Industri Media Butuh Adaptasi Digital dan Model Bisnis yang Tepat
Dengan manajemen dan model bisnis yang tepat, media massa tetap bisa memberikan informasi kepada masyarakat di tengah badai konten dari dunia maya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Industri media massa tidak akan mati hanya karena disrupsi digital. Dengan manajemen dan model bisnis yang tepat, media massa tetap bisa memberikan informasi kepada masyarakat di tengah badai konten dari dunia maya.
Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto menyatakan, mau tidak mau, media harus mengikuti perkembangan zaman. Salah satu alasannya adalah sebagian konsumen yang merupakan generasi milenial dan di bawahnya lebih akrab dengan akses digital dibandingkan produk fisik.
Perubahan kebiasaan dan gaya hidup ini berdampak pada lesunya media massa lainnya, terutama media cetak. Berbagai contoh, baik dari dalam maupun luar negeri, menunjukkan banyak media cetak yang tutup dalam beberapa tahun terakhir.
”Koran Tempo, Bola, koran Sinar Harapan, koran Jakarta Globe memutuskan untuk berhenti terbit. Di Amerika Serikat, The Seattle Post-Intelligencer pun terakhir terbit 2009 setelah hadir pertama kali tahun 1863,” papar Tri Agung dalam lokakarya bertajuk ”Maksimalisasi Produk Digital untuk Keberlanjutan Bisnis Media” yang diadakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) di Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12/2022).
Kondisi ini, lanjut Tri Agung, menjadi hal yang disayangkan karena seharusnya perusahaan pers, terutama media cetak, tetap mempertahankan media tersebut selagi melakukan digitalisasi. Apalagi, publikasi cetak memiliki ciri khas dan kekuatan yang berbeda dibandingkan media digital.
Menurut Tri Agung, kekuatan media massa ada pada fisik yang bisa disentuh dan disimpan. Hal ini berbeda dengan media digital dan elektronik yang bisa saja hilang atau dihapus oleh situs yang dikelola media tersebut.
”Kekuatan dan kelebihan media cetak, mereka menguasai ruang. Orang-orang bisa membaca kembali bahkan menandai koran atau buku. Beda dengan media elektronik yang menguasai waktu, laporan berita bisa langsung, tetapi tidak bisa didengar kembali, kita kehilangan momen,” ujarnya.
Menurut Tri Agung, kecepatan pemberitaan yang ada juga mengorbankan kebenaran sehingga mengurangi kepercayaan publik. Karena itu, bisnis dari media cetak yang mengandalkan kepercayaan dan kredibilitas itu sebaiknya tetap dipertahankan.
Bisnis dari media cetak yang mengandalkan kepercayaan dan kredibilitas itu sebaiknya tetap dipertahankan.
Di sisi lain, jika media turun sepenuhnya ke bisnis digital, perusahaan akan menghadapi banyak pesaing. Data Dewan Pers tahun 2018 menunjukkan, portal berita yang eksis di Indonesia mencapai 43.000 situs. Menurut Tri Agung, jumlah ini bisa saja bertambah ataupun berkurang sesuai dengan kemampuan dari setiap portal berita. Apalagi, pandemi Covid-19 memberikan dampak signifikan di dunia media. Perusahaan menghitung kembali biaya iklannya sehingga tidak semua media massa mendapatkan iklan dari para kliennya.
Menurut Tri Agung, kondisi ini bisa semakin buruk jika tidak ada manajemen maupun model bisnis yang tepat. Berbagai cara, seperti membuat konten kolaborasi, bisnis pengaruh, hingga bisnis komunitas bisa dilakukan untuk mempertahankan pembaca media massa tersebut.
”Digital tidak membunuh media. Yang membunuh itu pandemi yang membuat ekosistemnya mati. Perusahaan banyak yang tidak beroperasi sehingga tidak ada yang memasang iklan,” ujarnya.
Sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Tri Agung menjelaskan upaya adaptasi juga dilakukan dengan meluncurkan Kompas.id. Sejak tahun 2017, Kompas.id menjadi perpanjangan harian Kompas dengan media digital berbayar dan premium.
”Saat ini pengguna terdaftar Kompas.id mencapai 1,2 juta orang dan audiens e-paper (koran digital) mencapai 2,4 juta. Jumlah ini lebih banyak dari keterbacaan Kompas di tahun 2013/2014 sebanyak 1,9 juta,” paparanya.
Ketua Harian SPS Pusat Januar P Ruswita menyatakan, transformasi digital adalah sebuah keniscayaan. Perubahan gaya hidup dan perilaku dari generasi yang berbeda perlu menjadi adaptasi dan industri media tidak hanya konvensional. ”Tidak bisa dimungkiri, 70 persen generasi muda membaca informasi dari media sosial. Sekarang saatnya perusahaan media mencari model-model yang cocok dan media cetak serta lainnya tidak akan hilang,” ujarnya.