Royke, dari Penertiban Gunung Botak hingga Raih Gelar Doktor
Kapolda Maluku pada 2018-2020 ini saat menjabat memimpin langsung penertiban tambang emas liar Gunung Botak yang merusak lingkungan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Dalam konferensi pers di kantor Gubernur Maluku pada Oktober 2018, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa mengutarakan niatnya untuk menertibkan penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Royke menyampaikannya dengan nada datar, santai, dan sambil tersenyum.
Puluhan jurnalis yang mengikuti konferensi pers itu pesimistis. ”Beberapa kapolda sebelumnya yang sering bicara dengan nada tinggi tentang Gunung Botak saja tidak tutup, apalagi yang ini bicara sambil senyum-senyum. Tidak bakalan ditertibkan. Hanya omong saja,” ujar seorang jurnalis.
Dua hari setelah konferensi pers, Royke yang kala itu belum lama bertugas mengajak sejumlah jurnalis ke Gunung Botak. Turun dari pesawat, perjalanan dilanjutkan dengan speedboat atau perahu motor cepat, lalu menggunakan mobil bergardan ganda menuju Gunung Botak. Medan jalan berat.
Royke memimpin langsung penertiban. Ia bahkan mendaki ke puncak gunung demi bertemu dengan ribuan petambang. Ia meminta mereka segara mengosongkan areal itu. Tak ada perlawanan dari petambang.
Hal ini berbeda dengan beberapa penertiban sebelumnya yang selalu diwarnai aksi perlawanan petambang. Mereka tak segan melempari petugas. Seorang anggota satpol PP dari Provinsi Maluku bahkan mengalami luka parah akibat perlawanan itu.
Penertiban kali ini berjalan mulus. Itu lantaran beberapa tuntutan petambang dipenuhi Royke. Salah satunya menutup aktivitas beberapa perusahaan di lokasi itu. Dengan begitu, petambang merasa ada keadilan.
Tak hanya menutup aktivitas perusahaan, Royke juga meminta bantuan Badan Reserse Kriminal Polri untuk menyelidiki dugaan kejahatan lingkungan. Penanggung jawab perusahaan pun ditetapkan sebagai tersangka. Namun, setelah Royke dimutasi dan pensiun pada 2020, penanganan kasus itu terhenti.
Aktivitas tambang liar harus ditutup mengingat telah terjadi pencemaran lingkungan yang parah. Sejak mulai dibuka tahun 2011, para petambang di Gunung Botak menggunakan merkuri untuk mengolah emas. Ada juga yang menggunakan sianida dan zat kimia berbahaya lainnya.
Dalam catatan Kompas, hasil penelitian ahli kimia anorganik dari Universitas Pattimura, Ambon, Yusthinus Thobias Male, yang diungkapkan pada November 2015, menyebutkan, lingkungan di sana sudah tercemar merkuri. Bahkan, sejumlah warga Pulau Buru juga terpapar logam berat itu.
Kadar merkuri di sana sudah sangat tinggi, yakni mencapai 9 miligram per kilogram lumpur. Padahal, ambang batas merkuri pada sedimen tidak boleh lebih dari 1 mg per kg lumpur. Sampel dikumpulkan dari sedimen di tujuh lokasi.
Merkuri ditemukan pada udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting yang diambil dari Teluk Kayeli, muara sungai yang sudah tercemar. Konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel itu pun sudah melampaui batas atas standar nasional yang hanya 0,5 mg per kg sampel. Temuan pada udang lebih dari tiga kali lipat dibandingkan standar, ikan tujuh kali lipat, kerang enam kali lipat, dan kepiting dua kali lipat.
Sementara, temuan merkuri pada tubuh manusia diperoleh dari sampel rambut. Pada rambut penduduk di sekitar tempat pengolahan emas, kadar merkuri 18 mg per kg sampel atau lebih tinggi 36 kali dari standar. Ada lima warga petambang yang dijadikan sampel.
Pada sampel penduduk yang bukan pekerja tambang ditemukan konsentrasi merkuri dua sampai tiga kali standar. Lima penduduk dijadikan sampel. Hasil penelitian Yusthinus itu menggemparkan.
Cerita tentang peranan Polri dalam penertiban tambang emas liar di Gunung Botak menjadi catatan positif yang ditinggalkan Royke di Maluku. Ia dinilai sebagai kapolda pemberani yang melawan ”mafia” tambang liar di sana.
Catatan serupa pernah ditorehkan Panglima Kodam Pattimura 2015-2017, Mayor Jenderal Doni Monardo. Doni, yang dikenal peduli pada kelestarian lingkungan itu, membuat para ”mafia” di Gunung Botak tiarap. Namun, setelah Doni dimutasi, tambang ilegal aktif lagi.
Setelah pensiun dari Polri pada 2020, Royke melanjutkan kuliah doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Pada 31 Desember 2022, ia mengikuti ujian promosi doktor.
Disertasi Royke berjudul ”Penataan Penambangan Emas Tanpa Izin Menuju Pertambangan Rakyat Berkelanjutan (Studi Kasus di Gunung Botak dan Sekitarnya, Pulau Buru, Provinsi Maluku dari Perspektif Polri)”.
Royke pun meraih gelar doktor dalam masa studi hanya lima semester dengan indeks prestasi 3,99. Ia lulus dengan predikat cum laude. Ia memecahkan rekor di kampus tersebut.
Lalu, apa yang dilakukan setelah meraih gelar doktor? Royke berencana mengimplementasikan zero carbon dengan bersepeda dari Jakarta ke Paris, Perancis, selama satu tahun melewati 40 negara. Ia membawa lima misi.
”Persahabatan dan perdamaian dunia, pelestarian lingkungan, sepeda sebagai moda transportasi ramah lingkungan, mempropagandakan bahwa Indonesia siap menjadi tuan rumah Olimpiade 2036, dan promosi Indonesia sebagai destinasi wisata,” kata Royke.
Hingga kini, tambang emas liar di Gunung Botak masih berlangsung kendati jumlah petambang sudah berkurang jauh dibandingkan tahun 2015 yang melampaui 20.000 orang. Petambang masuk ke sana melalui beberapa jalur yang tidak diawasi petugas.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, patroli masih terus dilakukan. ”Itu, kan, luas dan banyak ’jalan tikus’ masuk ke sana,” ujarnya. Luas kawasan tambang itu mencapai 250 hektar.
Menurut Roem, belakang polisi masih terus menangkap para petambang dan pemodal. Polisi mengamankan barang bukti seperti merkuri, alat pengolahan emas, dan lempengan emas.