Terkendala Pendaftaran, Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Sumsel Belum Optimal
Penyaluran pupuk bersubsidi di Sumatera Selatan belum optimal karena petani masih kesulitan melakukan pendaftaran data di sistem alokasi elektronik. Pemda dan penyuluh pertanian diharapkan mendampingi petani.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penyaluran pupuk bersubsidi di Sumatera Selatan terancam tidak optimal karena petani masih kesulitan melakukan pendaftaran data di sistem alokasi elektronik. Pemerintah daerah dan petugas penyuluh pertanian diharapkan mendampingi petani agar mereka tidak kehilangan haknya untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, dalam Rapat Koordinasi Pupuk Bersubsidi, Selasa (31/1/2023), di Palembang, mengatakan, pada tahun 2023, Kementerian Pertanian menambah alokasi pupuk bersubsidi untuk Sumsel.
Alokasi pupuk urea untuk Sumsel tahun ini sebesar 250.475 ton atau meningkat 107 persen dibandingkan dengan alokasi tahun lalu, yakni 120.541 ton. Sementara alokasi pupuk NPK tahun 2023 mencapai 188.761 ton atau meningkat 89,4 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang sebesar 99.663 ton.
Herman memaparkan, selama ini permasalahan penyaluran pupuk bersubsidi masih terjadi. Salah satu contohnya, hingga sekarang, penginputan data di sistem alokasi elektronik (e-alokasi) untuk penyaluran pupuk bersubsidi ternyata masih belum optimal.
Herman menyebut, untuk data pupuk urea, baru 150.544 ton atau 60,10 persen dari alokasi yang terinput dalam sistem e-alokasi. Sementara untuk pupuk NPK baru 170.454 ton atau sekitar 90,30 persen yang terinput. ”Mana kepala daerah yang selalu berteriak kurang pupuk? Ayo, segera rangkul petaninya,” ujarnya.
Menurut Herman, jika penginputan data di sistem e-alokasi tidak optimal, penyaluran pupuk bersubsidi dikhawatirkan terhambat. ”Jika alokasi pupuk tidak terserap optimal, kuota pupuk subsidi untuk Sumsel tentu akan dipangkas,” ungkapnya. Padahal, saat ini, Sumsel tengah gencar meningkatkan produktivitas komoditas pangan.
Herman menuturkan, kemungkinan masih banyak petani yang belum mengerti cara pendaftaran data diri di sistem e-alokasi. ”Ini menjadi tugas dari semua pihak, mulai dari pemerintah daerah sampai dengan para penyuluh di lapangan, untuk membantu,” tuturnya.
Menurut Herman, penggunaan sistem e-alokasi akan mengurangi risiko penyelewengan pupuk yang kerap terjadi. Salah satu potensi penyelewengan itu adalah manipulasi data rencana definitif kebutuhan kelompok tani (RDKK).
Penyelewengan itu dilakukan agar pupuk bersubsidi dapat dialihkan untuk perusahaan perkebunan. ”Bahkan, saya dengar ada pupuk yang diubah warnanya agar bisa diselewengkan,” kata Herman.
Baru 40 persen
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono mengatakan, sampai saat ini, jumlah petani Sumsel yang terdaftar di Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) mencapai 768.000 petani. Mereka berasal dari sektor pertanian, perkebunan, dan tanaman pangan. ”Dari jumlah itu, yang sudah mendaftar di e-alokasi baru sekitar 40 persen,” ujarnya.
Bambang menyebut, banyak petani kesulitan mendaftarkan data diri dan luas lahan di sistem e-alokasi dikarenakan mereka masih gagap teknologi. ”Ada yang belum mengerti tata cara melampirkan nomor kartu tanda penduduk atau mendaftarkan luas lahan sawah yang mereka miliki,” tuturnya.
Jika alokasi pupuk tidak terserap optimal, kuota pupuk bersubsidi untuk Sumsel tentu akan dipangkas.
Bambang mengingatkan, luas lahan yang bisa didaftarkan dalam sistem e-alokasi maksimal 2 hektar untuk satu kali musim tanam. Dia menyebut, kemungkinan banyak petani yang mendaftarkan lahan dengan luas lebih dari 2 hektar sehingga sistem e-alokasi tidak menerima data tersebut.
”Akibatnya, kami terpaksa harus meminta perpanjangan waktu lagi kepada Kementerian Pertanian agar lebih banyak petani yang melakukan penginputan data diri dan lahan di sistem e-alokasi,” ucap Bambang.
Selain itu, 1.400 tenaga pendamping penyuluh pertanian juga diterjunkan ke 17 kabupaten/kota di Sumsel. Mereka diharapkan dapat mendampingi petani agar penyaluran pupuk bersubsidi bisa optimal. Menurut Bambang, pupuk bersubsidi harus diserap secara optimal karena Sumsel memiliki target untuk meningkatkan produksi tanaman pangan tahun ini.
Petani jagung asal Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumsel, Didi Supardi, mengaku sudah mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi dengan mendaftarkan data dirinya lewat sistem e-alokasi. Namun, dalam proses pendaftaran itu, Didi meminta bantuan dari petugas penyuluh pertanian. ”Kalau saya daftar sendiri tentu akan sulit,” ujarnya.
Menurut Didi, dirinya mendapatkan alokasi pupuk urea sekitar 250 kilogram (kg) untuk satu kali musim tanam. Jumlah itu sebenarnya jauh lebih sedikit daripada kebutuhan. Sebab, agar produktivitas optimal, 1 hektar lahan jagung harus diberi 500 kg urea.
Namun, Didi mengaku tidak bisa berbuat banyak karena pembelian pupuk dibatasi. ”Akibatnya, produksi jagung saya menurun hingga 10 persen ketimbang ketika pupuk bersubsidi belum dibatasi,” katanya.
Untuk menyiasati produksi jagung yang turun karena keterbatasan pupuk bersubsidi, Didi terpaksa harus menambah pupuk alternatif untuk memenuhi kebutuhan pupuk pada lahan jagungnya. ”Saya menggunakan pupuk kompos, tetapi tetap saja produksinya turun,” tuturnya.
Didi memilih tidak menggunakan pupuk nonsubsidi karena harganya sangat mahal jika dibandingkan dengan pupuk bersubsidi. ”Perbedaan harganya bisa tiga kali lipat,” ucapnya.
Distributor pupuk bersubsidi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, Rudi Apriadi, berpendapat, penyaluran dengan sistem e-alokasi bisa menekan risiko penyelewengan pupuk bersubsidi. Dia menyebut, dulu saat sistem penyaluran pupuk bersubsidi masih memakai sistem konvensional, risiko penyelewengan sangat tinggi.
Rudi mencontohkan, pada masa lalu, ada oknum yang kerap menjual pupuk bersubsidi ke perusahaan perkebunan dengan harga yang lebih tinggi. ”Ada oknum yang memang menjadi cukong,” ujarnya.
Menurut Rudi, praktik penyelewengan itu biasanya terjadi di tingkat pengecer. Dia juga mengklaim, penyelewengan di tingkat distributor sangat sulit dilakukan karena pengawasan dari pabrik pupuk sangat ketat. ”Kalau terbukti ada yang bermain, sanksinya berat. Selain dipidana, kami juga bisa diputus kontrak kerja samanya,” ungkapnya.
Rudi menambahkan, saat ini pihak distributor pupuk terus bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk membantu petani agar bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Dengan demikian, alokasi pupuk bersubsidi di Sumsel tidak dikurangi akibat penyerapan yang tidak optimal.