gus Dur juga memperjuangkan keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan. Kalau Soekarno adalah proklamator kemerdekaan, Gus Dur bagi saya adalah proklamator demokrasi Indonesia,” katanya.
Dengan segala karyanya, Gus Dur sudah mengajarkan banyak nilai kebaikan. Kini, saatnya kita untuk meneruskannya.