Sidang Tragedi Kanjuruhan, Jaksa Persoalkan Anggota Polri Jadi Pengacara
Keberadaan penasihat hukum dari anggota Polri untuk tiga terdakwa dari anggota Polri dalam sidang Tragedi Kanjuruhan dipersoalkan karena dianggap melecehkan sistem hukum.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum kasus Tragedi Kanjuruhan menolak eksepsi atau keberatan tiga terdakwa dari anggota Polri. Jaksa juga mempersoalkan keberadaan anggota Polri yang menjadi pengacara atau penasihat hukum tiga terdakwa.
Demikian diutarakan jaksa penuntut umum Rahmat Hary Basuki dalam sidang lanjutan kasus Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (24/1/2023).
Tiga terdakwa dari anggota Polri adalah bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Ketiga terdakwa telah menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan pada Senin (16/1/2023). Sidang berikutnya adalah pembacaan nota keberatan atau eksepsi pada Jumat (20/1/2023). Adapun sidang ketiga dengan agenda jawaban atau pendapat penuntut umum terhadap eksepsi. Ketiga terdakwa menunjuk Ajun Komisaris Besar Nurul Anaturoh dari Bidang Hukum Polda Jatim selaku pengacara.
Rahmat menyatakan, keberadaan anggota Polri aktif sebagai pengacara terdakwa menyalahi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal itu juga menyalahi UU No 18/2003 tentang Advokat.
Dalam UU Polri dinyatakan, dalam proses pidana, anggota Polri tidak berwenang melakukan pendampingan hukum. Sementara itu, UU Advokat menyatakan, anggota Polri yang notabene aparatur sipil negara tidak dapat menggunakan atribut advokat.
”ASN, aparatur, atau pejabat tidak boleh mewakili (terdakwa),” kata Rahmat. Oleh karena itu, jaksa meminta majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya (ketua) serta Mangapul dan I Ketut Kimiarsa (anggota) membatalkan keberadaan kuasa hukum terdakwa dari anggota Polri itu.
Rahmat menambahkan, jaksa juga menolak eksepsi terdakwa yang antara lain meminta dibebaskan dari hukum karena dakwaan disusun dengan tidak cermat, konstruksi hukum rapuh, dan meraba-raba. Ketiga terdakwa didakwa menyebabkan mati dan atau luka-luka orang lain karena kealpaan. Terdakwa dituduh melanggar Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana maksimal penjara 5 tahun.
Tragedi Kanjuruhan merupakan insiden berdarah sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022) malam. Insiden terjadi seusai laga lanjutan Liga 1 antara tuan rumah Arema FC dan Persebaya Surabaya. Horor berdarah itu dipicu penembakan gas air mata oleh petugas keamanan terhadap penonton.
Suporter yang hampir seluruhnya Aremania, pendukung Arema FC, berusaha menyelamatkan diri dari dampak gas air mata sehingga berdesakan, saling injak, dan berimpitan. Akibatnya, 135 jiwa meninggal di stadion, dalam perjalanan atau dalam penanganan di rumah sakit. Selain itu, lebih dari 600 jiwa terluka.
Rahmat menyatakan, jaksa telah mencantumkan pasal konkret sebagai dasar dakwaan di mana KUHP masih berlaku sebagai hukum positif. Pasal-pasal yang dikenakan telah jelas dan tegas masuk dalam delik materiil tentang hubungan sebab akibat antara perbuatan terdakwa dan peristiwa hukum yang tidak dikehendaki.
UU Advokat menyatakan, anggota Polri yang notabene aparatur sipil negara tidak dapat menggunakan atribut advokat.
Dalam sidang pembacaan eksepsi, Nurul menyatakan, dakwaan jaksa tidak jelas dan meraba-raba, antara lain, surat dakwaan tidak menjelaskan, merinci, serta menyebut tugas dan kewajiban mana dan apa yang tidak dipenuhi ketiga terdakwa.
Secara terpisah, Habibus Shalihin dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya menyatakan, keberadaan anggota Polri aktif sebagai penasihat hukum terdakwa yang juga anggota Polri menjadi keganjilan besar dan patut diusut. ”Ini telah merusak dan melecehkan sistem hukum yang berlaku,” katanya.
Dalam kasus ini, Polri menetapkan enam tersangka yang lima di antaranya telah bersatus terdakwa. Dua terdakwa lain adalah bekas Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris dan bekas securityofficer Suko Sutrisno. Keduanya menjalani sidang pemeriksaan saksi. Satu tersangka lainnya adalah bekas Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita. Berkas perkara Akhmad masih dilengkapi tim penyidik Polda Jatim sehingga belum bisa disidangkan.
Kelima terdakwa dianggap melanggar Pasal 359 dan atau Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana maksimal penjara 5 tahun. Untuk terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno juga didakwa melanggar Pasal 103 juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya mengatakan akan membacakan putusan sela dalam sidang berikutnya pada Jumat (27/1/2023).