KLHK Sita 57 Kontainer Kayu Merbau Ilegal Asal Papua
KLHK menyita 57 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mempersiapkan pidana berlapis, termasuk pidana pencucian uang, agar ada efek jera bagi pelaku pembalakan liar. Hukuman bagi pelaku kejahatan ini bahkan bisa lebih berat berupa hukuman penjara seumur hidup dan denda triliunan rupiah apabila melibatkan korporasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menggelar Operasi Peredaran Kayu Ilegal di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Kamis (15/12/2022), berhasil mengamankan 57 kontainer bermuatan kayu olahan. Total nilai seluruh kayu olahan sebanyak 870 meter kubik itu diperkirakan sekitar Rp 20 miliar.
Menurut Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK Sustyo Iriyono, seluruh kayu olahan itu diduga berasal dari hasil pembalakan liar di hutan Papua. Barang bukti berupa kayu olahan jenis merbau dengan berbagai ukuran sebanyak 870 meter kubik (m3).
Kayu olahan itu disita beserta dokumen nota perusahaan dari CV AM, CV GF, PT GMP, CV WS, dan PT EDP serta surat keterangan sahnya hasil hutan kayu olahan (SKSHHKO) dari PT EDP telah diamankan dan saat ini dijaga oleh personel Gakkum KLHK di Depo SPIL Surabaya.
Sustyo mengatakan, operasi peredaran kayu ilegal ini merupakan tindak lanjut laporan masyarakat. Mereka melaporkan adanya pengangkutan kayu olahan jenis merbau yang hanya dilengkapi nota perusahaan lanjutan. Kayu itu diangkut dari Pelabuhan Nabire, Papua Tengah, menuju Pelabuhan Tanjung Perak.
Atas laporan tersebut, Gakkum KLHK bergerak menyelidiki Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) terhadap dokumen kayu olahan dari Kabupaten Nabire. Mereka menemukan adanya indikasi kayu tersebut tidak melalui pengolahan industri primer maupun industri lanjutan. Kayu tersebut diduga berasal dari hasil pembalakan liar.
Nota lanjutan
Menindaklanjuti hasil analisis intelijen, tim Gakkum KLHK pada 19 November 2022 menyita 30 kontainer bermuatan kayu olahan jenis merbau sebanyak 454 m3. Kayu itu diangkut dengan menggunakan kapal MV Verizon.
Kemudian pada 3 Desember 2022 tim kembali menyita 27 kontainer bermuatan kayu olahan jenis merbau sebanyak 416 m3. Kayu itu diangkut kapal KM Hijau Jelita dengan tujuan Pelabuhan Tanjung Perak.
Setelah mengecek 57 kontainer tersebut, kata Sustyo, diperoleh fakta isi kontainer berupa kayu olahan gergajian chainsaw (pacakan) dari berbagai ukuran. Sementara dokumen yang menyertai pengangkutan kayu berupa nota lanjutan yang seharusnya digunakan untuk mengangkut kayu lanjutan atau moulding.
Bahkan, apabila dilakukan oleh korporasi, dapat diancam pidana penjara paling lama seumur hidup dan denda Rp 1 triliun. (Sustyo Iriyono)
Kasus peredaran kayu ilegal dari Papua tersebut diduga telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Ketentuan itu meliputi Pasal 83 Ayat (1) Huruf b jo Pasal 12 Huruf e dan/atau Pasal 87 Ayat (1) Huruf a jo Pasal 12 Huruf k dan/atau Pasal 94 Ayat (1) Huruf d jo Pasal 19 Huruf f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah pada paragraf 4 Pasal 37 Angka 13 Pasal 83 Ayat (1) Huruf b UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun penjara dan denda Rp 100 miliar.
”Bahkan, apabila dilakukan oleh korporasi, dapat diancam pidana penjara paling lama seumur hidup dan denda Rp 1 triliun,” kata Sustyo.
Pada kesempatan itu diungkap kegiatan operasi kali ini berhasil mengidentifikasi perubahan modus dan pola perilaku para pelaku pembalakan liar di wilayah Papua. Mereka menggunakan pola-pola baru, yakni menggunakan nota perusahaan lanjutan untuk pengangkutan kayu olahan gergajian chainsaw yang diedarkan dengan tujuan Surabaya dan sekitarnya.
”Kami punya keyakinan para pelaku ilegal ini belum jera dan akan selalu mencoba berbagai cara melakukan kejahatan dan mencari keuntungan dengan menghancurkan sumber daya alam hutan Indonesia, khususnya Papua,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut KLHK juga berterima kasih atas kolaborasi dan dukungan dari pemangku kebijakan, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi, Lantamal V Surabaya, Polda Jatim, Dinas Kehutanan Jatim, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), dan Pelindo, serta masyarakat dalam upaya memberantas aktivitas ilegal tersebut.
Menurut Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, keberhasilan Gakkum KLHK dalam melakukan rangkaian upaya penindakan saat ini adalah bukti komitmen dan keseriusan KLHK dalam menyelamatkan sumber daya alam Indonesia.
Dikatakan, instansinya sudah membentuk tim khusus untuk penyidikan kasus ini dan memerintahkan penyidik untuk menerapkan pidana berlapis agar para pelaku, khususnya penerima manfaat dari kejahatan ini, dihukum seberat-beratnya.
”Mereka adalah pelaku kejahatan luar biasa karena mencari keuntungan dan kekayaan dengan merusak lingkungan hidup, merugikan masyarakat dan negara. Harus ada efek jera agar menjadi contoh bagi pelaku lainnya,” katanya menegaskan.
Untuk itu Rasio meminta dukungan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengetahui aliran keuangan dari kejahatan ini. ”Kami meyakini dengan follow the money (mengikuti aliran uang) akan diketahui pelaku lainnya. Saya sudah meminta penyidik untuk mendalami kejahatan korporasi dan penindakan tindak pidana pencucian uang,” ucapnya
Bahkan diingatkan bahwa apabila kejahatan ini melibatkan korporasi, ancaman hukumannya sangat berat, yakni pidana penjara seumur hidup dan denda Rp 1 triliun.
Dalam beberapa tahun ini, Rasio menjelaskan, pihaknya telah membawa 1.346 perkara pidana dan perdata ke pengadilan, baik terkait pelaku kejahatan korporasi maupun perorangan. Selain itu, pihaknya juga telah menerbitkan 2.576 sanksi administratif serta melakukan 1.888 operasi pencegahan dan pengamanan lingkungan hidup dan hutan.