Observatorium Bosscha, Seabad Tonggak Astronomi Modern Tanah Air
Observatorium Bosscha berusia 100 tahun. Sudah seabad keberadaannya berkontribusi bagi ilmu pengetahuan alam semesta.
Observatorium Bosscha mengokohkan diri sebagai tonggak astronomi modern di Tanah Air sejak 1 Januari 1923. Setelah seabad berdiri, Bosscha diharapkan terus menjadi jembatan peradaban mengenal alam semesta di masa depan.
Cuaca mendung pada Kamis (29/12/2022) pagi itu menemani para petugas merenovasi sejumlah bangunan di kompleks Observatorium Bosscha di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, ini. Mereka tengah mendandani fasilitas bersejarah itu menyambut 100 tahun eksistensinya untuk dunia astronomi.
Aroma cat masih tercium. Warna dindingnya putih mengilap. Alat pengamat langit terbesar di sana, teleskop refraktor ganda Zeiss, masih terbungkus pelindung saat rumahnya tengah dipercantik. Bangunan ini ikon Observatorium Bosscha sehingga menjadi prioritas proses renovasi.
Teleskop raksasa itu menjadi alat pengamatan bintang terbesar. Sistemnya dilengkapi dua teleskop utama berdiameter lensa 60 sentimeter dan satu teleskop pencari atau pemandu berdiameter 40 sentimeter.
Teleskop sepanjang 11 meter ini didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928. Keberadaannya memberikan banyak manfaat bagi dunia astronomi hingga sekarang.
”Secara keseluruhan, Observatorium Bosscha adalah simbol astronomi modern di Tanah Air,” ujar Kepala Observatorium Bosscha Premana W Premadi.
Baca juga : Menjaga Bosscha, Menjaga ‘Kota Bentang’
Pendapat itu sangat beralasan. Kata Premana, Bosscha bukan hanya sekadar fasilitas untuk mengamati langit. Bosscha juga berkontribusi dalam pengembangan ilmu astronomi, seperti Teori Evolusi Bintang. Teori ini membutuhkan pengamatan sistem bintang ganda dan teleskop refraktor ganda untuk mampu mengamati sejumlah bintang tersebut.
”Saat ini kami masih mengamati lusinan sistem bintang ganda yang dibutuhkan dalam pengembangan Teori Evolusi Bintang. Ini menjadi kontribusi dari Observatorium Bosscha karena sejumlah ilmuwan mengamati dan mengambil datanya di sini. Ada banyak bintang ganda di langit bagian selatan,” ujarnya.
Premana memaparkan, pada awal abad ke-20, observatorium yang mumpuni untuk mengamati benda langit hanya ada di bumi bagian utara sehingga bagian selatan dianggap sebagai titik buta.
Hanya ada Royal Observatory di kawasan Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dan di Sydney, Australia, yang menjadi fasilitas pengamatan bintang yang kerap didatangi para ilmuwan.
Padahal, saat itu astronomi menjadi salah satu bidang ilmu yang melepas dahaga para ilmuwan. Sejumlah teori fisika modern, seperti relativitas hingga mekanika kuantum, menjadikan alam semesta sebagai wahana untuk membuktikan berbagai rumus dan formula yang diciptakan orang-orang genius di masa itu.
Karel Albert Rudolf Bosscha, juragan kebun teh dari Malabar di Bandung bagian selatan, paham benar dengan celah itu. Dari sana, gagasan pembangunan observatorium di Bandung diapungkan filantropi asal Belanda itu.
Sejarah mencatat, observatorium ini diresmikan 1 Januari 1923. Observatorium modern pertama di Asia Tenggara itu berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Bandung.
Selain menjadi media pengamatan langit bagi para ilmuwan, observatorium ini menjadi media pembelajaran mahasiswa dari Technische Hoogeschool te Bandoeng, sekolah teknik yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung.
”Di tahun 1923, Observatorium Bosscha hadir dan menjadi salah satu dari tiga observatorium terbesar di belahan bumi bagian selatan. Kehadirannya sangat diapresiasi karena saat itu langit selatan masih dianggap sebagai titik buta,” ujarnya.
Berkontribusi
Seiring perkembangan waktu, observatorium terus berbenah dan berperan dalam perkembangan ilmu astronomi modern. Tempat itu bersaing dengan berbagai institusi untuk mengejar jawaban atas semua misteri di luar angkasa.
Premana tidak memungkiri, kemajuan teknologi membantu para astronom mengamati bintang semakin pesat. Sejumlah teleskop modern bahkan mampu mengambil ribuan data benda langit dalam kurun waktu satu detik dengan resolusi yang lebih tinggi. Salah satunya teleskop Hubble yang mengamati langit dari ruang angkasa.
”Jika hanya untuk mengambil data, kami pasti kalah karena masih mengamati dari atas bumi. Bahkan, teknologi sekarang jauh lebih modern dibandingkan teleskop klasik yang sudah ada di sini puluhan tahun lalu,” ujarnya.
Oleh karena itu, Bosscha pun bergerak mengembangkan teknologi dalam pengamatan bintang. Saat ini, salah satu teleskopnya menggunakan sistem Bosscha Robotic Telescope (BRT). Teknologi ini membuat astronom bisa menggerakkan salah satu teleskop dari jarak jauh dan hanya tinggal memasukkan data serta koordinat.
Untuk bisa beradaptasi, Bosscha harus bergerak mengisi kebutuhan yang ada, yakni memproses data yang telah ditemukan. Jika tidak, dia akan terlindas zaman, tertinggal, bahkan terlupakan.
Salah satu pengolahan data yang bisa dilakukan oleh Bosscha, lanjut Premana, adalah mengamati cuaca antariksa (space weather) dari aktivitas matahari. Apalagi, saat ini hingga masa depan nanti, gelombang elektromagnetik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehingga cuaca antariksa menjadi sangat berpengaruh.
”Dunia modern amat bergantung dengan gelombang elektromagnetik dan erat kaitannya dengan aktivitas matahari. Pengamatan cuaca antariksa yang dipengaruhi matahari ini menjadi penting agar bisa menjadi antisipasi. Kita mesti paham, alam semesta adalah hal yang tidak bisa diatur. Karena itu, manusia menyesuaikan dan mencari mitigasinya,” ujarnya.
Baca juga : Kinerja Teleskop Gaek di Bosscha
Inspirasi
Tidak hanya sebagai wahana untuk meneliti, Observatorium Bosscha juga menjadi sarana edukasi dan menarik minat masyarakat untuk dunia astronomi. Juru bicara Observatorium Bosscha, Yatny Yulianti, menyebut, pihaknya kerap melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, mulai dari anak-anak hingga komunitas, untuk lebih dekat dengan astronomi.
Salah satu wahana pembelajaran yang kerap digunakan adalah teleskop refraktor Bamberg. Salah satu teleskop tertua di Observatorium Bosscha ini berdiameter lensa 37 sentimeter dengan panjang fokus 7 meter. Teleskop yang hadir dari tahun 1929 ini menjadi alat untuk mengamati sejumlah benda langit bagi para peserta dan mampu membuat mereka tertarik.
”Saat pandemi, kunjungan dibatasi sehingga dalam dua tahun terakhir hampir tidak ada sosialisasi yang melibatkan banyak peserta. Namun, kami menyiasatinya dengan menggunakan pengamatan secara virtual dengan memanfaatkan pertemuan daring,” ujarnya.
Keberadaan Bosscha pun menjadi inspirasi untuk memajukan negeri, seperti yang dilakukan oleh Hendro Setyanto (49), pemilik Imah Noong di Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Sempat bertugas di Observatorium Bosscha dari tahun 1997 hingga 2010, dia kini mandiri membawa mimpi untuk memperkenalkan ilmu astronomi kepada publik.
Hendro mulai membangun Imah Noong, bahasa Sunda dari ’rumah mengintip’, sejak tahun 2013. Hingga tahun 2022, dia berhasil membangun sejumlah fasilitas, seperti Kubah Noong, Saung Noong, hingga planetarium mini yang dia sebut Mushollatorium.
”Planetarium ini sekaligus menjadi tempat shalat sehingga disebut Mushollatorium. Kubah Noong dan Saung Noong memiliki satu teleskop masing-masing, dan semua itu dibangun terinspirasi dari Observatorium Bosscha,” ujar Hendro.
Menurut Hendro, ilmu astronomi perlu lebih didekatkan kepada masyarakat meskipun tidak bisa dirasakan manfaatnya secara langsung. Sebagai ilmu yang memiliki perhitungan untuk masa depan, astronomi bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak untuk masuk ke dalam berbagai bidang ilmu sains.
”Jadi, belajar astronomi tidak hanya untuk menjadi astronom. Apalagi, anak-anak itu memiliki rasa penasaran yang tinggi, terutama saat melihat langit. Karena itu, astronomi menjadi gerbang bagi anak-anak untuk mendalami minatnya di bidang sains yang lain,” paparnya.
Astronomi menjadi bidang ilmu yang dibutuhkan agar manusia bisa hidup lebih baik di masa depan. Hendro berpendapat, Observatorium Bosscha tetap relevan sebagai kiblat astronomi di Tanah Air, dan dia berharap bisa lebih dekat dengan masyarakat.
Baca juga : Lensa Observatorium Kupang Enam Kali Lipat Lebih Besar