Pengungsi Rohingya Kabur, Sindikat Perdagangan Orang Diduga Terlibat
Sebanyak 32 pengungsi etnis Rohingya dari total 229 orang dilaporkan telah kabur dari kamp penampungan sementara di Kota Lhokseumawe, Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
LHOKSEUMAWE, KOMPAS — Sebanyak 32 pengungsi etnis Rohingya dari total 229 orang dilaporkan telah kabur dari kamp penampungan sementara di Kota Lhokseumawe, Aceh. Diduga ada keterlibatan sindikat perdagangan orang untuk mengeluarkan pengungsi Rohingya dari kamp penampungan.
Iskandar Dewantara, Koordinator Monitoring dan Evaluasi Yayasan Geutanyoe, lembaga yang fokus pada isu kemanusiaan, Selasa (20/12/2022), mengatakan, pengungsi Rohingya bukan kabur dari kamp, melainkan dikeluarkan oleh sindikat perdagangan orang.
”Pengungsi Rohingya tidak tahu kawasan, tidak mungkin mereka tahu jalan keluar. Saya menduga ada yang memfasilitasi, bisa saja di belakang ini sindikat perdagangan orang,” ujar Iskandar.
Pada Selasa (13/12/2022) dini hari, 23 pengungsi Rohingya juga kabur dari kamp penampungan di gedung bekas Kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe. Aksi para pengungsi itu diketahui oleh petugas keamanan. Sebanyak 10 orang berhasil ditangkap, sementara 13 orang lolos.
Saat itu, polisi menemukan dua mobil minibus diparkir di tepi jalan, diduga akan digunakan untuk menjemput pengungsi tersebut. Pihak kepolisian menyebutkan, pengungsi itu dibawa ke Kota Medan, Sumatera Utara. Dari Medan, mereka akan diselundupkan ke luar negeri.
Namun, informasi yang dihimpun Kompas, aksi pelarian dari kamp juga terjadi setelah itu. Data yang didapatkan Kompas, 32 pengungsi Rohingya telah kabur dari tempat penampungan.
Saat polisi menggagalkan upaya pelarian 10 pengungsi pada Selasa (13/12/2022) dini hari, tiga warga lokal ikut ditahan. Polisi masih merahasiakan identitas warga lokal tersebut dengan alasan untuk kepentingan penyelidikan.
Iskandar mengatakan, jika dicermati kronologi kaburnya para pengungsi, tercium adanya indikasi keterlibatan sindikat perdagangan orang. Menurut dia, otak di balik sindikat tersebut berada di luar Aceh, tetapi jaringan itu memengaruhi warga lokal untuk terlibat dengan iming-iming imbalan rupiah.
Iskandar pun mendesak kepolisian agar mengungkap sindikat perdagangan orang yang mengatur pelarian para pengungsi Rohingya. ”Pengungsi Rohingya adalah korban. Mereka terusir dari tanahnya, kemudian diperjualbelikan di negara lain,” katanya.
Para pengungsi Rohingya tersebut datang ke Aceh pada dua waktu yang berbeda. Gelombang pertama sebanyak 110 pengungsi terdampar di pantai Desa Meunasah Baro, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, pada 15 November 2022. Sehari kemudian, 119 orang terdampar di Desa Bluka Teubai, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
Pengungsi itu sempat ditampung warga di balai desa dan balai kecamatan. Namun, merasa terbebani, warga mengangkut pengungsi itu ke kantor bupati setempat. Belakangan para pengungsi ditempatkan di gedung bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe, kota tetangga Kabupaten Aceh Utara. Kini diperkirakan jumlah pengungsi yang tersisa di lokasi itu sebanyak 197 orang.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Winardy mengatakan, kasus kaburnya pengungsi masih dalam penyelidikan. ”Kami telah periksa 13 orang. Kami juga mendalami keterlibatan sindikat perdagangan orang dalam kasus ini,” ucapnya.
Pada awal 2021, Polda Aceh pernah menangani kasus penyelundupan manusia terhadap 99 pengungsi Rohingya. Empat pelaku divonis masing-masing 5 tahun kurungan.
Dihubungi terpisah, anggota staf Perlindungan Pengungsi UNHCR Indonesia, Nurul Fitri Lubis, belum bersedia memberikan keterangan. Sebelumnya, Sekretaris International Concern Group for Rohingyas (ICGR) Adli Abdullah mengatakan, konflik yang terjadi di Myanmar membuat etnis Rohingya kian tersisih. Mereka keluar dari Myanmar untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Dalam kondisi seperti itu, etnis Rohingya menjadi obyek perdagangan manusia. ”Banyak (warga) etnis Rohingya mau keluar, itu dimanfaatkan oleh agen mengirimkan mereka ke laut dengan tujuan negara-negara tetangga,” kata Adli.
Ia mengatakan, gelombang pengungsi Rohingya tidak akan berakhir jika konflik tidak diselesaikan. ”Seharusnya Indonesia sebagai negara besar di kawasan Asia Tenggara berperan mendorong penyelesaian konflik di Myanmar,” ujarnya. Dalam catatan Kompas, sudah belasan kali kapal pengungsi dari Myanmar masuk ke Aceh dengan total penumpang 1.802 orang sejak 2011.