Maraknya Pawang Hujan dan Harapan Akan Pulih dari Pandemi
Aktivitas-aktivitas masyarakat ramai digelar kembali setelah pandemi Covid-19 mereda. Pawang hujan pun kebanjiran permintaan lagi.
Situasi pandemi Covid-19 memang belum berhenti. Namun, cerita hidup tetap harus berganti. Tidak ada kata lain lagi. Roda kehidupan harus terus berputar.
Bagi Puji Hartono, seniman lukis asal Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ramainya aktivitas yang dilakukan pawang hujan adalah bagian dari cerita berbeda yang ditangkapnya di tengah pelonggaran aktivitas masyarakat saat ini.
”Aktivitas-aktivitas masyarakat ramai digelar kembali. Pawang hujan pun kebanjiran permintaan lagi,” ujarnya.
Ramainya aktivitas menolak hujan di tengah situasi pandemi terkini itulah yang kemudian digambarkannya dalam lukisan berjudul ”Pawang Hujan”. Dalam lukisan tersebut, dia menggambarkan cucuran air hujan, pemandangan langit, dan sejumlah ubo rampe atau perlengkapan yang biasa dipakai untuk ”menolak” hujan.
Puji yang sehari-hari juga berprofesi sebagai jurnalis televisi itu mengatakan, dirinya memang memiliki kecenderungan untuk melukiskan apa yang banyak ditemui dalam aktivitas kerja reportasenya. Kali ini, riuhnya acara hajatan dan kebutuhan akan keberadaan pawang hujan menjadi realitas yang cukup sering ditemuinya.
Lukisan ”Pawang Hujan” karya Puji menjadi salah satu dari 18 lukisan yang ditampilkan dalam pameran gabungan visual artexhibition dari 12 seniman dari Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) bertema Struggle yang digelar di Limanjawi Art House, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Pameran dibuka pada 18 Desember 2022 lalu dan berlangsung hingga 8 Januari 2023. Bertempat di lokasi yang sama, dan dalam durasi waktu yang sama, juga digelar pameran lukisan Spirit of Java IV dari lima pelukis asal Yogyakarta.
Pandemi sebenarnya memberi kisah tersendiri bagi Puji. Tahun 2021, dia bersama istri dan putra tunggalnya sempat terinfeksi Covid-19 sehingga mereka sekeluarga terpaksa menjalani masa isolasi selama 10 hari.
”Kenangan” itu juga sempat diungkapkannya dalam lukisan yang diberinya judul ”Ber3”. Ketika itu, dia menggambarkan tiga virus penyebab Covid-19 dengan ukuran berbeda-beda. Virus berukuran kecil sengaja dilukis untuk menggambarkan virus yang menyerang Nathan, putranya.
Namun, di masa kini, dia tidak ingin menggambarkan ragam virus apa pun lagi. ”Sudah cukup. Lebih baik saya menggambarkan cerita-cerita dari situasi terkini saja,” ujarnya.
Keengganan untuk bercerita perihal pandemi juga dirasakan oleh seniman lainnya, Tanto. Di tengah situasi sudah serba longgar dan berangsur pulih, seniman asal Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang ini ingin kembali melakukan kesenangannya menggambarkan kondisi alam.
Dia pun kembali beraktivitas menjelajah alam, memasuki hutan, dan mencoba mengeksplorasi pemandangan sekelilingnya, termasuk dengan cara memanjat pohon dan melihat panorama dari atas. Selain karena menjadi bagian dari aktivitas untuk mendapatkan inspirasi melukis, aktivitas di alam menjadi kegiatan yang digemari dan bisa membangkitkan mood yang sebelumnya terpuruk karena situasi pandemi.
Selain untuk ketenangan dan kegembiraan batinnya sendiri, keteguhan sikap untuk tidak melukiskan segala sesuatu terkait pandemi juga menjadi sebuah harapan supaya situasi benar-benar kembali pulih seperti semula.
”Lukisan tentang alam ini menjadi semacam doa sederhana supaya kehidupan bisa menjadi lebih baik lagi, kembali pada kegembiraan ekosistem seperti yang kita rasakan di masa sebelum pandemi,” ujarnya.
Umar Chusaeni, Ketua KSBI, mengatakan, KSBI juga lebih memilih menggambarkan kisah-kisah yang lebih ceria dan gembira dengan melukiskan seperti aktivitas keseharian masyarakat yang disimbolkan dengan perilaku binatang.
KSBI juga lebih memilih menggambarkan kisah-kisah yang lebih ceria dan gembira.
Dalam lukisannya berjudul ”To the North”, Umar melukiskan kerbau yang menggendong binatang serupa anjing. Di tanah di bawahnya tampak berseliweran binatang-binatang lain, seperti kambing dan ayam.
Umar mengatakan, lukisannya menceritakan aktivitas menggendong yang akrab ditemui di desa. Selain orangtua yang membawa anak, adegan menggendong juga acap kali ditemui dari anak-anak yang membawa dan memeluk binatang peliharannya.
Lukisan tersebut juga sengaja diberi ”To the North” atau ke utara, yang di masa kecilnya, pergi ke arah utara berarti pergi ke tempat menyenangkan, tempat bermain bersama teman-temannya.
Baca juga : Energi Seni dari Institut Seni Indonesia Denpasar
Di lukisan lain yang diberinya judul ”Good Deal”, Umar menampilkan figur dua binatang yang bersalaman dan di tengah terdapat binatang lain yang merangkul dua binatang tersebut.
Menggambarkan suasana penuh keakraban, dia pun mempersilakan setiap orang untuk menafsirkan bentuk keakraban yang dilihat. ”Ini bisa bentuk keakraban atau perdamaian setelah pertengkaran, namun juga bisa diterjemahkan sebagai simbol koalisi parpol menjelang pemilu. Silakan saja tasirkan adegan ini sesuai persepsi masing-masing,” ujarnya sembari tersenyum.
Sejumlah seniman masih menggambarkan ”sisa-sisa” pandemi. Namun, sisa inspirasi itu bahkan tidak tergambarkan jelas sebagai adegan cerita di sana.
Easting Medi, pelukis asal Kecamatan Borobudur, misalnya, hanya sebatas menggunakan sisa inspirasi pandemi dari segi pewarnaan. Medi adalah pelukis spesialis kepala Buddha dan, dalam lukisannya berjudul ”Morning Light”,dia menggunakan warna-warna dari tanaman hias. Selain memang memiliki dan merawat tanamannya sendiri, berbagai ragam tanaman hias sering kali dilihatnya karena aktivitas merawat tanaman tumbuh menjadi hobi, kegemaran banyak orang, yang di masa pandemi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Maraknya penularan virus di tahun 2020-2021 juga mengakrabkan sebagian besar warga, termasuk dirinya, untuk berkutat dengan empon-empon. Namun, jika kebanyakan orang menggunakannya sebagai jamu, atau obat alami untuk meningkatkan stamina tubuh, Medi banyak bereksperimen menggunakan empon-empon sebagai warna lukisan. Kebiasaan menggunakan rempah sebagai warna tersebut masih terus terbawa hingga kini.
Mengusung tema Struggle yang bermakna ’,perjuangan’, pameran lukisan KSBI kali ini sebenarnya juga masih berhubungan dengan situasi pandemi. Umar mengatakan, segala masalah terkait pembatasan kegiatan masyarakat dan bahaya penularan virus membuat masa dua tahun lebih ini terasa sungguh berat untuk dilalui. Setiap orang, termasuk seniman, harus berjuang dengan caranya masing-masing agar bisa bertahan menghadapi situasi tersebut.
Baca juga : Pameran Lukisan Lintas Generasi Kawitan di Bentara Budaya Bali
Oleh karena itu, ketika kemudian situasi berangsur membaik, para seniman pun merasa perlu merayakannya dengan kembali menggelar pameran lukisan kali ini. ”Pameran ini adalah wujud dari rasa syukur kami, masih bisa tetap berkarya, berjuang, dan beradaptasi dengan situasi pandemi,” ujarnya.
Sebanyak 18 lukisan yang ditampilkan dalam pameran semuanya adalah lukisan baru, karya pelukis di tahun 2022.
Selalu ada cerita berbeda di bawah langit yang sama dan kita harus selalu mengusahakan tumbuhnya energi baru untuk beradaptasi menyikapi semua itu.