Anjloknya Harga Mengancam, Karet Rakyat Kian Ditinggalkan
Harga getah karet di tingkat petani kini hanya Rp 7.000 per kilogram, alias turun hampir 50 persen dari awal tahun ini. Keberlangsungan budidaya karet makin terancam.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Harga komoditas getah karet yang kian terpuruk di Jambi memerlukan intervensi khusus dari pemerintah daerah. Jika harga tak kunjung membaik, lahan karet terancam beralih fungsi jadi kebun sawit.
Harga getah karet di tingkat petani kini menyentuh Rp 7.000 per kilogram. Harga itu turun hampir 50 persen dari harga pada awal tahun ini. Petani karet di Desa Kubu Kandang, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, Sumiatun, mengatakan, hampir dua bulan ini harga getah karet turun terus. Padahal, sebelum itu harganya mulai membaik.
”Harganya sempat naik sedikit, tetapi sekarang ini kembali turun terus,” ujarnya, Kamis (1/12/2022).
Kondisi harga yang melemah, ditambah lagi seringnya turun hujan, membuat petani tak bersemangat menyadap getah karet. ”Kalau turun hujan, sudah pasti kebun tak terurus,” ucapnya.
Penurunan harga karet tak dapat dikendalikan petani. Menurut Tarjono, petani lainnya, harga karet sepenuhnya diatur pedagang pengepul yang bermitra dengan industri pengolahan karet. ”Kalau sudah dibilang harganya turun, ya, turun itulah yang kami terima. Petani sulit menawar harga supaya lebih tinggi,” tuturnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, budidaya karet di Jambi merupakan warisan turun-temurun. Namun, pamor karet belakangan ini semakin terpuruk akibat harganya yang tak kunjung membaik. Kondisi itu jika dibiarkan terus akan membuat petani malas merawat lahannya. Lebih parah lagi, lahan karet dialihfungsikan untuk budidaya sawit.
Karena itu, kata Pantun, pemerintah daerah harus mengambil langkah serius mendongkrak harga. Salah satunya dengan membuka jalan bagi tumbuhnya industri hilir karet. ”Kalau semakin banyak industri hilirnya tumbuh, daya serap karet akan bertambah dan harga karet petani akan terdongkrak dengan sendirinya,” katanya.
Jika dibandingkan dengan pengembangan sawit, keberadaan industri pengolahan karet masih jauh di belakang. Jumlah pabrik karet di Jambi sejak dulu hingga sekarang hanya ada lima pabrik. Bandingkan dengan industri pengolahan sawit yang terus bertumbuh. Di Jambi kini ada lebih dari 80 pabrik kelapa sawit. ”Karena industrinya sedikit, karet petani jadi dikendalikan oleh segelintir pembeli,” katanya.
Ia pun menyesalkan sejumlah rencana program yang mandek. Tahun 2019 pemerintah berencana memanfaatkan karet sebagai campuran aspal untuk pembangunan jalan dan jembatan. Rencana itu disambut antusias oleh petani. Namun, program hanya berjalan sampai dengan tahapan uji coba.
Pemerintah juga sudah membangun pasar lelang karet di sentra-sentra budidaya karet. Namun, tambah Pantun, harganya juga dikendalikan agen-agen pabrik. Adapun petani tidak memiliki daya tawar harga.
Kalau semakin banyak industri hilirnya tumbuh, daya serap karet akan bertambah dan harga karet petani akan terdongkrak dengan sendirinya.
Turunnya harga karet mengikuti nilai ekspor karet Jambi yang anjlok. Nilai ekspor karet pada Oktober lalu turun 32,9 persen menjadi 25,7 juta dollar AS dibandingkan September yang mencapai 38,36 juta dollar AS. Sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini, nilai ekspor karet dan olahannya mencapai 403 juta dollar AS. Nilai itu juga lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021, nilai ekspornya mencapai 411 juta dollar AS.
Penurunan nilai ekspor karet jadi penyebab turunnya total nilai ekspor Jambi. Nilai total ekspor Jambi pada Oktober lalu mencapai 229 juta dollar AS atau turun 13,47 persen dibandingkan pada September yang bernilai 264 juta dollar AS. ”Penyebab utama turunnya nilai ekspor Provinsi Jambi itu akibat turunnya nilai ekspor pada komoditas minyak nabati, komoditas karet, dan olahannya, serta komoditas kayu lapis,” kata Agus Sudibyo, Kepala BPS Provinsi Jambi.