Hasil ”long form” Sensus Penduduk 2020 mengindikasikan jumlah kelahiran anak di Bali cenderung menurun dalam lima dekade terakhir. Peerencanaan keluarga dinilai efektif mengatur kelahiran anak.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Hasil pembaruan data (long form) Sensus Penduduk 2020 di Provinsi Bali mengindikasikan jumlah kelahiran anak di Bali cenderung menurun sejak 1970-an. Rata-rata dua anak dilahirkan di Bali dari setiap perempuan usia subur selama masa reproduksinya. Keluarga di Bali dinilai menyiapkan dan merencanakan kelahiran anak dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi rumah tangga.
Laporan hasil long form Sensus Penduduk 2020, yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, Senin (30/1/2023), menunjukkan tren penurunan angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) di Bali selama lima dekade sejak Sensus Penduduk (SP) 1971 sampai long form SP 2020. Hasil SP 1971 menunjukkan TFR di Bali sebesar 5,96, atau rata-rata lima sampai enam anak dilahirkan setiap perempuan usia subur di Bali. Adapun hasil long form SP 2020 menunjukkan TFR di Bali sebesar 2,04, atau rata-rata dua sampai tiga anak dilahirkan setiap perempuan usia subur di Bali.
Dalam pemaparannya, yang diikuti secara daring, Senin (30/1/2023), Ketua Tim Statistik Sosial BPS Provinsi Bali Dedi Cahyono menyebutkan hasil long form SP 2020 terkait angka kelahiran total (TFR) di Bali sebesar 2,04 itu lebih rendah dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Semesta Berencana Provinsi Bali 2018-2023, yang sebesar 2,30.
Hasil long form SP 2020 di Bali juga menunjukkan jumlah kelahiran terbanyak, yaitu 140 sampai 141 kelahiran per 1.000 perempuan, terjadi pada kelompok umur 25 tahun sampai 29 tahun. Adapun pada kelompok umur 15-19 tahun terdapat 19-20 kelahiran per 1.000 perempuan, kelompok umur 20-24 tahun terdapat 96-97 kelahiran per 1.000 perempuan, dan pada kelompok umur 45-49 tahun hanya satu sampai dua kelahiran per 1.000 perempuan.
Jumlah kelahiran anak pada perempuan berusia antara 15 tahun dan 19 tahun di Bali juga menunjukkan kecenderungan menurun dalam rentang lima dekade sejak SP 1971.
Sementara itu, angka kematian bayi (infant mortality rate/IMR) di Bali berdasarkan hasil long form SP 2020 juga menurun signifikan, hampir 90 persen, sejak SP 1971. Hasil long form SP 2020 mencatat angka kematian bayi umur 0-11 bulan di Provinsi Bali sebesar 13,26, atau sekitar 13-14 bayi meninggal sebelum satu tahun per 1.000 kelahiran hidup. Peningkatan angka hidup bayi di Bali itu dinilai sejalan dengan peningkatan jumlah bayi di Bali, yang mendapatkan imunisasi lengkap, dan peningkatan rata-rata lama pemberian air susu ibu (ASI).
Terkait hal itu, Kepala Perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali Ni Luh Gede Sukardiasih mengatakan, perempuan, yang sudah berkeluarga, di Bali umumnya merencanakan kehamilan mereka, termasuk dengan merancang jarak kelahiran anak. ”Umumnya mereka merencanakan kehamilan dan mengatur jarak kelahiran anak dengan mempertimbangkan usia mereka, kemampuan ekonomi keluarga, dan rencana masa depan anaknya, khususnya untuk pendidikan anak,” kata Sukardiasih kepada Kompas di Denpasar, Selasa (31/1/2023).
Sukardiasih menambahkan, tren penurunan angka kelahiran total (TFR) di Bali sudah diidentifikasi dari hasil SP 2010. Hasil SP 2010 itu menunjukkan TFR di Bali sebesar 2,13. ”Penambahan jumlah penduduk di Bali dari kelahiran memang lebih rendah dibandingkan angka secara nasional,” kata Sukardiasih.
Adapun mengenai menurunnya angka kematian bayi di Bali, yang seiring dengan semakin meningkatnya jumlah bayi mendapatkan imunisasi lengkap dan semakin lamanya pemberian ASI, menurut Sukardiasih, juga memengaruhi kondisi tengkes atau kekerdilan (stunting) di Bali.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting di Provinsi Bali sebesar 10,9 persen. Sukardiasih menambahkan, angka prevalensi stunting di Bali saat ini cenderung menurun, pada 2022 mencapai 8 persen.