Napak Tilas G20 di Bali, Menilik Jejak Kebanggaan Indonesia
Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali telah berakhir sebulan lalu. Namun, magnet forum multilateral dengan keketuaan Indonesia itu masih terasa.
Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali telah berakhir sebulan lalu. Namun, magnet forum multilateral dengan keketuaan Indonesia itu masih terasa. Menapak tilas sejumlah lokasi rangkaian perhelatan yang dihadiri pemimpin negara maju itu seperti memupuk kebanggaan.
Barisan pohon mangrove menyambut peserta Diseminasi Capaian Presidensi G20 Indonesia di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali, Kamis (8/12/2022). Tanpa aba-aba, mereka langsung merekam momen itu dengan gawai. Terik matahari yang mengundang keringat tak jadi masalah.
Sekitar 100 peserta dari akademisi, perwakilan pemerintah daerah, hingga jurnalis turut serta dalam kegiatan Bank Indonesia itu. Berasal dari sejumlah daerah di Tanah Air, peserta yang berusia 20-an tahun hingga setengah abad semangat berjalan kaki sekitar 1,8 kilometer mengelilingi tahura.
Baca juga : Menyemai Mangrove, Menjaga Dunia
Kawasan seluas 1.300 hektar itu tidak hanya menyimpan mangrove berusia 30 tahun dengan tinggi sekitar 20 meter, tetapi juga menjadi tempat bersejarah. Pada Rabu (16/11/2022), Tahura Ngurah Rai menjadi salah satu lokasi rangkaian KTT G20. Di sana, para pemimpin G20 menanam bakau.
Tidak heran, para peserta antusias ke tahura yang belum terbuka untuk umum saat itu. Apalagi, ketika menyaksikan deretan pohon mangrove yang berbentuk ”G20” dan bibit bakau yang ditanam Presiden Joko Widodo, Presiden Amerika Serikat Joe Biden, dan pemimpin lainnya.
Peserta bahkan berfoto di hadapan rangkaian pohon mangrove ”G20” layaknya para pemimpin G20 kala itu. Bedanya, mereka bukan presiden. ”Anggap saja Bapak dan Ibu ini para delegasi G20,” ucap pemandu perjalanan.
”Saya delegasi Arab Saudi,” ucap seorang peserta. ”Saya Perancis, saya Rusia,” timpal yang lain. Tak satu pun protes. Tiada pula yang mendaku sebagai bupati, gubernur, apalagi anggota dewan meski pemilihan umum sekitar dua tahun lagi. Semua peserta tersenyum akrab.
Suasana itu pula yang tergambar saat para kepala negara dan pemerintahan dari negara anggota G20 berjalan kaki di jembatan kayu sambil menikmati hijau mangrove. Mereka berjabat tangan dan mengobrol. Apalagi ketika mereka, yang berkaus kerah putih, menggali tanah dengan cangkul.
Padahal, menurut Ade Supriatna dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memandu napak tilas G20 di tahura, acara puncak penanaman mangrove yang awalnya direncanakan pada pukul 09.00 sempat tertunda sekitar dua jam. ”Karena sebelumnya ada rudal di Polandia,” ucapnya.
Pada hari pertama pembukaan KTT G20, Selasa (15/11/2022), menjelang tengah malam, tersiar berita ledakan di perbatasan Polandia-Ukraina. Kondisi ini membuat sejumlah pemimpin G20 sontak menggelar pertemuan khusus membahas itu. Apalagi, Rusia dan Ukraina sedang berkonflik.
Meski demikian, rimbun mangrove di tahura tidak hanya menyerap karbon dioksida, tetapi juga seakan mengisap ketegangan beberapa pemimpin negara di G20. Perjalanan itu pun menunjukkan keseriusan Indonesia, pemilik 3,3 juta hektar hutan mangrove, soal masalah iklim.
Terlebih lagi, dalam KTT G20, Indonesia mendapat komitmen pendanaan dari negara maju untuk mempercepat transisi energi melalui skema Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP). Dana senilai 20 miliar dollar AS atau Rp 310 triliun itu menyasar pengurangan emisi.
Membumikan G20
Sebagai penghasil energi fosil di dunia, Indonesia akan memensiunkan dini sejumlah pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara. Selain dorongan lembaga besar internasional, transisi menuju energi ramah lingkungan juga perlu bagi Indonesia yang rawan bencana.
”Transisi ini harus adil, memperhatikan dampaknya ke masyarakat yang mungkin bergantung pada PLTU,” ucap Dian Lestari, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Energi fosil, katanya, tak lagi menarik di masa depan.
”Kami tidak hanya mengecat langit di G20, tetapi juga membumikannya sesuai kepentingan nasional,” lanjut Dian dalam diskusi ”Menengok Capaian dan Dampak Presidensi G20 Indonesia”, Rabu (8/12/2022). di Bali. Berbagai kesepakatan di G20, lanjutnya, bersifat konkret.
Salah satunya, Pandemic Fund atau Dana Pandemi yang saat ini terkumpul 1,5 miliar dollar AS dari 24 donor. Indonesia menjadi salah satu donor sekaligus dapat menjadi penerima manfaat. Bank Dunia dan tenaga ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia bakal mengelola dana itu untuk pandemi.
Kami tidak hanya mengecat langit di G20, tetapi juga membumikannya sesuai kepentingan nasional.
Di sektor keuangan, pertemuan G20 sepakat akan merumuskan pembayaran lintas negara (cross border payment) serta mata uang digital bank sentral (central bank digital currency/CBDC). Jika terwujud, hal ini akan memudahkan pekerja migran hingga mahasiswa Indonesia di luar negeri.
Direktur Sekretariat Task Force G20 Bank Indonesia (BI) Iss Savitri Hafid mengatakan, CBD dan CBDC baru kali ini dibahas dalam G20. BI pun sudah memulainya lewat Digital Rupiah pada Proyek Garuda. ”Kami tetap membawa kesepakatan ini di presidensi G20 India 2023,” ucapnya.
Muhammad Hadianto dari Sekretariat Sherpa G20 Indonesia mengatakan, rangkaian G20 setahun terakhir telah menghasilkan 226 proyek multilateral dengan melibatkan lebih dari dua negara. Hasil lainnya adalah 140 proyek kerja sama bilateral.
”Kalau dikalkulasi, (proyek) ini senilai 309,4 miliar dollar AS. Ini menghasilkan manfaat nyata,” katanya. Sejumlah komitmen investasi itu, antara lain, berupa pendanaan infrastruktur dengan skema Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) sebesar 600 miliar dollar AS.
Presiden Jokowi, lanjutnya, telah mengarahkan pembentukan satuan gugus tugas untuk menindaklanjuti berbagai inisiatif proyek itu. ”Kami akan berupaya sebisa mungkin. G20 ini tidak bisa menyembuhkan semua yang sakit, tapi ini alat efektif menagih negara maju,” katanya.
Hadianto yakin, kesepakatan G20 tidak berakhir di atas kertas meski konflik Rusia-Ukraina, pandemi Covid-19, hingga resesi dunia mengancam. Sebab, forum yang mewakili 80 persen investasi global ini juga menyetujui Deklarasi Bali. Isinya, dari geopolitik hingga soal pangan.
”Di ruangan ini disepakati Deklarasi Bali. Saya tidak pernah merasa sebangga ini jadi bagian G20,” ujarnya di salah satu ruang pertemuan di InterContinental Bali Resort. Saat itu, lanjutnya, suasana rapat cukup tegang karena polarisasi akibat konflik Rusia-Ukraina.
”Namun, kami berusaha membuat forum seperti kumpul keluarga, tidak sekeras batuan di lautan meski pertemuannya ada yang sampai pukul 12 malam,” ungkapnya. Kepercayaan negara-negara G20 terhadap Indonesia, katanya, jadi kunci lahirnya Deklarasi Bali.
Hilang muka
Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, menilai, kesepakatan Deklarasi Bali hadir, antara lain, karena poin ketiga soal geopolitik. Menariknya, poin itu mengecam keras Rusia berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, bukan dari forum G20.
G20 tidak menghakimi salah satu negara. Deklarasi itu juga mengakui G20 bukanlah forum yang membahas isu keamanan. Namun, masalah keamanan dapat berdampak signifikan pada ekonomi global. ”Dengan begitu, tidak ada negara, termasuk Rusia, yang kehilangan muka,” ucapnya.
Hikmahanto juga mengagumi strategi Presiden Jokowi yang out of the box (kreatif). Sebut saja kedatangan Presiden ke Jerman, Rusia, dan Ukraina sebelum G20. Presiden bahkan menelepon langsung kepala negara dan kepala pemerintahan untuk hadir dalam forum tersebut.
”(Pengalaman) Sebelumnya, presiden tidak menelepon satu-satu, tetapi mengirimkan utusan. Tindakan (Jokowi) ini tidak sesuai protokol biasanya. Tapi, ini bagus,” ungkapnya. Kehadiran hampir semua pemimpin negara G20, lanjutnya, jadi indikator keberhasilan forum itu.
”Cara Presiden mendorong perang selesai juga bagus. Beliau bilang, kalau perang tidak selesai, kita akan menghadapi krisis tidak hanya kesehatan, tetapi juga energi, pangan, dan lainnya,” ujarnya. Ini strategi win-win solution, bukan zero sum game yang mengalahkan salah satunya.
Jamuan makan malam bersama para pemimpin negara di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK) juga mendekatkan anggota G20. Santapan yang disajikan juga berasal dari Bali, Jawa, Sulawesi, Lampung, Sumatera Barat, hingga Aceh. Maknanya, perbedaan dalam persatuan.
Seperti saat para peserta napak tilas G20 mengeliling kawasan seluas 60 hektar itu. Peserta yang berhijab sampai bersalib ceria berfoto dengan latar patung raksasa GWK. Patung yang dikerjakan selama 28 tahun dan tuntas pada 2018 itu memiliki tinggi 121 meter dan bentang sayap 65 meter.
Bagi Mario (48), pemandu wisata, G20 di GWK tidak hanya menjadi sejarah, tetapi juga mencipta harapan. ”Beberapa bulan sebelumnya, saya nganter perwakilan kementerian dan delegasi luar negeri ke sini untuk melihat kesiapannya. Rasanya bangga dan salut,” ujarnya.
Ajang internasional itu turut mengungkit pariwisata setelah sempat tiarap dua tahun akibat pandemi Covid-19. ”Waktu pandemi dan sekarang itu ibrat langit dan bumi, berbeda sekali. Hotel dan restoran banyak yang tutup. Saya setahun enggak ngantar (wisatawan),” katanya.
Kini, bapak satu anak ini tak lagi menganggur di rumah. Ia mulai sibuk memandu pengunjung berwisata ke Bali, termasuk ke Tahura Ngurah Rai dan GWK. Mario berharap lokasi yang menjadi tempat pertemuan G20 bisa meningkatkan kunjungan wisatawan.
Ketua Bali Tourism Board Ida Bagus Agung Partha Adnyana mengatakan, tingkat hunian kamar pada November saat penyelenggaraan G20 mencapai hampir 49 persen, padahal tahun sebelumnya hanya 23 persen. Angka ini masih di bawah 2019, yakni 59,3 persen.
Pada November lalu, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara juga mencapai 311.760 orang atau meningkat dibandingkan April yang sekitar 58.000 orang. G20 pun turut mempercantik kawasan Nusa Dua, Kuta, Sanur, dan Ubud yang menjadi lokasi KTT G20.
”Keberhasilan event ini telah membuat reputasi Bali naik. Orang lebih yakin datang ke Bali karena semua mata tertuju ke sini. Recovery (pemulihan ekonomi) lebih gampang,” ujarnya. Pemerintah pun menggelontorkan Rp 674 miliar untuk G20. Sekitar 33.000 tenaga kerja terserap.
Meski demikian, harga tiket pesawat juga menjadi pertimbangan wisatawan untuk ke Bali. Belum semua hotel, terutama yang kecil, menikmati efek ”air menetes” dari G20. ”Hotel-hotel besar ini bukan punya kita semua, tapi orang luar,” ungkapnya.
Fithra Faisal Hastiadi, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, menilai, secara makroekonomi, ajang G20 telah meningkatkan produk domestik bruto sebesar Rp 7,43 triliun hingga Rp 10 triliun. Ini lebih besar 1,5 kali dari forum Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada 2018 di Indonesia.
”Namun, belum semua pihak merasakan G20 ini, seperti hotel kecil. Harusnya pertumbuhan ekonominya inklusif, equal. Bukan semuanya harus sama, tetapi menempatkan yang di bawah ini ke posisi atas. Bukan membuatnya terpuruk, sementara yang elite jemawa,” tuturnya.
Banyak pihak, lanjutnya, perlu menyelamatkan pelaku usaha kecil menengah dalam ajang internasional, seperti G20. Momentum Indonesia menjabat keketuaan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun 2023 menjadi ajang untuk membuktikannya.
Baca juga : Napak Tilas Tempat Pelaksanaan G20 di Tahura dan Garuda Wisnu Kencana