Warga Kolaka Timur Tewas Diterkam Buaya, Konflik Ruang Makin Tinggi
Seorang warga di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, diduga diserang seekor buaya saat menjala ikan. Ruang hidup yang semakin terokupasi dan sumber makanan yang kurang membuat serangan buaya makin meningkat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang warga di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, diduga diserang seekor buaya saat menjala ikan hingga tenggelam, lalu tewas. Ruang hidup yang semakin terokupasi dan sumber makanan yang kurang membuat konflik antara buaya dan manusia makin meningkat tiga tahun terakhir.
Konflik antara buaya dan manusia kembali terjadi pada Minggu (29/1/2023), di Sungai Desa Wungguloko, Ladongi, Kolaka Timur. Seorang warga, Asdar (35), diduga diterkam buaya saat menjala ikan di sungai tersebut.
Kepala Polsek Ladongi Ajun Komisaris Julius mengungkapkan, korban yang bukan warga setempat itu awalnya datang untuk menjala ikan di sungai tersebut. Korban datang bersama dua rekannya, Sukardi (40) dan Mudding (50). Sebelum menjala, ketiganya diperingatkan oleh warga setempat untuk tidak mencari ikan di sungai tersebut karena merupakan habitat buaya.
”Setelah tiba di sungai, mereka lalu menebarkan jala. Namun, saat dilempar, sebuah jala milik rekannya tersebut tersangkut di dasar sungai. Korban lalu berinisiatif turun untuk melepas jala yang tersangkut tersebut,” kata Julius, Senin (30/1/2023).
Korban lalu menyelam dan berusaha melepas jala. Seorang rekannya, Mudding, ikut turun untuk membantu menarik jala. Namun, Mudding tiba-tiba terempas akibat sesuatu dari dasar sungai. Air lalu bergolak dan berputar. Korban tidak terlihat lagi.
Untuk 2022 lalu, kasus kemunculan buaya sebanyak sembilan kali, dan beberapa di antaranya kami evakuasi.
Kedua rekannya segera meminta pertolongan warga. Beramai-ramai, mereka lalu melakukan pencarian di sekitar sungai tersebut.
”Sekitar satu jam kemudian, korban ditemukan meninggal dunia berjarak sekitar 150 meter dari lokasi tenggelam. Menurut warga, memang (korban) diterkam buaya, tapi tidak ditemukan luka akibat terkaman buaya di tubuh korban,” ucapnya.
Meski begitu, Julius menambahkan, larangan untuk beraktivitas di sungai tersebut telah lama dikeluarkan. Hal tersebut untuk mengantisipasi serangan buaya yang memang sering ditemukan di sungai tersebut. Sungai Wungguloko masih rangkaian dari sungai yang mengalir di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW).
Kasus kemunculan hingga serangan buaya terhadap manusia di Sultra terus meningkat. Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, kasus kemunculan buaya yang meningkat mulai tahun 2019.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sulawesi Tenggara La Ode Kaida menyebutkan, di 2023 ini saja telah ada empat kasus kemunculan buaya di dekat permukiman warga. Kemunculan buaya ini belum terhitung dengan kasus serangan yang terjadi terhadap manusia.
”Untuk 2022 lalu, kasus kemunculan buaya sebanyak sembilan kali, dan beberapa di antaranya kami evakuasi. Tiga tahun terakhir angkanya selalu tinggi, di luar dari kasus serangan terhadap manusia. Dua tahun berturut-turut, ada empat kasus serangan buaya terhadap manusia dengan sejumlah korban meninggal dunia,” ucapnya.
Terkait meningkatnya serangan buaya, Kaida melanjutkan, hal ini tentu berhubungan erat dengan terganggunya habitat buaya tersebut. Kawasan tempat tinggal buaya mengalami perambahan, berbagai aktivitas, dan kegiatan yang sifatnya eksploitatif.
Faktor kedua, tambah Kaida, dengan banyaknya kegiatan, membuat hewan-hewan di sungai menjadi berkurang. Padahal, hewan tersebut adalah makanan harian buaya yang berkembang biak di daerah tersebut.
”Karena lapar, mereka menyerang apa yang ditemui. Kemungkinan ketiga, buaya ini sedang musim kawin sehingga menjadi agresif,” katanya.
Sejauh ini telah dilakukan sosialisasi hingga pemasangan tanda untuk berhati-hati di habitat buaya. Namun, dengan kasus yang terus meningkat, ke depannya diperlukan identifikasi lebih detail terkait ruang hidup buaya dan seperti apa upaya penanganannya.