Meski Diamanatkan Undang-Undang, Penyandang Disabilitas Masih Sulit Mendapat Pekerjaan
Penyandang disabilitas masih menghadapi kesulitan mendapat pekerjaan. Meskipun sejumlah perusahaan mulai dengan sadar mempekerjakan penyandang disabilitas, sebagian besar perusahaan masih enggan merekrut mereka.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Penyandang disabilitas masih menghadapi kesulitan mendapat pekerjaan. Meskipun sejumlah perusahaan sudah mulai dengan sadar mempekerjakan penyandang disabilitas, sebagian besar perusahaan masih enggan merekrut mereka meskipun sudah diamanatkan undang-undang.
Hal itu disampaikan para penyandang disabilitas saat memperingati Hari Disabilitas Internasional di trotoar Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, Sabtu (3/12/2022). Puluhan penyandang disabilitas itu merupakan siswa-siswi dan alumni sekolah luar biasa dari Yayasan Karya Murni.
Mereka membentangkan spanduk, bernyanyi, dan berorasi untuk mengampanyekan agar hak-hak disabilitas dipenuhi. Ada pula penyandang tunarungu berkostum dan riasan wajah hitam putih melakukan pertunjukan pantomim dan memberikan bunga kepada pengguna jalan sebagai tanda cinta kasih.
Lodofikus Suhandur (29), penyandang tunarungu, menuturkan, ia tidak bisa melupakan saat dia akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan listrik di Medan. Sebelumnya ia sudah berulang kali ditolak bekerja di sejumlah perusahaan karena keterbatasannya dalam mendengar dan berbicara. Tamatan sekolah luar biasa dari Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu sempat hanya bekerja serabutan di Medan dan beberapa kota lainnya.
”Saya akhirnya bisa bekerja di perusahaan listrik. Sehari-hari saya berurusan merakit kabel listrik,” kata Lodofikus dengan bahasa isyarat.
Lodofikus mengatakan, ada 10 penyandang disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan itu di berbagai bidang. Di awal bekerja, mereka menghadapi tantangan untuk berkomunikasi dan berbaur dengan pekerja lain. Namun, seiring waktu mereka pun bisa diterima dengan baik dan mereka bisa melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Lodofikus pun sempat kesulitan berkomunikasi selama pandemi Covid-19 karena biasanya membaca gerak bibir lawan bicara. Sementara, semua orang harus memakai masker. Ia pun akhirnya berkomunikasi dengan bahasa tulis.
Penyandang tunarungu lain, Jan Sembiring (38), pun bisa menjadi sopir angkutan material bangunan. Awal melamar menjadi sopir, banyak pihak yang menolaknya karena menganggap sopir juga harus mendengar dengan baik agar bisa menghindari kecelakaan. Padahal, ia sudah mempunyai surat izin mengemudi dan sudah terampil.
”Sampai akhirnya ada yang menerima saya. Sudah 17 tahun saya menjadi sopir dan baru sekali kecelakaan ringan. Itu pun karena saya ditabrak dari samping,” kata Jan.
Jan mengatakan, ia mengandalkan indera penglihatan untuk memantau kendaraan di sekitar, baik melalui kaca utama maupun spion. Dari gerakan mobil di spion, ia misalnya tahu ada mobil yang ingin mendahuluinya meskipun ia tidak mendengar klakson.
Jan menyebut, pekerjaan itu sangat penting baginya. Ia akhirnya menikah dengan penyandang tunarungu lain dan saat ini mereka mempunyai dua anak. ”Saya bisa menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak saya dari pekerjaan saya sebagai sopir,” kata Jan.
Penyandang disabilitas tidak ingin dikasihani, hanya ingin diberikan kesempatan yang sama. (Ramses Simbolon)
Pengurus Yayasan Karya Murni Ramses Simbolon mengatakan, salah satu hal yang paling sulit yang dialami penyandang disabilitas adalah kesulitan mendapat pekerjaan. Meskipun mereka mempunyai keterampilan, tetap masih ada diskriminasi.
”Karena itu, kami terus mengampanyekan agar penyandang disabilitas tidak didiskriminasi, tetapi harus diberikan kesempatan yang sama. Penyandang disabilitas tidak ingin dikasihani, hanya ingin diberikan kesempatan yang sama,” kata Ramses.
Ramses mengatakan, banyak penyandang disabilitas yang punya keterampilan atau lulusan perguruan tinggi, tetapi tetap mendapat diskriminasi. Ia mencontohkan seorang tunanetra yang bisa lulus sarjana sastra Inggris dan menguasai bahasa Inggris. Namun, ketika melamar pekerjaan tetap didiskriminasi. Ia pun akhirnya berprofesi menjadi tukang pijat.
Ramses menyebut, saat ini mereka terus betemu dengan manajemen sejumlah perusahaan untuk menyosialisasikan agar perusahaan-perusahaan memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas. Hal itu sebenarnya sudah diamanatkan juga oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan BUMN wajib mempekerjakan penyandang disabilitas 2 persen dari kebutuhan pegawai atau karyawannya. Sementara, perusahaan swasta 1 persen dari kebutuhan karyawannya.