100 Tahun Observatorium Bosscha, Jalan Terang Para Pencari Bintang
Observatorium Bosscha menjadi inspirasi astronom di sejumlah daerah. Namun, aktivitas mereka terganggu polusi cahaya yang semakin menggila.
Observatorium Bosscha di Bandung Barat menjadi inspirasi kreasi bagi komunitas astronomi di sejumlah daerah di Jawa Barat.Kehadiran mereka membuat astronomi begitu dekat di hati masyarakat meski meneropong bintang-bintang nun jauh di luar angkasa.
Berjarak sekitar 200 kilometer dari Bandung Barat, keberadaan Cirebon Astronomy Club (CAS) menjadi salah satu jembatannya. Komunitas ini mengajak warga melihat bulan dan planet dengan teleskop rakitan sendiri.
Pendiri CAS, Sunardi (37), menunjukkan teleskop itu di teras rumahnya di Desa Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Rabu (1/2/2023). Warnanya hijau. Panjangnya 1,2 meter. Teropong untuk mengamati benda-benda langit itu terbuat dari berbagai barang bekas sederhana.
Bodi teleskop berasal dari paralon 3 inci yang dilapisi stiker hijau. Tripodnya merupakan stand penyangga yang biasa digunakan untuk salon atau pengeras suara. Pengait teleskopnya memakai besi ”T” dan bekas kunci ring nomor 17. Kotak penyimpanannya dari kayu dan kardus.
”Hanya lensa okuler, lensa obyektif, dan finder scope (alat pembidik) yang dari luar (pabrik). Ini supaya hasilnya lebih bagus. Namun, kalau mau pakai lensa okuler dari mesin fotokopi bekas juga bisa,” ujar Sunardi sembari menunjukkan lensa fotokopi yang berwarna oranye di teleskopnya.
Baca juga: Seabad Kiblat Astronomi Indonesia
Meskipun sederhana, teleskop rakitannya itu mampu menangkap rupa Bulan, bintang, Planet Mars, Saturnus, hingga Yupiter. Hasil potret kawah di permukaan Bulan, yang berjarak sekitar 384.400 kilometer dari Bumi, misalnya, terekam jelas dalam telepon pintar Sunardi.
Lulusan SMKN 1 Cirebon Jurusan Kelistrikan ini mulai menekuni pembuatan teleskop secara otodidak sejak 2015. Inspirasinya dari buku tentang ilmu pengetahuan alam, astronomi, juga internet. Ia menemukan momentum saat Gerhana Matahari Total, 9 Maret 2016.
”Saya bawa dua teropong ke lapangan di desa untuk mengamati gerhana. Ternyata, warga ramai-ramai melihat,” ujarnya. Sejumlah orang yang minat dengan astronomi berdatangan. Sunardi pun mendirikan CAS, komunitas pegiat astronomi di Cirebon.
”Tujuan komunitas ini untuk mengumpulkan orang-orang yang senang astronomi,” ujar Sunardi yang mengaku kegiatannya terinspirasi Observatorium Bosscha. Kegiatannya, antara lain, mengamati Bulan, gerhana, hingga hilal menjelang bulan Ramadhan. Tentu saja, CAS memakai teleskop rakitan.
Mereka menggelar pengamatan langit di ruang publik, seperti di lapangan desa dan Alun-alun Kejaksan Kota Cirebon. Sunardi memanfaatkan aplikasi untuk mencari letak planet sebelum membidik. Namun, polusi cahaya perkotaan di malam hari menjadi kendala melihat bintang.
Kontribusi besar
Puluhan warga pun, dari anak-anak hingga orangtua, dapat menikmati gerhana dengan teropong secara gratis setiap pengamatan berlangsung. Mereka tidak perlu lagi ke Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, sekitar 150 kilometer dari Cirebon.
Ia tidak tahu pasti jumlah anggota komunitasnya. Namun, ratusan orang sudah pernah menggunakan teleskop rakitannya. Di grup Facebook, sebanyak 516 akun telah bergabung. Grup itu memuat aktivitas CAS dan pengetahuan terkait Gerhana Bulan dan Matahari.
Sunardi pun melatih anggota CAS untuk merakit teropong sendiri. Pembuatan satu teleskop bisa menelan satu hingga dua minggu tergantung ketersediaan alat dan bahan. ”Ada sekitar 10 orang yang punya teropong dan bisa mengamati langit dari tempatnya masing-masing,” ujarnya.
Sunardi dan komunitasnya juga melatih siswa di SMAN 3 Kota Cirebon merakit teleskop. ”Saya membimbing lima kelas untuk membuat total 10 teropong. Dari jumlah itu, enam di antaranya dipakai melihat hilal saat Ramadhan di Gebang,” ungkapnya.
Berkat aktivitas CAS yang kerap mengamati hilal, Sunardi pun diajak bergabung menjadi anggota Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Cirebon. Meskipun memakai alat sederhana, ia turut berkontribusi dalam penentuan waktu Ramadhan dan Lebaran.
Sunardi membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar merakit teleskop. Ia juga menjual satu set teleskop rakitannya seharga Rp 1,5 juta hingga Rp 5 juta. Harga itu jauh lebih murah dibandingkan teleskop yang bisa mencapai belasan juta rupiah.
”Kami ingin membumikan ilmu astronomi kepada warga Cirebon. Banyak warga, misalnya, mengaitkan gerhana dengan mitos-mitos. Padahal, itu peristiwa alam biasa,” ujarnya.
Upaya CAS mendekatkan Bulan dan planet kepada warga pun membuahkan hasil. Siswa Jurusan Matematika IPA di SMAN 3 Kota Cirebon, misalnya, belajar membuat teropong dengan panduan Sunardi pada Februari 2022. Para siswa di lima kelas telah merakit 10 teropong.
”Guru Fisika berinisiatif mengajak kami membuat teleskop dengan bahan sederhana. Sangat seru, menantang. Enggak nyangka dari barang bekas bisa jadi teropong,” ujar Bintang Muhammad Zafran (17), siswa kelas XII MIPA 3.
Saking antusiasnya, para siswa bahkan sampai datang ke tempat Sunardi untuk belajar merakit teleskop. Pelajaran Fisika dua kali sepekan dianggap belum cukup. Pembuatan teropong itu rampung lebih dari sebulan. Bahkan, karya mereka digunakan melihat hilal tahun lalu.
Dari praktik itu, Bintang belajar tentang gotong royong menyulap barang bekas jadi teropong. ”Kami juga bisa lihat bulan dan matahari pertama kali lewat teleskop. Dulu, kayaknya teleskop itu mahal dan susah. Ternyata, kami bisa bikin sendiri,” ujarnya tersenyum.
Rumah astronomi
Di Bandung, para astronom amatir juga tidak ingin kehilangan momen. Sejumlah penggiat astronomi berkumpul dalam Komunitas Astronom Amatir se-Bandung Raya (Astrada). Nurlatifah Kafilah (27), salah satu pendiri Astrada, menyebut komunitas ini hadir dari berbagai kelompok penggiat astronomi di berbagai latar belakang.
Hingga 2023, Astrada telah diikuti puluhan penggiat astronomi. Nurlatifah berujar, anggota Astrada mencapai 30 orang dan grup media sosial komunitas ini telah menyentuh 50 orang. Mereka berasal dari berbagai kalangan, tetapi bersatu dalam minat terhadap dunia astronomi.
”Setidaknya ada delapan kelompok penggiat astronomi yang bergabung menjadi Astrada di tahun 2019. Komunitas ini hadir karena para penggiat di daerah lain heran, kenapa Kota Bandung yang menjadi landmark astronomi belum memiliki komunitas yang mencakup kota,” ujarnya.
Anggapan ini, kata Nurlatifah, telah ada di benak para penggiat astronomi karena di Kota Bandung terdapat Observatorium Bosscha. Dari segi pendidikan, satu-satunya kuliah dengan jurusan astronomi baru ada di ITB. Hal itu membuat Kota Bandung menjadi rumah bagi ilmu astronomi di Tanah Air.
Namun, Nurlatifah menganggap saat ini rumah itu tidak menjadi tempat ideal karena polusi cahaya yang mengganggu mata dalam mengamati langit. Bahkan, gangguan cahaya membatasi wahana pandang Observatorium Bosscha terutama di bagian ufuk arah Bandung.
”Kami sudah tidak bisa mengamati langit dari Kota Bandung. Jika ada kegiatan pengamatan, kami terpaksa menuju Bandung selatan yang saat ini langitnya masih bersih,” katanya.
Menurut Nurlatifah, langit yang terpapar polusi ini tidak bisa dibiarkan. Karena itu, Astrada memiliki tujuan untuk membumikan astronomi agar masyarakat menyadari polusi udara yang memiliki sejumlah dampak.
Tidak hanya mengganggu jarak pandang terhadap langit, Nurlatifah berujar, polusi cahaya juga menandakan masyarakat masih boros menggunakan energi. Dengan membatasi cahaya yang timbul akibat lampu, konsumsi listrik pun bisa ditekan dan masyarakat bisa melihat langit malam tanpa gangguan.
Baca juga: Observatorium Bosscha, Seabad Tonggak Astronomi Modern Tanah Air
Bandung juga menjadi rumah bagi komunitas astronomi skala nasional, yakni Indonesian Islamic Astronomy Club (IIAC) yang diresmikan pada 7 Agustus 2022. Adinda Faradila (23), pendiri dan Ketua IIAC, menyebut, komunitas ini menjadi satu-satunya wadah berkumpul tingkat nasional yang menyatukan astronom profesional, amatir, serta sains dan ilmu falak.
”Kami berasal dari berbagai kalangan. Bahkan, hampir setengah dari pengurus IIAC bukan dari jurusan astronomi. Ini mengindikasikan, ilmu ini banyak peminatnya dan IIAC menjadi wadah berhimpunnya segala potensi astronomi di Indonesia,” ujarnya.
Meskipun belum genap setahun, IIAC memiliki 449 anggota di Kota Bandung dengan 77 pengurus yang tersebar di sembilan provinsi di Indonesia. IIAC bahkan mengadakan acara serentak di empat kota, yakni Bandung, Semarang, Surabaya, dan Mataram, dengan peserta menyentuh 1.000 orang.
”Dalam seabad Bosscha, kami berharap keilmuan astronomi di Indonesia bisa terus berkembang. Semoga Bandung selalu menjadi tempat yang ramah bagi para astronom dengan polusi cahaya yang bisa terkendali,” ujarnya.
Baca juga: Observatorium Bosscha dan Matahari