Pemindaian Tiga Dimensi untuk Ungkap Penyebab Bus Wisata Masuk Jurang di Magetan
Penyidik menggunakan pemindaian tiga dimensi untuk mendapatkan visualisasi tentang kronologi kejadian dan memeriksa sejumlah saksi, termasuk para penumpang yang menjadi korban.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penyelidikan untuk mengungkap penyebab kecelakaan bus pariwisata yang masuk ke dalam jurang di kawasan Sarangan, Magetan, Jawa Timur, masih terus berjalan. Penyidik menggunakan pemindaian tiga dimensi untuk mendapatkan visualisasi kronologi kejadian selain memeriksa sejumlah saksi, termasuk para penumpang yang menjadi korban.
Kepala Sub-Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jawa Timur Jatim Ajun Komisaris Besar Gathut Bowo Supriyono mengaku telah menerjunkan tim traffic accident analysis ke lokasi kecelakaan di jalan raya Sarangan, Senin (5/12/2022). Tim melakukan pemindaian tiga dimensi terkait dengan kondisi jalan yang dilalui kendaraan, kondisi bus pariwisata, dan dasar jurang.
Hasil pemindaian itu akan diolah dan dianalisis. Selain itu, dilakukan pencocokan data dengan keterangan para saksi di lokasi kejadian, termasuk para penumpang bus pariwisata yang selamat dalam kecelakaan tersebut. ”Hasil penyidikan diprediksi baru keluar empat hari. Semua data akan diolah untuk mendapatkan gambaran visual bagaimana bus ini berjalan dari atas ke bawah sampai terjun ke jurang,” ujar Gathut.
Bus rombongan warga Kelurahan Manyaran, Semarang, Jawa Tengah, masuk jurang sedalam 31 meter, Minggu (4/12/2022). Akibat kecelakaan tunggal tersebut, tujuh penumpang termasuk pengemudi dan kondektur bus meninggal dunia, 31 orang luka berat, dan 14 lainnya luka ringan.
Gathut Bowo menambahkan saat ini Satuan Lalu Lintas Polres Magetan tengah memeriksa saksi-saksi, terutama para penumpang bus. Hal itu tidak mudah dan butuh waktu cukup lama karena kondisi para saksi tersebut mengalami trauma secara psikologis serta luka-luka yang memerlukan penanganan medis.
Dengan meninggalnya pengemudi dan kondektur atau kenek bus, penyidik berupaya menggali informasi dari saksi penumpang untuk menguak penyebab kecelakaan. Informasi yang dihimpun antara lain kondisi bus saat berangkat, kondisi bus saat dalam perjalanan, dan saat sampai di lokasi kecelakaan.
”Saksi akan mengatakan bagaimana pengemudi pada saat akan terjadi kecelakaan. Apakah pengemudi berupaya melakukan pengereman atau apakah ada dari saksi yang mengatakan rem blong. Semua masih didalami terus oleh penyidik dan belum bisa disimpulkan,” kata Gathut.
Sementara itu, terkait kelayakan kendaraan, tim penyidik Polda Jatim menyelidikinya bekerja sama dengan dinas perhubungan setempat. Mereka memeriksa sistem pengereman, kondisi di dalam kendaraan, kondisi mesin, serta roda bus.
Berdasarkan data sementara, bus pariwisata bernomor polisi H 1470 AG diproduksi tahun 2018. Surat tanda nomor kendaraan (STNK) masih aktif. Pengemudi juga memiliki SIM. Selain itu, surat uji kendaraan bermotor atau kir masih berlaku sampai dengan 16 Desember 2022.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno mengatakan, kecelakaan bus pariwisata di Sarangan, Magetan, hendaknya dijadikan momentum untuk menggalakkan kembali penilaian risiko perjalanan ke kawasan wisata di kalangan pengusaha angkutan wisata dan masyarakat pengguna jasa.
Pada saat bersamaan, peristiwa itu juga bisa dijadikan pijakan bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan perhatian khusus pada jalur wisata berkeselamatan. Apalagi, animo masyarakat untuk berwisata mulai bergeliat setelah pandemi. Animo ini berpotensi meningkat menjelang masa liburan Natal dan Tahun Baru 2023.
”Harus diakui pengawasan operasional angkutan pariwisata sangat lemah. Lain halnya dengan angkutan umum penumpang regular seperti bus AKAP (antarkota antarprovinsi) dan AKDP (antarkota dalam provinsi) yang dapat dilakukan ramp check kendaraan tersebut di terminal penumpang,” ucap Djoko.
Banyak kasus kecelakaan yang melibatkan kendaraan pariwisata disebabkan kelelahan pengemudi. Waktu mengemudi pengemudi berlebih sehingga istirahatnya kurang. Padahal batas maksimal mengemudi adalah delapan jam dalam sehari dengan waktu istirahat 30 menit setiap empat jam perjalanan.
Harus diakui pengawasan operasional angkutan pariwisata sangat lemah. (Djoko Setijowarno)
Djoko menambahkan, waktu kerja pengemudi sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 90 (1) menyatakan setiap perusahaan angkutan umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian pengemudi kendaraan bermotor umum.
Di sisi lain, pengguna jasa atau penyewa bus pariwisata acap abai untuk memastikan kendaraan yang disewa laik jalan. Padahal caranya mudah, yakni tinggal mengecek uji kir dengan memindai(scan barcode)yang ditempel di kaca depan kendaraan. Hasil pemindaian langsung masuk sistem E-Blue.
Pengguna jasa juga harus memperhatikan waktu istirahat pengemudi. Meskipun untuk program satu hari berwisata, sebaiknya tetap menggunakan dua pengemudi. Keduanya harus pengemudi utama bukan cadangan atau bahkan memanfaatkan kernek bus sebagai pengemudi pengganti.
”Pengemudi yang asal-asalan juga membahayakan penumpang, apalagi jalur atau medan yang dilalui cukup menantang, sulit, dan berbahaya,” tegas Djoko.