Kenaikan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak bersubsidi menurunkan daya beli masyarakat. Imbas pandemi Covid-19 juga masih terus dirasakan masyarakat sehingga membatasi diri untuk pergi ke pasar.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedagang pasar tradisional di Jakarta mengeluhkan jumlah pembeli yang terus menurun. Pemicunya, tak hanya persoalan yang disebabkan kenaikan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak bersubsidi yang diduga menurunkan daya beli masyarakat. Imbas pandemi Covid-19 juga masih terus dirasakan masyarakat. Hingga kini, pembeli ada yang masih membatasi diri untuk pergi ke pasar tradisional.
Nasril (54), penjual makanan di Pasar Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (14/10/2022), mengatakan, kondisi pasar saat ini sudah sepi pedagang dan pembeli. Banyak pedagang yang akhirnya berhenti berjualan salah satu penyebabnya karena masa pandemi Covid-19.
Saat ini, hanya ada 20-30 pedagang yang masih aktif dari 250 kios yang ada. Terdapat dua lantai yang masih beroperasi dari empat lantai. Di lantai satu untuk berjualan bahan pokok sehari-hari, sedangkan di lantai dua masih terdapat penjual emas dan pakaian.
Lebih lanjut, daya beli masyarakat turun karena bahan pokok yang terus tinggi juga menyebabkan pembeli tidak berbelanja di pasar setiap hari. Menurut Nasril, pedagang yang masih bertahan seperti penjual bahan pokok kebutuhan sehari-hari karena mempunyai pembeli tetap di tokonya.
Hal serupa juga dialami pedagang bumbu dapur dan bahan pokok, Ramli (63), di Pasar Tebet Timur, Jakarta Selatan. Ia mengatakan, hingga pukul 10.00 baru mendapatkan empat pembeli. Padahal, ia sudah berjualan sejak pukul 06.00.
Menurut dia, menurunnya jumlah pembeli ini telah dia rasakan sejak awal pandemi Covid-19. Perubahan perilaku pembeli untuk membeli secara online juga berimbas pada pasar tradisional. Ditambah dengan kenaikan BBM dan harga bahan pokok yang mulai tinggi juga membuat pembeli yang semakin jarang didapatkan bagi pedagang di pasar.
Pendapatannya pun kian menurun. Untuk saat ini, per harinya ia hanya mengantongi pendapatan Rp 250.000 sampai Rp 300.000. Padahal, sebelum kondisi sulit sekarang ia bisa memperoleh maksimal Rp 2 juta per hari.
”Pembeli yang masih datang ke saya rata-rata sudah langganan dan usaha katering makanan. Kalau untuk pembeli rumah tangga sudah berkurang daya belinya ke pasar tradisional,” katanya.
Pedagang sayur, Ismed Zaelani (40), mengatakan, hanya ada satu pembeli yang membeli sayurannya sampai pukul 11.00. Menurut dia, membawa pulang uang sebesar Rp 500.000 sulit diperoleh. Dengan kondisi pasar yang kian sepi, banyak sayurannya yang membusuk jika tidak laku terjual.
Ia juga lebih sedikit mengambil barang dari pengepul di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Untuk setiap sayur, ia hanya berani mengambil maksimal 2 kilogram. Padahal, ketika pasar masih ramai pembeli, ia bisa mengambil setiap sayuran mencapai 5 kg lebih.
Pedagang sayur di Pasar Slipi, Jakarta Barat, Dinda (48), mengatakan, bahan sayur yang tidak laku terjual pasti akan membusuk dalam satu atau dua hari. Ia mengatasi hal tersebut dengan sedikit mengambil barang jualannya dari pengepul.
Dari berjualan sejak pukul 05.00, ia hanya memperoleh jumlah pembeli 10 orang. Dengan modal jualan sekitar Rp 700.000, ia baru bisa terpenuhi di hari ketiga berjualan. Artinya, ia hanya bisa membawa uang dari jualan sayur berkisar Rp 200.000 per hari.
Pasar tradisional ini milik pemerintah yang secara pengelolaan pasar harus bisa lebih baik. Jika pasar sepi, pengelola juga bisa memberikan pelatihan mengenai cara berjualan secara online. Karena kan yang dibutuhkan adalah perputaran uang itu bisa tetap terjadi dan meningkatkan daya beli masyarakat juga. (Sudaryono)
Pembeli di Pasar Tebet Timur, Evelina Sitinjak (66), mengatakan, membeli bahan pokok di pasar ia lakukan dua hari sampai tiga hari sekali. Kebiasaan ini dilakukan semenjak pandemi Covid-19 mulai mereda sehingga ia terbiasa membatasi aktivitas di pasar.
Menurut Kepala Pasar Slipi Hendra Silalahi, mengatasi sepi pembeli ia mencoba membangun kawasan kuliner di depan pasar. Hal ini untuk menggaet agar masyarakat tertarik untuk berkunjung.
Lokasi strategis dekat perkantoran, maka dengan menyediakan aneka macam warung makanan dan minuman diharapkan bisa menghidupkan kembali aktivitas di pasar. Sementara itu, Hendra berencana untuk menata kembali infrastruktur pasar, salah satunya lakukan cat ulang dinding-dinding supaya lebih berwarna.
Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sudaryono mengatakan, jumlah pembeli di pasar tradisional masih belum pulih sepenuhnya. Mulai dari pandemi Covid-19, harga bahan pokok yang tidak stabil dan kenaikan BBM bersubsidi tersebut membuat daya beli masyarakat masih rendah. Upaya yang dilakukan pemerintah saat ini dengan memberikan bantuan tunai langsung masih belum efektif menggerakan daya beli masyarakat, terutama untuk pasar tradisional. Kebijakan yang tepat terus dinantikan agar tidak terus menekan pedagang pasar.
”Pasar tradisional ini milik pemerintah yang secara pengelolaan pasar harus bisa lebih baik. Jika pasar sepi, pengelola juga bisa memberikan pelatihan mengenai cara berjualan secara online. Karena kan yang dibutuhkan adalah perputaran uang itu bisa tetap terjadi dan meningkatkan daya beli masyarakat juga,” katanya.