Pemerintah Klaim Aturan Ekspor Industri Hutan Tak Buka Celah Penjualan Kayu-kayu Ilegal
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 dinilai membuka celah rembesan kayu-kayu ilegal sehingga bakal menggugurkan upaya Indonesia dalam perbaikan tata kelola hutan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan, penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 dijamin tidak akan menghilangkan komitmen Indonesia dalam menjamin produk kayu yang diekspor memiliki legalitas dan terlacak bahan bakunya. Sosialisasi regulasi yang mulai berlaku pada 27 Mei 2020 atau tiga bulan sejak diundangkan tersebut akan diintensifkan kepada pelaku usaha ataupun pemangku kepentingan lain.
Seperti diberitakan, Peraturan Menteri Perdagangan No 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan menuai protes dari sejumlah kalangan, khususnya pegiat kehutanan dan sejumlah pihak yang terlibat dalam pembangunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Alasannya, permendag ini tak lagi mewajibkan eksportir menyertakan Dokumen V-Legal, kecuali diminta oleh pembeli/negara tujuan.
Permendag ini dinilai membuka celah rembesan kayu-kayu ilegal sehingga bakal menggugurkan upaya Indonesia dalam perbaikan tata kelola hutan yang telah dibangun melalui SVLK pada tahun 2003. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas enam organisasi menyurati Presiden pada 20 Maret 2020 untuk meminta pencabutan permendag tersebut.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Sabtu (21/3/2020) di Jakarta, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Investasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ichsan Zulkarnaen menyatakan, ”Pemerintah tetap mendukung legalitas kayu. Jadi SVLK yang menjelaskan bahwa produk kayu itu adalah tidak dihasilkan dari tempat yang dilarang tentu akan tetap dipertahankan.”
Ia pun berupaya menjelaskan bahwa pengaturan dalam permendag tersebut untuk menempatkan tugas sesuai kewenangan kementerian terkait. Menurut dia, Kementerian Perdagangan memiliki tujuan meningkatkan ekspor produk Indonesia ke luar negeri. Atau dengan kata lain, katanya, malah memberikan persyaratan dokumen V-Legal yang disebutnya bukan tugas dari Kementerian Perdagangan.
Permendag ini dinilai membuka celah rembesan kayu-kayu ilegal sehingga bakal menggugurkan upaya Indonesia dalam perbaikan tata kelola hutan yang telah dibangun melalui SVLK pada tahun 2003.
Dokumen V-legal yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, kata Ichsan, tetap disediakan pemerintah apabila pembeli atau negara tujuan ekspor meminta/membutuhkannya. ”Kalau negara lain meminta (Dokumen V-Legal), tentu akan pemerintah siapkan. Kalaupun negara tersebut tidak memintanya, negara harus tetap menjamin kayu tersebut ’halal’,” kata Ichsan.
Dengan kata lain, di dalam negeri, pemerintah akan tetap mempertahankan SVLK. Bahkan, katanya, kelemahan ataupun kebocoran dalam sistem yang dibangun banyak pemangku kepentingan tersebut akan diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya.
”Kami sudah beberapa kali bertemu dengan kawan-kawan KLHK, kalau ada kebocoran (SVLK), silakan disampaikan kepada kami untuk kami juga bantu,” katanya.
Ichsan pun mengatakan kekhawatiran yang dirasakan Koalisi Masyarakat Sipil bahwa dampak permendag akan membawa Indonesia pada sejarah masa lalu maraknya pembalakan liar, pengaturannya bukan pada ekspor. Menurut dia, kekhawatiran tersebut dijawab dengan penguatan sistem dan pengawasan yang menjadi tugas KLHK. ”Kita mau mendorong ekspor tanpa menghilangkan legalitas kayu,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Sulistyawati mengatakan, permendag tidak akan menghilangkan legalitas kayu, apalagi menghapus SVLK. Ia mengatakan, permendag ini untuk penyederhanaan izin dan peningkatan daya saing untuk meningkatkan ekspor.
”Perdagangan kayu tetap harus legal, tetapi V-Legal tidak lagi menjadi persyaratan ekspor atau tidak menjadi dokumen wajib kepabeanan/lartas (larangan dan pembatasan) untuk 360 kode HS,” katanya.
Menanggapi hal ini, Muhammad Ichwan, Juru Kampanye Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), memiliki pendapat berbeda. Ia mengatakan, ekspor produk kehutanan yang tak lagi wajib menggunakan Dokumen V-Legal akan membuat produk-produk kayu tanpa jaminan legalitas dapat diekspor dengan bebas. ”Artinya, peluang maraknya pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal kembali besar. Ini merupakan ancaman yang dapat mencoreng citra produk kayu Indonesia di mata dunia, serta meruntuhkan kredibilitas Indonesia sebagai negara pelopor dalam perbaikan tata kelola hutan,” ujarnya.