Manado Banjir, Pemerintah Klaim Bendungan Kuwil Kawangkoan Berfungsi Efektif
Sejumlah pejabat pemerintah mengklaim Bendungan Kuwil Kawangkoan efektif mengurangi dampak banjir dan tanah longsor di Manado. Meski begitu, bendungan itu hanya mengurangi debit air dari satu dari lima sungai di Manado.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sejumlah pejabat pemerintah mengklaim pembangunan Bendungan Kuwil Kawangkoan di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, efektif mengurangi dampak banjir dan tanah longsor yang melanda Kota Manado. Meski demikian, bendungan itu hanya mengurangi debit air dari satu sungai dari total lima sungai besar yang membentang di ibu kota Sulawesi Utara itu.
Klaim itu antara lain dinyatakan Direktur Sungai dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arthur Lombogia, melalui siaran pers, Senin (30/1/2023). Dalam kunjungan ke Manado sehari sebelumnya, Arthur juga menyebut curah hujan tinggi sebagai penyebab utama banjir di Manado.
Arthur menyatakan, curah hujan di Manado yang menyebabkan banjir pada Jumat (27/1/2023) lalu mencapai 300 milimeter per hari. Curah hujan itu disebut jauh lebih tinggi ketimbang hujan yang menyebabkan banjir bandang besar di Manado pada tahun 2014. Kala itu, tinggi genangan air berkisar 3-4 meter sehingga melumpuhkan kegiatan masyarakat dengan total kerugian ekonomi Rp 1,87 miliar.
Pada banjir terakhir di Manado yang terjadi Jumat lalu, tinggi genangan lebih rendah, yaitu antara 80 sentimeter dan 3 meter. Arthur menyebut kondisi itu antara lain disebabkan pengoperasian Bendungan Kuwil Kawangkoan yang kala kejadian telah mereduksi debit banjir hingga 96 meter kubik per detik sampai Sabtu (28/1/2023).
”Saat dua pintu bendungan ditutup, terjadi kenaikan (ketinggian) genangan air di bendungan, dari 96,6 meter menjadi 98,2 meter. Terjadi kenaikan muka air setinggi 2 meter atau 2,3 juta meter kubik. Bisa dibayangkan jika 2,3 juta meter kubik air ini tidak ditahan dan masuk ke Kota Manado,” kata Arthur.
Wali Kota Andrei Angouw menyatakan, dalam kejadian banjir kemarin, kantornya di bilangan Tikala tidak tergenang sama sekali. Keadaan ini jauh berbeda dengan banjir tahun 2014. Saat itu, genangan air menenggelamkan kantor wali kota yang bertingkat dua tersebut.
Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) I I Komang Sudana menyebut, banjir di Manado terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi di wilayah hilir. Hujan deras itu menyebabkan air meluap dari beberapa sungai, misalnya Bailang dan Tikala. Bersama dengan Malalayang, sungai-sungai tersebut tidak terhubung dengan Bendungan Kuwil Kawangkoan.
Bendungan Kuwil Kawangkoan memang hanya berfungsi mengurangi debit air dari Sungai Tondano, salah satu sungai yang melintasi Manado. Bendungan yang dibangun tahun 2016-2022 itu dapat mereduksi debit banjir sebesar 146,6 meter kubik per detik atau sekitar 25 persen yang mengalir di Sungai Tondano.
”Kami sebenarnya sudah mencoba mengendalikan, tetapi ini (banjir) kejadian yang luar biasa sebagaimana dilaporkan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) bahwa akan terjadi hujan yang lebat sekali,” kata Komang.
Untuk menopang fungsi bendungan senilai Rp 1,93 triliun itu, Kementerian PUPR akan melaksanakan National Urban Flood Resilience Project (Proyek Ketahanan Banjir Urban Nasional/NUFReP) di lima kota, termasuk Manado. Nantinya, akan dibangun pengendali banjir berupa tanggul untuk memperbesar kapasitas tampungan air di tiga sungai yang membentang di Manado, yaitu Tondano, Tikala, dan Sario.
Berdasarkan data Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Manado, Manado dilanda banjir hampir setiap tahun setidaknya sejak 2011. Dampak terbesar terjadi pada 2014, dengan daerah terdampak seluas 649,8 hektar.
Pada 2021, banjir di Manado menghantam 377,3 hektar wilayah. Tahun ini, banjir terjadi di 49 titik di 34 kelurahan dan 9 kecamatan, tetapi luas wilayah terdampak banjir masih dihitung.
Bisa dibayangkan jika 2,3 juta meter kubik air ini tidak ditahan dan masuk ke Kota Manado. (Arthur Lombogia)
Kepala Bapelitbangda Manado Liny Tambajong menyatakan, opini publik bahwa Bendungan Kuwil Kawangkoan tak berdampak tidaklah tepat. Menurut dia, ada delapan daerah aliran sungai (DAS) di Manado, tetapi yang dikontrol oleh bendungan itu hanya DAS Tondano.
”Jika Sungai Bailang, Tikala, dan Sario meluap karena intensitas curah hujan yang tinggi, itu (memang) bukan wilayah pengendalian (banjir) dari Bendungan Kuwil Kawangkoan,” kata Liny.
Gubernur Olly Dondokambey juga menyebut Bendungan Kuwil Kawangkoan, yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 19 Januari 2023, telah efektif mencegah luapan dari Sungai Tondano. Namun, dibutuhkan satu lagi bendungan untuk dapat menekan risiko banjir secara maksimal.
Oleh karena itu, Olly mengaku telah mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk memulai pembangunan Bendungan Sawangan yang ia sebut akan mencegah luapan di sungai-sungai selain Sungai Tondano. Namun, belum dapat dipastikan kapan pembangunan bendungan itu akan dimulai. ”Baru diusulkan,” ujar Olly.
Dosen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Aristotulus Tungka, mengingatkan, bendungan hanyalah salah satu cara mengatasi banjir. Diperlukan cara-cara lain yang juga tak kalah penting, yaitu normalisasi sungai dengan pengerukan.
Di samping itu, diperlukan penertiban bantaran sungai dari permukiman. Warga yang tinggal di bantaran sungai pun idealnya direlokasi ke tempat lain. ”Penataan kota selama ini serampangan, tidak berdasarkan teori. Masalahnya, relokasi ini cenderung sulit dan politis. Pemerintah harus menentukan, misalnya, apakah setelah direlokasi, warga harus membayar sewa,” kata Aristotulus.
Penelitian dua pengajar Jurusan Arsitektur Unsrat, yaitu Fella Warouw dan Esli Takumansang, pada 2015 juga merekomendasikan pemerintah merelokasi bangunan di sekitar sempadan sungai. Pemerintah Kota Manado diminta menjadikan wilayah sempadan selebar 5-15 meter sebagai kawasan lindung dan budidaya.
Relokasi permukiman sebenarnya sudah dilakukan pascabanjir 2014. Saat itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuka permukiman relokasi bagi korban banjir di Kelurahan Pandu dengan total 2.047 rumah. Namun, jarak tempat relokasi itu mencapai 13 kilometer dari pusat kota Manado sehingga penerima bantuan justru enggan pindah.
Kendati demikian, Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Suharyanto menyatakan, relokasi permukiman tersebut sudah tepat. Pemprov Sulut dan Pemkot Manado perlu menyempurnakan permukiman baru itu dengan menyediakan fasilitas yang mendukung aksesibilitas. Hal ini telah diinisiasi dengan trayek angkutan Damri dari Pandu ke dekat kawasan Pasar 45.