Selama 2019-2022 tercatat ada 52 kasus perdagangan satwa di Aceh. Penanganan kasus perdagangan satwa mulai membaik walaupun belum maksimal.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kasus perburuan dan perdagangan satwa lindung di Provinsi Aceh dalam tiga tahun terakhir meningkat. Kondisi ini menunjukkan keberlangsungan hidup satwa lindung di Aceh kian terancam. Beberapa kasus proses hukum belum tuntas.
Manager Program Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan, Rabu (4/1/2023), mengatakan, selama 2019-2022 pihaknya mencatat ada 52 kasus perdagangan satwa. Satwa yang paling banyak diburu adalah gajah dan harimau.
Rilis akhir tahun itu digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK), lembaga swadaya masyarakat pemantauan kasus perdagangan satwa, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh.
LSGK mencatat pada 2019 terjadi 10 kasus perdagangan satwa, 2020 sebanyak 11 kasus, 2021 sebanyak 15 kasus, dan tahun 2022 naik menjadi 16 kasus. ”Kami simpulkan penanganan kasus perdagangan satwa mulai membaik walaupun belum maksimal,” kata Missi.
Barang bukti yang disita dari para terdakwa berupa sisik trenggiling, tulang belulang dan kulit harimau, opsetan beruang madu dan burung tiong emas (Gracula religiosa).
Missi mengatakan, kenaikan kasus dapat dipandang dua sisi, pertama semangat penegakan hukum meningkat dan sisi yang lain satwa lindung kian terancam.
Adapun profesi pelaku beragam, mulai dari petani, pegawai negeri, hingga eks pejabat daerah. Sementara kasus yang mendapat perhatian publik adalah kasus perdagangan kulit harimau yang melibatkan eks bupati Bener Meriah. ”Kasus itu ditangani sejak Mei 2022 sampai sekarang belum tuntas, masih P21,” kata Missi.
Missi menuturkan, spesies kunci, seperti harimau dan gajah, masih menjadi sasaran utama perburuan. Di Aceh Tenggara, seekor gajah jantan ditemukan mati di kebun warga, hingga kini gadingnya tidak diketahui keberadaannya. ”Selain penegakan hukum, pencegahan perburuan harus diperkuat. Jika tidak, satwa-satwa kunci kian terancam,” kata Missi.
Sebenarnya Aceh telah punya qanun/perda perlindungan satwa lindung, tetapi penerapan belum maksimal.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Afifuddin Acal mengatakan, banyak kasus kematian satwa yang belum tuntas. Menurut Afifuddin, proses hukum terhadap kasus tersebut harus dituntaskan agar tidak menjadi catatan buruk.
Beberapa kasus yang proses hukum masih stagnan ialah kematian gajah di Aceh Timur dan Aceh Tenggara, serta kematian orangutan di Gayo Lues. ”Jika dilihat dari besaran vonis semua, perkara vonisnya di bawah tuntutan jaksa,” ujar Afifuddin.
Afifuddin mengatakan, pengelolaan kawasan yang keliru membuat potensi konflik dan perburuan terhadap satwa lindung kian masif. Pembukaan jalan di dalam kawasan hutan akan memutuskan koridor satwa dan memudahkan pemburu mengakses ke hutan. ”Sebenarnya Aceh telah punya qanun/perda perlindungan satwa lindung, tetapi penerapan belum maksimal,” kata Afifuddin.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye FJL Aceh Munandar Syamsuddin mengatakan, beberapa kasus yang terjadi pada 2021 juga masih belum tuntas. Oleh karena itu, jurnalis lingkungan perlu terus mengawal proses hukum.
”Kami mendorong agar para pihak untuk lebih terbuka terhadap informasi proses penegakan hukum,” kata Munandar.
Sebelumnya Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Subhan menuturkan, penegakan hukum kasus kejahatan terhadap satwa menunjukkan kemajuan.
”Penegakan hukum banyak kemajuan, baik kerja kepolisian maupun Balai Gakkum. Kerja sama yang terbangun harus diperkuat agar semakin banyak kasus dan pencegahan dapat kita lakukan,” kata Subhan.