Unand Tunggu Keputusan Kemendikbudristek Terkait Dugaan Kekerasan Seksual
Universitas Andalas masih menunggu keputusan Kemendikbudristek soal sanksi terhadap dosen yang diduga melakukan kekerasan seksual. Kemendikbudristek didesak memproses kasus itu dengan cepat.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Manajemen Universitas Andalas, Sumatera Barat, masih menunggu keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terkait sanksi terhadap seorang dosennya yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap delapan mahasiswa. Kemendikbudristek didesak memproses kasus itu dengan cepat agar para korban dan mahasiswa lain merasa aman.
Terduga pelaku pelecehan dan kekerasan seksual itu berinisial KC. Dia merupakan dosen Sastra Minangkabau Universitas Andalas (Unand). Kasus tersebut ditangani oleh Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unand sejak Oktober 2022. Kasus itu viral di Instagram pada Desember lalu setelah akun @infounand mengunggah video kronologi kejadian terhadap salah satu korban.
Wakil Rektor III Unand Insannul Kamil, Rabu (1/2/2023), mengatakan, Rektor Unand sudah menerima rekomendasi sanksi dari Satgas PPKS yang memeriksa kasus itu. Rektor Unand lalu menyerahkan rekomendasi tersebut kepada Kemendikbudristek, akhir tahun lalu.
”Sekarang sedang berproses di kementerian dan kami menunggu proses tersebut. Kemendikbudristek merespons dan sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan universitas,” kata Kamil.
Menurut Kamil, Kemendikbudristek langsung menindaklanjuti rekomendasi yang diserahkan Unand. Walakin, ia belum tahu kapan proses di kementerian selesai. Selama proses berlangsung, Kamil menyebut, status KC saat ini masih nonaktif.
Sekretaris Unand Henmaidi mengatakan, Kemendikbudristek sudah membentuk tim untuk menindaklanjuti rekomendasi sanksi dari Unand. Tim tersebut seharusnya sudah mulai bekerja saat ini.
”Logikanya, tim itu tentu akan turun ke kampus melakukan verifikasi atas pemeriksaan yang telah dilakukan. Normalnya di SOP (prosedur standar operasi), tim melakukan klarifikasi dan verifikasi. Namun, tentu tim itu tidak memberitahu kami proses dan tahapan yang sedang mereka lakukan,” kata Henmaidi.
Sebagai langkah preventif, Henmaidi mengatakan, pimpinan universitas sudah menekankan kepada seluruh jajaran agar menghindari atau meminimalkan interaksi akademik di luar jadwal.
”Seperti proses pembimbingan, itu dituntaskan di kampus dan di dalam jam kerja. Setidaknya itu mengurangi potensi dan interaksi yang tidak terkontrol,” ujar Henmaidi.
Sementara itu, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unand Yodra Muspierdi mendesak agar Kemendikbudristek segera menuntaskan penanganan kasus tersebut. Dia menilai, Kemendikbudristek terlalu lambat menyelesaikan kasus ini.
”Ketika mengesahkan aturan tergesa-gesa. Tetapi ketika ada kasus, kementerian lambat dan lembek. Ini, kan, prosesnya bukan di pihak kampus lagi, tapi sudah di kementerian,” katanya.
Sekarang sedang berproses di kementerian dan kami menunggu proses tersebut. (Insannul Kamil)
Yodra menyebut, lamanya penanganan kasus itu membuat mahasiswa menjadi takut karena terduga pelaku berinisial KC masih bisa berkeliaran bebas sehingga korban jadi takut melapor ke polisi. ”Hak pendidikan korban sudah diberi oleh kampus. Namun, masih belum ada pemecatan resmi terhadap KC, seolah-olah kementerian tidak serius,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas PPKS Unand Rika Susanti, Senin (26/12/2022), mengatakan, sedikitnya ada delapan mahasiswa yang melaporkan aksi bejat KC. Salah satu korban bahkan sampai berhenti studi sementara (BSS).
Aidinil Zetra, ketua tim investigasi Satgas PPKS untuk kasus ini, Senin (26/12/2022), menyatakan, ada tiga bentuk rekomendasi dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS, yaitu ringan, sedang, dan berat. Secara tersirat, Aidinil mengatakan, satgas memberikan rekomendasi kategori berat.
”Kalau hanya ringan dan sedang, hari ini sudah bisa diputuskan rektor. Kalau berat, harus ke Jakarta (Kemendikbudristek). Rektor sudah berangkat tadi. Saya dan Rika akan menyusul ke Jakarta,” katanya. Namun, dia tidak bersedia menyebutkan sanksi yang diusulkan bagi terduga pelaku karena terikat kode etik.
Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS pada Pasal 14 Ayat (4) Huruf b menyebutkan sanksi administrasi berat terhadap dosen pelaku pelecehan/kekerasan seksual di kampus adalah pemberhentian tetap sebagai pendidik sesuai undang-undang yang berlaku.