Perempuan Kepala Keluarga Melepas Jerat Kemiskinan
Perempuan kepala keluarga di NTT berjuang mengubah nasib keluarga dari belenggu kemiskinan. Banyak dari mereka yang berhasil mengantar anaknya meraih cita-cita.
Mobil bak terbuka melaju di jalanan, menembusi pekatnya malam. Beberapa perempuan paruh baya duduk di dalamnya, berselimut kain tenun ikat menghalau hawa dingin. Mereka berhimpitan di antara tumpukan sayur, buah, ubi, pisang, dan jagung.
Mobil dari perkampungan di pedalaman Nakemese, Kabupaten Kupang itu memasuki Kota Kupang saat hari masih gelap. Mobil terus melaju hingga tiba di Pasar Kasih, pasar tradisional terbesar di Nusa Tenggara Timur itu pada Senin (19/12/2022).
Mereka menurunkan barang dagangan, menggelar karung bekas di atas tanah, lalu menyusun dagangan. Sambil menunggu datangnya pembeli, mereka menyantap bekal berupa jagung ketemak, biji jagung kering bercampur buah pepaya muda dan daun kelor yang direbus.
"Setiap hari kecuali Minggu, kami datang jualan di pasar. Tiba masih gelap, pulang tengah hari. Jualan kami habis karena orang kota sekarang suka beli makanan dari kampung yang tidak pakai pupuk buatan, " kata Anas Kase (45), pedagang.
Dagangan itu sebagian dipetik dari kebun sendiri, dan selebihnya diambil dari warga di kampung mereka. Setiap kali ke pasar, ia bisa membawa pulang uang hingga 300.000. Setelah dikurangi ongkos angkut dan biaya lain seperti retribusi di pasar, ia bisa untung antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000.
Uang itu untuk kebutuhan ia dan satu anak yang kini masih kuliah. Dua anaknya sudah menikah dan merantau jadi buruh perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Suaminya sudah menikah lagi sekitar 10 tahun lalu. Anas menjadi perempuan kepala keluarga.
Di pesisir Kota Kupang, ada Mariam Badaruddin (59) yang menjadi nelayan tangkap hingga saat ini. Mariam menjadi nelayan sejak usia sembilan tahun. Artinya, sudah setengah abad ia menangkap ikan di laut.
Hingga kini, setiap malam ia mendayung perahu ke tengah laut untuk menebar pukat dan jaring. Dulu sempat ia menggunakan perahu motor. Namun, perahu motor itu rusak diterjang badai Seroja yang meluluhlantakkan hampir seluruh wilayah NTT pada April 2021 lalu.
Ikan hasil tangkapan diberikan kepada tetangga di dekat rumahnya untuk dijual ke pasar. Tujuannya memberdayakan mereka yang sesama perempuan yang punya tanggungan keluarga dan bekerja serabutan.
Mariam tidak mematok harga tinggi agar mereka mendapat untung lebih banyak. Perempuan kepala keluarga dengan delapan anak itu memenuhi kebutuhan keluarga dari hasil laut. Ia bersyukur dapat menyekolahkan anaknya hingga tamat sekolah menengah atas.
"Saya SD saja tidak tamat. Saya ingin anak-anak saya lebih baik pendidikannya biar hidupnya mereka lebih baik, " ucap Mariam.
Baca juga: Perempuan Nelayan Setengah Abad
Menurutnya, jadi perempuan kepala keluarga memang tidak mudah. Selain urusan rumah tangga, keberadaan mereka kadang tidak diakui. Dalam hal pemberian bantuan bagi nelayan, sering ada syarat yang menyebutkan laki-laki sebagai kepala keluarga.
Anas dan Mariam menggambarkan wajah perempuan kepala keluarga dari kalangan ekonomi lemah. Mereka bagian dari 1.132.620 jiwa atau sekitar 20,05 persen jumlah penduduk NTT yang tergolong miskin sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2022.
Menurut BPS, kebanyakan penduduk miskin di NTT tinggal di perdesaan, yakni 23,86 persen sedangkan di kota 8,84 persen. Kategori penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan, yakni Rp 460.823.
Kekuatan perempuan
Pemerhati masalah perempuan di NTT Ernest Uba Wohon mengatakan, perempuan kepala keluarga punya kekuatan lebih. Dalam banyak rumah tangga yang ia temui, keluarga yang ditinggal ibu lebih rapuh dibandingkan keluarga tanpa ayah. Itu lantaran rasa kasih sayang ibu lebih kuat.
Potret perempuan kepala keluarga itu banyak dijumpai di NTT. Mereka kehilangan suami yang menikah lagi, merantau kemudian hilang kabar, atau meninggal karena sakit, kecelakaan, dan terbunuh. Banyak yang tidak menikah lagi dan memilih merawat anak hingga mereka tua.
Untuk memperjuangkan nasib keluarga, mereka merantau bahkan secara nonprosedural menjadi pekerja migran di Malaysia. Banyak yang sukses menyekolahkan anak hingga ke bangku perguruan tinggi.
"Di Pulau Adonara, banyak orang sukses berkat kerja keras ibu mereka, " ujarnya.
Perjuangan perempuan kepala keluarga di Adonara itu pernah didokumentasikan dalam film berjudul Ola Sita Ina Wae yang tayang pada 2016 lalu. Film itu diproduksi oleh Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, lembaga yang berdiri tahun 2002. Film dengan pemeran warga lokal itu menginspirasi.
Kendati demikian, banyak perempuan kepala keluarga di tanah rantau yang tidak beruntung. Mereka mendapat perlakuan tidak baik dari majikan. Ada yang pulang ke kampungnya dalam keadaan sakit bahkan tidak bernyawa.
Ernest mendorong agar pemerintah memberi perhatian lebih kepada perempuan kepala keluarga. Bagi yang punya keterampilan agar didukung dengan modal usaha. Anak-anak mereka yang berprestasi perlu didorong lewat beasiswa agar dapat meraih cita-cita.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengaku bangga dengan perjuangan perempuan kepala keluarga di NTT. Ia melihat, banyak orang NTT punya semangat yang tinggi dalam memperjuangkan nasib mereka.
Pemerintah, katanya, mengakomodir banyak perempuan kepala keluarga. Mereka yang punya hasil karya, oleh pemerintah dibeli untuk dijual di Galeri Dewan Kerajinan Nasional Daerah NTT di Kota Kupang. Karya itu seperti tenun ikat dan berbagai jenis kuliner.
Selain itu, banyak perempuan terlibat dalam pembuatan tepung kelor yang rantai produksinya berkolaborasi dengan pemerintah. Perempuan kepala keluarga diprioritaskan bekerja mengumpulkan kelor, merontokkan daun, membuat tempung hingga kelor celup.
Kelor celup menjadi salah satu makanan tambahan bagi balita di NTT yang mengalami tengkes. NTT masuk kategori daerah di Indonesia dengan prevalensi tengkes tinggi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mencatat, 37,8 persen balita di NTT mengalami tengkes.
Pada 20 Desember 2022 ini, NTT memasuki usia ke 64 sebagai provinsi, yang dalam pembangunannya tidak lepas dari peran para perempuan kepala keluarga. Perjuangan mereka perlu diberi perhatian.
Baca juga: Perempuan Pelaut di Kapal Perintis