Korban Pelanggaran HAM Berat Talangsari Menantikan Penegakan Hukum
Keluarga korban pelanggaran HAM berat di Talangsari, Lampung, menuntut negara mengembalikan hak-hak korban. Mereka juga ingin pemerintah menegakkan hukum atas kasus tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Keluarga korban Talangsari di Lampung mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tragedi berdarah itu. Namun, mereka berharap sikap itu dibarengi langkah nyata terkait pemenuhan hak korban dan penegakan hukumnya.
Tragedi itu terjadi dalam operasi militer 7-8 Februari 1989 di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, yang saat itu masih berada di Lampung Tengah. Bentrok warga dengan pihak militer itu menewaskan 31 warga sipil, sebagian besar dari kelompok Anwar Warsidi. Sementara dari militer, Kapten Soetiman, Komandan Rayon Militer Way Jepara, dilaporkan tewas.
Akan tetapi, berdasarkan investigasi Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Smalam), jumlah korban tewas mencapai 246 orang. Para korban bukan hanya dari kelompok Warsidi, melainkan juga warga dari desa di sekitar lokasi kejadian.
”Pengakuan saja tidak cukup. Yang paling utama adalah pemenuhan hak korban dan penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari. Kami tetap menuntut negara mengembalikan hak korban dan menegakkan hukum kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari,” kata Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung Edi Arsadad saat dihubungi dari Bandar Lampung, Kamis (12/1/2023).
Edy mengatakan, pemulihan hak korban sangat penting. Sebagai korban pelanggaran HAM, ganti rugi atas rumah yang dibakar dan tanah yang dirampas saat tragedi Talangsari sangat dinantikan.
Hingga saat ini, 96 korban Talangsari dan keluarganya masih hidup dalam stigma dan diskriminasi. Selain belum mendapatkan hak atas tanah yang dirampas, mereka juga menanggung stigma sebagai bagian dari kelompok gerakan pengacau keamanan.
”Korban Talangsari sekarang sudah uzur dan mereka masih berusaha memperjuangkan hak-hak atas kerugian materi yang dialami dalam tragedi itu. Namun, tidak adanya payung hukum membuat hak-hak korban belum bisa dikembalikan,” papar Edi.
Edi menambahkan, keluarga korban juga masih berjuang agar para pelaku pelanggaran HAM berat di Talangsari bisa diadili. Ia menyatakan siap menunjukkan sejumlah bukti terkait dengan keterlibatan aparat dalam pembantaian warga dari kelompok Anwar Warsidi.
Sejauh ini, pihak yang telah menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah baru dari kelompok Anwar Warsidi. Sementara keterlibatan pihak militer, yang ketika itu berada di bawah komando Komandan Komando Resor Militer (Korem) 043/Garuda Hitam, urung diusut.
Sebelumnya, Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diketuai Makarim Wibisono telah turun ke Lampung untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus Talangsari, Way Jepara, Lampung Timur, secara non-yudisial. Upaya penyelesaian secara non-yudisial ini diharapkan menjadi alternatif agar hak-hak para korban pelanggaran HAM segera bisa diberikan.
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung Cik Ali menilai, proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara non-yudisial justru akan melemahkan upaya penyelesaian secara hukum yang selama ini dituntut para korban. Hal itu juga menunjukkan kelemahan negara dalam menindak pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Padahal, katanya, Komnas HAM telah merekomendasikan agar pemerintah dan DPR membentuk peradilan HAM yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun, hingga kini, lembaga peradilan untuk menindak para pelaku pelanggarannya belum terwujud.