Penyakit infeksi parasit, termasuk cacingan, turut berdampak terhadap ”stunting” atau tengkes pada anak. Pengurangan infeksi parasit juga dipengaruhi ketersediaan akses air bersih serta kebiasaan hidup bersih dan sehat.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Penyakit cacingan akibat infeksi parasit turut berdampak terhadap kegagalan berkembang pada anak, termasuk tengkes atau kekerdilan (stunting). Penanggulangan infeksi parasit, termasuk cacingan, juga dipengaruhi ketersediaan akses air bersih serta kebiasaan menjaga kebersihan dan kesehatan sejak usia dini.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting di Provinsi Bali 10,9 persen. Meskipun angka prevalensi stunting di Bali sudah tergolong rendah di Indonesia, masih terdapat empat kabupaten di Bali yang angka prevalensi tengkesnya di atas rata-rata Bali, yakni Karangasem 22,9 persen; Klungkung (19,4 persen); Jembrana (14,3 persen); dan Bangli (11,8 persen).
Dari hasil kerja kolaboratif antara peneliti kesehatan masyarakat dari Center for Public Health Innovation (CPHI) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud), Bali, Ni Made Utami Dwipayanti, bersama ahli epidemiologi penyakit menular yang juga Kepala Departemen Kesehatan Global Australian National University (ANU) Darren Gray dan peneliti kesehatan masyarakat dari Griffith University, Queensland, Donald Stewart, disebutkan, penyakit infeksi parasit, termasuk cacingan, dapat dikurangi dengan intervensi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku yang berkaitan dengan gizi, kebersihan, dan sanitasi. Selain itu, dengan konsumsi obat penyakit cacingan.
Intervensi pendidikan kesehatan itu diterapkan sesuai dengan budaya lokal. Donald Stewart dan Darren Gray menggunakan wayang kulit sebagai sarana edukasi kesehatan dalam proyek peningkatan sanitasi dan kebersihan di masyarakat perdesaan di Jawa Tengah. Selain itu, juga menjalankan proyek BALatrine, atau jamban murah dan sehat yang diperkenalkan Budi Laksono.
Kedua ahli kesehatan itu kemudian bekerja sama dengan peneliti CPHI Unud, Utami Dwipayanti, dalam proyek penanganan infeksi parasit di Karangasem, Bali. Kerja kolaboratif peneliti Indonesia dan Australia itu juga menghasilkan buku cerita bergambar tentang edukasi mengenai penyakit cacingan.
”Cacingan juga dapat memengaruhi stunting,” kata Utami Dwipayanti seusai pemaparan hasil survei dan kerja kolaboratif Australia-Indonesia untuk pengurangan infeksi parasit pada anak sekolah di Bali, di Konsulat Jenderal Australia di Bali, di Kota Denpasar, Senin (12/9/2022). Dalam pemaparannya, Utami menerangkan hasil surveinya di wilayah Kubu, Karangasem, menunjukkan masih ada anak sekolah yang jarang mencuci tangan, bahkan tidak mencuci tangan, setelah selesai buang air. Utami menyebutkan, kondisi itu tidak mencerminkan kondisi anak-anak di seluruh Bali.
Pemaparan di Konjen Australia di Bali juga dihadiri Donald dan Darren serta Konsul Jenderal Australia di Bali Anthea Griffin. Hadir pula perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, CPHI Unud, dan beberapa undangan lain, termasuk dari media massa.
Dalam sambutannya, Konjen Australia di Bali Anthea Griffin menyatakan, kerja kolaboratif antara Universitas Griffith, Universitas Nasional Australia, dan Universitas Udayana itu memperkuat hubungan bilateral Australia-Indonesia. Anthea juga mengatakan bangga terhadap kolaborasi dan kemitraan Australia dengan Indonesia, yang memiliki pilar utama, di antaranya, perdagangan, investasi, kerja sama pembangunan, pendidikan dan pelatihan, penelitian, serta inovasi.
Dalam diskusi, Darren Gray menyatakan, upaya mengurangi penyakit infeksi parasit, khususnya cacingan, dapat dijalankan dengan pendekatan Wash, atau air (water), sanitasi, dan higienitas. Hal itu memerlukan intervensi melalui edukasi dan penerapan teknologi tepat guna, salah satunya adalah jamban sehat BALatrine, yang merupakan inovasi peneliti Indonesia.
Sebelumnya, Donald Stewart menyebutkan, penanganan cacingan dengan pemberian obat penyakit cacing tidak mencegah penyakit cacingan terjadi berulang. Donald juga menyatakan pentingnya intervensi sanitasi dan higienitas serta edukasi kepada masyarakat. Donald menyatakan pihaknya mengapresiasi bantuan dari berbagai pihak, termasuk dari Australia-Indonesia Institute, sehingga mereka dapat menjalankan proyek kesehatan masyarakat di Indonesia.
Adapun benang merah dari pendapat para peneliti kesehatan masyarakat itu, di antaranya, perlunya kolaborasi dari pemerintah, akademisi, dan komunitas dalam membangun kesadaran kesehatan lingkungan, termasuk mengurangi infeksi parasit tersebut.
Dengan mengurangi infeksi parasit di badan, maka tubuh akan mendapat nutrisi yang lebih baik, yang berpengaruh terhadap penyerapan dan pencernaan yang lebih baik pula. Penyerapan dan pencernaan nutrisi yang lebih baik bagi anak-anak usia sekolah, menurut Darren, akan mengarah pada peningkatan kapasitas dalam belajar dan mengurangi kelelahan di sekolah serta mendukung pertumbuhan yang optimal.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan Provinsi Bali Anak Agung Sagung Mas Dwipayani menyatakan, pemerintah berupaya menekan angka prevalensi stunting di Bali meski stunting Bali sudah termasuk rendah. Dwipayani menyebutkan, Karangasem termasuk daerah di Bali dengan angka prevalensi stunting yang tinggi. ”Penyebab stunting ini multifaktor, termasuk pula pola asuh, akses air bersih, sanitasi, dan pola makan,” kata Dwipayani.
Adapun untuk penanganan cacingan, menurut Dwipayani, pemberian obat penyakit cacing masih berjalan. Pemerintah juga menjalankan program pembangunan yang komprehensif sehingga dapat berdampak signifikan dalam mengatasi stunting atau tengkes di Bali, termasuk membangun akses air bersih. Dwipayani juga menyatakan, penting pula edukasi bagi masyarakat agar mengubah dan menghentikan kebiasaan buang air besar sembarangan.