Hadirnya perkebunan sawit turut merekonstruksi ulang bentuk kehidupan masyarakat di sekitarnya. Buku ini merupakan kajian etnografi yang mengeksplorasi bagaimana bentuk-bentuk baru kehidupan di perkebunan sawit terjadi.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·3 menit baca
SUSANTI AGUSTINA SIMANJUNTAK
Halaman muka buku berjudul Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit
Judul: Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit
Penulis: Tania Murray Li dan Pujo Semedi
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xiv + 362 halaman
ISBN: 978-602-0788-30-2
Perkebunan sawit hingga saat ini masih bernilai strategis bagi perekonomian nasional.Berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2021, industri kelapa sawit turut menyumbang sekitar 14 persen dari total penerimaan devisa ekspor nonmigas. Hal ini membuat pemerintah terus menggenjot produksi sawit. Komoditas minyak sawit mentah banyak dibutuhkan sebagai bahan utama dalam produksi makanan cepat saji, deterjen, kosmetik, minyak goreng, dan biodiesel.
Namun, di balik kontribusinya yang besar bagi negara, kehadiran perkebunan sawit ternyata menyimpan kisah kesedihan serta sikap pesimistis dari masyarakat yang tinggal di area konsesi perkebunan. Harapan bahwa perkebunan sawit mampu memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar sebatas janji manis dari para elite lokal dan pemilik perusahaan.Ekspansi perkebunan sawit justru mendatangkan risiko ekologis dari budidaya tanaman tunggal, hilangnya hutan dan spesies, serta pelanggaran hak asasi manusia dan tenaga kerja.
Realitas tersebut yang berusaha diungkapkan oleh Pujo dan Tania dalam buku Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit (Marjin Kiri, 2022). Buku ini merupakan hasil penelitian etnografi yang dilakukan Pujo dan Tania pada periode 2010-2015 pada wilayah perkebunan sawit di Tanjung, sebuah kecamatan di Sanggau, Kalimantan Barat. Penelitian berangkat dari bingkai bahwa perkebunanmerupakan teknologi politik yang mengatur wilayah dan manusia sehingga menghasilkan dunia baru. Keduanya mengeksplorasi bentuk-bentuk kehidupan yang muncul akibat pendudukan perusahaan perkebunan.
Sistem organisasi perkebunan sawit sebagai suatu mesin penggalang lahan, tenaga kerja, dan modal di bawah manajemen terpusat tentunya memengaruhi hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang digariskan oleh perusahaan. Seperti yang terjadi di Tanjung, di mana wilayah inti perkebunan berupa satu hamparan luas kebun dengan batas yang jelas dan masyarakat hidup di bawah peraturan ketat perusahaan. Aturan-aturan ini tidak hanya membatasi warga yang tinggal dalam wilayah konsesi, tetapi juga masyarakat di luarnya. Salah satunya jelas terlihat saat warga kesulitan mengakses sumber air karena berada di dalam area konsesi.
Di sisi lain, pembangunan dan modernisasi yang dibawa perusahaan sawitke desa turut mengubah cara hidup masyarakat.Banyak keluarga hingga komunitas meninggalkan cara hidup yang lama. Terjadi pergantian pekerjaan, dari yang awalnya bertani dan berkebun, lalu memilih menjadi pegawai perusahaan. Sayangnya, pemerataan tidak terjadi karena saat sebagian mengalami perubahan kehidupan yang lebih baik, sebagian lainnya justru kehilangan akses ke sumber nafkah dasar.
Selain itu, potensi konflik agraria, sepertipembebasan tanah yang berjalan dengan tidak sesuai dengan aturan yang ada, pemalsuan dokumen, kompensasi yang tidak memadai, dan manipulasi harga sangat mungkin berlanjut selama perusahaan terus menambah area konsesinya.
Upaya penguasaan wilayah dengan mengabaikan kehidupan sosial masyarakat setempat seperti di atas menjadi hal yang jamak di wilayah konsesi perkebunan di Indonesia. Motif demi mendorong kepentingan perekonomian nasional sering menabrak batas-batas sosial, budaya dan hukum. Terjadinya praktik ”kolaborasi” antara perusahaan, pejabat, politisi, dan pemimpin desa membuat rakyat kecil harus berjuang sendiri. Dukungan politik ekonomi, teknologi politik, dan rezim impunitas turut menyuburkan dominasi perkebunan sawit. Pada akhirnya, masyarakat terpaksa mengalah dan bertahan di tengah keterbatasan seperti judul buku ini, Hidup Bersama Raksasa. (Litbang Kompas)