Sebanyak 19 kasus gizi buruk ditemukan di Kendari, Sultra, sepanjang tahun 2022. Gizi buruk dan tengkes menjadi pekerjaan besar yang harus ditangani secara maksimal oleh pemerintah.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kasus gizi buruk di Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, menjadi pekerjaan besar yang harus ditangani pemerintah. Pada tahun 2022, sebanyak 19 kasus gizi buruk ditemukan dan masih dalam penanganan. Pemerintah diharapkan membuat langkah antisipasi yang maksimal agar kasus baru bisa diminimalisasi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kendari, periode Januari hingga November 2022, sebanyak 19 kasus gizi buruk dilaporkan dari sejumlah kecamatan. Temuan ini diperoleh dari pemantauan rutin tumbuh kembang anak setiap bulannya dengan jumlah anak balita tertimbang sebanyak 25.991 anak.
”Ini semua kasus baru yang ditemukan hingga November ini. Di puskesmas ada program yang melakukan penimbangan, pengukuran tinggi badan, dan perkembangan lainnya. Saat diukur, anak-anak ini kurang dari standar deviasi yang ditentukan sehingga masuk dalam kategori gizi buruk,” kata Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Kendari Hasmirah, Rabu (30/11/2022).
Jumlah kasus di tahun 2022, ia melanjutkan, jauh berkurang dibandingkan 2021 yang mencapai 41 kasus. Sementara itu, kasus gizi buruk pada 2020 hanya ditemukan 29 kasus karena jumlah anak balita yang dipantau kurang akibat pandemi Covid-19. ”Secara prevalensi, angkanya tidak tinggi. Namun, kami upayakan agar tidak ada tambahan dengan penanganan dan intervensi sesuai tata laksana yang berlaku,” kata Hasmirah.
Sejak adanya temuan kasus di satu wilayah, ia melanjutkan, upaya penanganan dan intervensi dilakukan. Hal ini mulai dari pemberian pemahaman terhadap orangtua, khususnya pemberian ASI dan makanan bergizi, hingga pemberian makanan tambahan.
Upaya tersebut dilakukan secara berkala dan intensif. Setiap bulannya, tumbuh kembang anak dipantau dan diintervensi. Utamanya untuk melihat kasus per kasus serta jika kemungkinan ada penyakit lain yang menyertai.
”Kebanyakan itu karena asupan gizi yang kurang. Penyebabnya mulai dari ekonomi, pemahaman orangtua yang kurang, dan pola kelahiran anak yang tidak dijaga. Karena itu, pemberian pemahaman terus dilakukan agar orangtua mengerti dan tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya.
Menurut Hasmirah, kasus gizi buruk memang menjadi tantangan besar yang harus ditangani secara maksimal. Sebab, kekurangan gizi tidak hanya berdampak pada masa depan, tetapi juga mengancam keselamatan anak tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan Kendari Rahminingrum menambahkan, intervensi ke orangtua dari sebelum hamil hingga melahirkan telah dilakukan. Kelas ibu hamil dan pemberian gizi juga rutin berjalan. Namun, menurut dia, kasus gizi buruk bukan hanya sekadar makanan saja, melainkan juga ekonomi keluarga hingga sanitasi.
Oleh sebab itu, ia berharap upaya penanganan bisa dilakukan secara holistik dan lintas sektor. Terjadinya gizi buruk merupakan akumulasi dari sejumlah faktor yang harus ditangani secara bersama-sama.
”Sekarang sudah ada tim terpadu untuk penanganan stunting (tengkes). Namun, untuk gizi buruk, belum ada. Ke depan, dalam penanganan stunting pasti akan disertai penanganan dan pemantauan untuk kasus gizi buruk,” ujarnya.
Angka prevalensi kasus tengkes di Sultra masih tergolong tinggi, yaitu 30,2 persen.
Kasus gizi buruk di Kendari berkelindan dengan angka tengkes yang tinggi. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada 2021, prevalensi tengkes di kota ini mencapai 24 persen atau 10.630 anak. Data ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI). Tingginya kasus tengkes di Kendari menjadi penyumbang kasus akumulasi se-Sultra sehingga menjadi provinsi dengan kasus tengkes tertinggi kelima di Indonesia.
Sebelumnya, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menuturkan, angka prevalensi kasus tengkes di Sultra masih tergolong tinggi, yaitu 30,2 persen. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional, yaitu 24,4 persen.
”Jadi perlu ada terobosan. Misalnya, mulai dari struktur dibentuk tim pendamping keluarga, Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), dan satuan tugas. Selain itu, kami pun telah ada kesepakatan bersama dengan Kementerian Agama untuk pra-perkawinan,” kata Hasto selepas Rapat Koordinasi Penanganan Tengkes se-Sultra di Kendari pada 31 Oktober 2022.
Berdasarkan SSGI 2021, lima daerah dengan prevalensi kasus tengkes tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur dengan angka 37,8 persen, Sulawesi Barat (33,8 persen), dan Aceh (33,2 persen). Selanjutnya Nusa Tenggara Barat (31,4 persen) dan Sultra (30,2 persen).
Menurut Hasmirah, angka survei tengkes di Kendari tergolong tinggi. Namun, temuan di lapangan yang dipantau berkala, kasus tengkes di angka 1,4 persen. ”Tetapi beda metodologi. Yang jelas, kami upayakan agar kasus stunting dan gizi buruk bisa tertangani dan tidak semakin bertambah. Ini menjadi ancaman untuk anak dan generasi mendatang,” katanya.