Sawit di Indonesia Dikuasai ”Raksasa”, Rakyat Kecil Sulit Sejahtera
Buku berjudul ”Hidup Bersama Raksasa, Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit” diluncurkan di Universitas Sumatera Utara. Buku mengulas kehadiran perusahaan raksasa, tetapi tidak memberi kesejahteraan bagi pekerjanya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
ARIEF NURRACHMAN
Halaman muka buku berjudul Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit.
MEDAN, KOMPAS — Buku berjudul Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawitdiluncurkan di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat (25/11/2022). Buku itu mengulas kehadiran perusahaan perkebunan yang dinilai tidak memberikan kesejahteraan warga, tetapi menimbulkan konflik dan perampasan hak asasi manusia.
Peluncuran buku itu dihadiri penulisnya, Profesor Tania Murray Li, antropolog dari Universitas Toronto di Kanada, dan Profesor Pujo Semedi, antropolog dari Universitas Gadjah Mada. Sejumlah pembahas hadir secara daring dalam peluncuran buku itu.
Buku itu mengulas kondisi raksasa perusahaan perkebunan sawit dengan pendekatan etnografi. Penulis meneliti di perkebunan sawit di daerah Tanjung, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada 2010-2015.
Pujo mengatakan, mereka melihat perkebunan sawit sejak awal dibangun dengan mendapat subsidi besar-besaran dari penguasa. Pada tahun 1990-an, perusahaan sawit mendapat lahan dengan status hak guna usaha dari negara dengan harga yang sangat murah.
Perusahaan sawit lalu berkembang pesat dan mengubah antropologi masyarakat Indonesia yang sebelumnya merupakan petani sawah atau petani hutan menjadi pekerja di perkebunan sawit besar atau menjadi petani sawit. Lahan sawit pun terus berkembang hingga saat ini mencapai 22 juta hektar, sekitar 14 juta hektar merupakan lahan produktif dan sisanya lahan yang disiapkan untuk ekspansi sawit.
Penulis buku Hidup Bersama Raksasa, Tania Murray Li, di Ruang Seminar BRIN, Jakarta, Kamis (17/11/2022).
”Ini mencakup sepertiga dari lahan pertanian di seluruh Indonesia. Ini adalah raksasa yang hanya meninggalkan ruang hidup yang sangat sempit bagi masyarakat,” kata Pujo.
Tania mengatakan, perkebunan menghasilkan pendapatan yang besar bagi perusahaan, tetapi hampir semuanya dibawa ke luar negeri atau luar daerah. Para pekerjanya juga sebagian besar berasal dari daerah lain.
Akibatnya, uang yang dihasilkan dari sawit sangat sedikit yang berputar di daerah perkebunan. Hal ini yang membuat banyak daerah sangat lambat pertumbuhan ekonominya meskipun perkebunan sawit sudah puluhan tahun beroperasi di daerah itu.
”Kondisi ini merupakan kontras dari pertanian masyarakat lokal yang semua uangnya berputar di desa yang memunculkan mesin ekonomi baru. Di perkebunan sawit yang sudah puluhan tahun pun, daerahnya tidak berkembang. Infrastruktur hanya dibangun untuk kepentingan produksi,” kata Tania.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan, pendekatan etnografi dalam buku itu menunjukkan ”kegilaan” perkebunan sawit. Taufan, yang merupakan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022, menyebut, setelah Sumatera dan Kalimantan, ekspansi perkebunan sawit berlanjut ke Papua.
Banyak konsesi yang diberikan hanya berdasarkan peta dan foto udara tanpa melihat siapa yang ada di tanah itu. Seolah tanah Papua adalah tanah kosong, padahal ada masyarakat dan hukum adat yang berlaku di sana.
”Konsesi diberikan kepada perusahaan secara besar-besaran dengan luas yang tidak masuk akal. Di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, luas konsesi yang dikeluarkan pemerintah justru lebih luas daripada luas kabupaten itu sendiri,” kata Taufan.
Taufan mengatakan, perkebunan sawit telah menyebabkan kerusakan ekologis, perubahan tata hidup suku asli, dan merampas tanah ulayat masyarakat. Konflik antarmasyarakat pun terjadi karena ada perebutan keuntungan kecil antartokoh masyarakat.
”Ini semua adalah aspek hak asasi manusia,” kata Taufan.
Taufan menyebut, Komnas HAM sudah beberapa kali mengusulkan pembentukan komite nasional untuk merevisi kebijakan perkebunan secara mendasar agar berpihak kepada masyarakat kecil. Namun, hal itu tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah secara serius.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Seorang petani tengah melansir hasil panen buah sawit di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis (6/7/2018).
Sosiolog dari Universitas Andalas, Profesor Afrizal, mengatakan, realitas perkebunan sawit di Riau menjadi contoh bagaimana perkebunan membawa keuntungan ke luar dan hanya menyisakan konflik di daerah.
”Sudah tiga Gubernur Riau yang ditangkap berturut-turut karena persoalan korupsi, antara lain, terkait alih fugsi hutan menjadi sawit,” katanya.
Afrizal mengatakan, dari 2,4 juta hektar lahan perkebunan sawit di Riau, hanya sekitar 400.000 hektar yang menurut dia tidak menimbulkan konflik. Selebihnya merupakan lahan konflik. Pemerintah memberikan lahan konsesi kepada perusahaan, padahal jelas-jelas di dalam konsesi itu ada desa yang sudah hidup ratusan tahun di sana.
Pengajar Fakultas Ilmu Budaya USU, Profesor Budi Agustono, mengatakan, perkebunan sawit merupakan industri ekstraktif yang menyedot kekayaan bumi Indonesia, tetapi hingga kini tidak ada bukti menyejahterakan rakyat kecil secara luas. Hanya segelintir staf perkebunan yang mendapat upah layak.
Di balik itu, sebagian besar pekerjanya merupakan pekerja harian lepas atau buruh kasar yang dibayar dengan upah murah. ”Sampai sekarang tidak ada imajinasi seperti apa kesejahteraan para pekerja kebun yang hendak dicapai di masa depan,” kata Budi.