Bunyi peluit menandai aktivitas tukar-menukar barang di Desa Wulandoni yang dimulai sejak 1837. Warga pesisir kebanyakan beragama Islam membawa hasil laut, sementara warga pegunungan beragama Katolik membawa hasil kebun.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Kosmas Dua melangkah ke tengah pasar, lalu menyapu pandangan ke sekeliling, melihat para pengunjung yang siaga menanti aba-aba darinya. Sejurus kemudian, kakek berusia 64 tahun itu meniup peluit panjang pertanda transaksi tukar-menukar barang sudah bisa dimulai.
Roda ekonomi di pasar barter Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pun kembali berputar. Hari itu, Sabtu (28/1/2023), pasar dibuka sekitar pukul 09.30 Wita.
Amina (34) dengan empat ekor ikan segar di tangan menerobos kerumunan sembari bola matanya liar bergerak mencari pedagang yang menjajakan pisang. Langkah wanita berhijab itu terhenti di samping dagangan Lusia (40).
Amina meletakkan tiga ekor ikan di atas satu sisir pisang. Ia mulai menawar. Tak sampai 2 detik, Lusia menggeleng sambil mengangkat jari telunjuk. Lusia meminta tambahan satu ekor ikan lagi. Tawar-menawar pun berlangsung hingga titik temu.
Amina lalu menyodorkan satu ekor ikan dengan catatan Lusia merelakan satu buah jeruk nipis sebagai bonusnya. Jika ditakar, harga masing-masing barang, baik ikan maupun pisang, tak jauh berbeda. Sekitar Rp 10.000. Tak ada yang dirugikan dalam transaksi itu.
Di sudut lain, Tina (20) menenteng satu ikat ubi kayu berisi delapan buah. Ia menemui Kadija (30) yang menjual ikan asin. Tina tidak menukarnya. ”Ini titipan dari ibu saya untuk dikasih ke ibunya Kadija. Ibu kami sudah tua, jadi mereka tidak kuat jalan ke pasar,” ujar Tina.
Turun-temurun, orangtua hingga kakek dan nenek mereka menjalin persahabatan yang diawali dengan perkenalan di pasar barter Wulandoni. Keluarga Tina berasal dari Kampung Puor, sedangkan Kadija berasal dari Kampung Lebala.
Pasar barter tidak berlangsung lama. Sekitar 1 jam, tidak ada lagi kegiatan tukar-menukar. Barang dagangan yang tersisa biasanya dibagikan secara gratis kepada kenalan mereka. Dari sinilah hubungan antarpengunjung terjalin. Mereka merasa seperti satu keluarga.
Jumat ke Sabtu
Pasar Wulandoni berada di tepi pantai, sisi selatan Pulau Lembata. Dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, waktu tempuh ke Wulandoni sekitar 2 jam menggunakan sepeda motor. Kondisi sebagian ruas jalan rusak parah. Di beberapa ruas tanjakan, aspal terkelupas dengan batu-batu berhamburan.
Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat Desa Wulandoni Joseph Kiwang mengatakan, pasar itu ada sejak 1837 sebagaimana cerita secara turun-temurun. Letak lokasi pasar barter yang pertama hanya berjarak beberapa meter dengan lokasi saat ini.
Pasar barter bermula dari para pemburu paus yang berlayar pulang ke kampung mereka di Lamalera, sisi selatan Lembata. Lebih dari satu bulan mereka hilang kabar sehingga warga kampung menganggap mereka sudah tenggelam.
Ternyata perahu mereka diseret paus hingga terdampar di sisi timur Pulau Lembata. Saat perjalanan pulang ke Lamalera itu, mereka kehabisan bubuk kayu yang biasa digunakan untuk membuat api. Mereka tidak bisa memasak makanan.
Awalnya, mereka satu keluarga, kemudian mengajak tetangga, hingga warga kampung pun ikut tukar barang di sini.
Ketika melewati pesisir Wulandoni, mereka melihat nyala api di sebuah kebun dekat pantai sehingga mereka memutuskan merapat. Seorang dari mereka turun dari perahu untuk meminta api. Orang itu disambut dengan baik, bahkan mereka diberi hasil kebun berupa ubi.
Bapak yang memberi api itu diketahui warga Kampung Lewuka, sebuah kampung di daerah pegunungan. Atas kebaikannya, pelaut Lamalera menurunkan hasil tangkapan dan memberikannya kepada bapak itu. Mereka sempat bersantap bersama.
Sebelum melanjutkan pelayaran, mereka berjanji akan bertemu lagi minggu depan. Dari Lamalera membawa hasil laut, sedangkan dari Lewuka membawa hasil kebun. ”Awalnya, mereka satu keluarga, kemudian mengajak tetangga, hingga warga kampung pun ikut tukar barang di sini,” tutur Joseph.
Melihat semakin banyak pengunjung pasar barter, pemerintah lokal sejak era kolonial mulai menata sistem pengelolaan pasar menjadi lebih teratur. Jadwal pasar barter yang sebelumnya setiap Jumat pun digeser ke Sabtu. Ini sebagai bentuk toleransi kepada pengunjung beragama Islam yang harus melaksanakan shalat Jumat.
Pengunjung pasar berasal dari sekitar 20 desa yang tersebar di lima kecamatan terdekat. Pengunjung dari daerah pegunungan membawa hasil kebun, sedangkan dari pesisir membawa hasil laut. Warga pegunungan mayoritas beragama Katolik, sedangkan warga pesisir didominasi penganut Islam.
Sebelum pasar dimulai sekitar pukul 09.30, petugas keamanan dan mandor, sebutan bagi peniup peluit, terlebih dahulu menagih retribusi. Retribusi tidak berupa uang, tetapi barang dagangan yang tidak dipatok baik ukuran maupun jumlah. Seikhlasnya.
Barang pungutan retribusi itu kemudian diuangkan untuk menjadi sumber pendapatan desa. Pada Sabtu (28/1/2023) retribusi yang didapat dari sekitar 200 pedagang itu berjumlah hanya Rp 95.000.
”Andai saja pihak desa menetapkan retribusi Rp 2.000 per orang, pendapatan desa paling sedikit Rp 400.000. Tapi, kami tidak mau terapkan itu,” kata Joseph sembari menegaskan sikap pemerintah desa yang berkomitmen melestarikan pasar barter itu.
Silvester Petara Hurit, pemerhati budaya Lamaholot, berpandangan, transaksi barter di pasar tradisional menampakkan jati diri masyarakat Lamaholot yang sesungguhnya. Masyarakat komunal dengan kultural saling berbagi tanpa mengejar keuntungan. Sayangnya, nilai itu kini kian terkikis.
Banyaknya barang di pasar barter juga menunjukkan kekayaan pangan daerah itu. Laut kaya ikan dan tanah yang subur untuk tanaman pangan. ”Masyarakat Lamaholot seharusnya tidak boleh bergantung pada makanan dari luar,” ucapnya. Lamaholot merupakan sub-etnis yang mendiami Flores Timur, Lembata, dan sebagian Alor.
Di tengah bertumbangan pasar tradisional, pasar barter di Wulandoni menolak mati hingga usianya yang diperkirakan 186 tahun. Setiap hari pasar, peluit dibunyikan pada awal dan tak pernah ada peluit akhir. Kehangatan di pasar barter ini jangan sampai berakhir.