Hampir 25 tahun, Sipon hidup dalam tanya setelah suaminya, Wiji Thukul, hilang di tengah gejolak politik. Meski kini dia telah berpulang, perjuangan Sipon untuk memperoleh keadilan akan terus dilanjutkan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Hampir 25 tahun, Dyah Sujirah atau Sipon hidup dalam tanya. Suami Sipon, penyair dan aktivis Wiji Thukul, hilang di tengah gejolak politik pada masa Orde Baru. Meski Sipon telah berpulang, perjuangannya untuk memperoleh keadilan atas kasus orang hilang akan terus dilanjutkan.
Bendera merah yang terbuat dari kertas terpasang pada ujung gang di salah satu sudut Kelurahan Jagalan, Kecamatan Pucangsawit, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (6/1/2023). Jalan kampung yang lebarnya hanya sebadan mobil itu ditutup untuk lalu lintas kendaraan. Kursi-kursi plastik tertata rapi di depan sebuah rumah kecil. Orang berpakaian serba hitam berdatangan untuk melayat.
Di rumah itu terbaring jenazah Sipon yang mengembuskan napas terakhirnya, Kamis (5/1/2023). Istri penyair dan aktivis Wiji Thukul tersebut meninggal dalam usia 55 tahun akibat serangan jantung setelah sempat dirawat satu malam di Rumah Sakit Hermina, Surakarta.
Kondisi kesehatan almarhumah juga dikabarkan menurun sejak dua pekan terakhir. Apalagi, dia juga memiliki riwayat penyakit diabetes yang membuat salah satu kakinya terpaksa diamputasi.
Sarijo (64), kakak Sipon, menceritakan, adiknya itu memiliki nama asli Dyah Sujirah. Namun, Dyah kecil sering kali terserang penyakit. Akhirnya, Dyah menjalani ruwatan dan berganti nama menjadi Sipon dengan harapan agar dia menjadi lebih kuat.
Harapan itu pun terwujud. Sipon tumbuh sebagai seorang perempuan tangguh. Hal itu tampak dari berbagai pergerakannya membela orang-orang tertindas meskipun ia sendiri susah payah menjalani hidupnya, lebih-lebih setelah Thukul hilang. Intimidasi yang dia alami sewaktu rezim otoriter berkuasa juga tak pernah membuatnya gentar.
”Dia itu dukanya banyak. Sukanya kok rasanya hampir tidak ada. Tetapi, saya justru bangga. Kalau saya menyebut dia sudah seperti pahlawannya orang-orang kecil,” kata Sarijo, yang akrab disapa Mbembong.
Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, Sipon bukan hanya istri aktivis, tetapi juga seorang aktivis. Wahyu menyebut, berdasar pengakuan Thukul, Sipon memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi politik.
Dalam puisi yang berjudul ”Para Jendral Marah-Marah”, Thukul menulis, ”ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu daripada aku.”
Advokasi
Wahyu menambahkan, semenjak kehilangan Thukul, Sipon juga enggan berdiam diri. Ia malah aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan advokasi, khususnya melalui Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
Salah satu yang dikenang Wahyu, Sipon pernah mendorong agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan sertifikat bagi korban pelanggaran HAM guna memudahkan pengurusan dokumen kependudukan.
”Ini Mbak Pon sudah nggak ada. Tetapi, semangat untuk mencari keadilan dan mencari kepastian atas Wiji Thukul dan korban-korban hilang lainnya akan tetap kita lanjutkan,” ujar Wahyu.
Wahyu meyakini, perjuangan Sipon akan diteruskan oleh kedua anaknya, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Fajar dikenal sebagai musisi yang getol menyuarakan HAM. Ia banyak membawakan kembali puisi-puisi ayahnya sendiri yang digubah menjadi lagu.
Sementara itu, Wani berjuang lewat puisi. ”Wani dan Fajar akan terus menyanyi dan berpuisi untuk melanjutkan apa yang selama ini disuarakan oleh Mbak Pon,” kata Wahyu.
Sekretaris Jenderal IKOHI Zaenal Muttaqien mengatakan, Sipon dikenal gigih dan tak kenal lelah dalam memperjuangkan keadilan. Zaenal mengenang, dalam suatu waktu, Sipon pernah bolak-balik Jakarta dan Surakarta hampir setiap bulan demi mengadvokasi penuntutan keadilan atas korban yang kehilangan anggota keluarganya semasa Orde Baru.
Zaenal menuturkan, Sipon juga berusaha menguatkan sesama keluarga korban penghilangan paksa. Dia mencontohkan, Sipon pernah membantu keluarga-keluarga korban yang mengalami kesulitan ekonomi dengan mengajarkan keterampilan menjahit yang dimilikinya.
Wani dan Fajar akan terus menyanyi dan berpuisi untuk melanjutkan apa yang selama ini disuarakan oleh Mbak Pon. (Wahyu Susilo)
Dia juga kerap membagikan pesanan jahit seragam yang diterimanya kepada para keluarga korban lain. Semua itu dilakukannya dalam kondisi ekonomi yang juga serba terbatas mengingat perannya sebagai orangtua tunggal.
”Perjuangannya seperti tanpa henti. Lebih dari 20 tahun dia memperjuangkan itu. Memang, kiprah Mbak Sipon besar sekali dalam memperjuangkan kasus penghilangan orang,” kata Zaenal.
Hastin Dirgantari, teman dekat Sipon, menuturkan, harapan untuk keluarga korban orang hilang sempat mengembang tahun lalu. Harapan itu muncul setelah terbitnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.
Menurut keputusan itu, tim yang dibentuk harus melakukan pengungkapan dan mendorong penyelesaian non-yudisial atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim juga perlu merekomendasikan pemulihan bagi korban serta langkah-langkah pencegahan HAM berat di masa depan.
Ditargetkan, tim tersebut meneyelesaikan laporannya awal tahun ini untuk selanjutnya diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Setelahnya, tinggal bagaimana kepala negara menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang sudah dirumuskan tersebut.
”Pak Jokowi, tolong ini diselesaikan secara baik. Jangan sampai nanti ada keluarga-keluarga korban penghilangan paksa yang meninggal dalam kondisi belum ada kepastian mengenai persoalan keluarga mereka. Kan, kasihan kalau dibawa sampai mati seperti ini,” tutur Hastin.