Aktivitas Sesar Probolinggo dan Kewaspadaan Gempa di Jatim
Gempa Cianjur menimbulkan korban jiwa ratusan orang. Belum lama, sesar Probolinggo juga menunjukkan aktivitasnya. Hal ini menyentak kesadaran bahwa potensi gempa bumi di Jawa Timur juga harus diwaspadai.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
Saat fokus masyarakat tercurah pada gempa Cianjur yang menimbulkan ratusan korban jiwa, tiba-tiba saja kita diingatkan ada potensi bahaya gempa bumi lain, yaitu dari aktivitas sesar Probolinggo, Jawa Timur, yang mendadak aktif pada Rabu (23/11/2022) petang.
Aktivitas sesar Probolinggo pada Rabu itu diduga memicu gempa bumi dengan magnitudo 4,1 di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pukul 17.45 WIB. Pusat gempa berada pada koordinat 7,81 Lintang Selatan (LS) dan 113,59 Bujur Timur (BT) atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 14 kilometer (km) Timur Laut Kabupaten Probolinggo dengan kedalaman 6 km.
Meski gempa dangkal tersebut tidak menimbulkan dampak berarti, hal itu menyentak kesadaran bahwa Jawa Timur memiliki ancaman gempa bumi serupa Cianjur.
”Gempa kemarin membuktikan bahwa sesar Probolinggo merupakan salah satu sesar aktif di Jatim. Untuk meneliti seberapa aktifnya memang dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan dipasang alat khusus oleh BMKG. Oleh karena itu, harapannya pihak Pemprov Jatim atau pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur akan menyeriusi mitigasi bencana gempa bumi untuk kewaspadaan,” kata Amien Widodo, peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Kamis (24/11/2022).
Amien mengatakan, potensi bencana tersebut harus membuat waspada dan mendorong dibuatnya langkah-langkah lanjutan. ”Dari gempa Cianjur diketahui bahwa ternyata yang membunuh dan membuat luka-luka adalah karena rumahnya. Artinya, rumah dibangun tidak dengan memperhitungkan potensi gempa di sana,” kata Amien.
Oleh karena itu, menurutnya, jika di Probolinggo sudah terpetakan sesar aktifnya, dengan potensi angka magnitudo 6,5, kita harus bersiap untuk itu. Maka, diharapkan semua pihak turut menyiapkan mitigasi bencana agar tidak muncul dampak luas jika nanti gempa bumi benar-benar terjadi.
”Data itu menyebut potensi gempa di sana cukup besar. Artinya, rumahnya, tanahnya, juga harus diperhatikan, serta menyiapkan orang-orang di sana agar paham. Orang harus diedukasi terus agar tidak lupa bahwa potensi gempa di sana selalu ada. Saat terjadi gempa mereka harus tahu berbuat apa agar masyarakat bisa selamat,” kata Amien.
Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 disebutkan bahwa sesar Probolinggo memiliki gawir sesar memanjang berarah timur laut-barat daya. Gawir adalah lereng terjal dan curam yang terbentuk akibat patahan. Gawir sesar ini memotong endapan lepas Gunung Argopuro yang berumur pleistosen. Morfologi dari gawir sesar ini mengindikasikan pergerakan mendatar.
Di Jawa Timur terdapat dua generator gempa, yaitu zona subduksi lempeng di Samudra Hindia, serta sesar aktif di daratan.
Dalam makalah berjudul ”Pemutakhiran Sumber dan Peta Gempa Indonesia tahun 2017” yang disampaikan Tim Pemutakhiran Peta Gempa Indonesia 2010 dan 2017 dalam seminar sehari kebencanaan dalam rangka memperingati HUT Ke-72 RI dinyatakan bahwa banyak ditemukan sesar aktif di Indonesia. Tahun 2010 ditemukan sesar berjumlah 81. Pada tahun 2017 jumlahnya meningkat menjadi 295 sesar aktif.
Sesar aktif juga disebut sesar gempa. Sebab, pergeseran sesar ini bisa menimbulkan gempa. Sesar aktif ada di darat sehingga jika terjadi gempa, bisa membahayakan orang dan infrastruktur di sana.
Tim Sosialisasi Gempabumi dan Tsunami Stasiun Geofisika Malang dalam makalah sosialisasinya berjudul ”Potensi Gempa dan Tsunami di Jawa Timur” menyebut bahwa setidaknya di Jawa Timur ada tujuh sesar aktif dan enam segmen sesar Kendeng.
Tujuh sesar aktif itu adalah sesar naik Pati, sesar Kendeng, sesar Pasuruan, sesar Probolinggo, sesar Wongsorejo-Banyuwangi Utara, zona sesar RMKS (Rembang Madura-Kangean-Sakala), dan Bawean Fault. Adapun enam segmen sesar Kendeng adalah segmen Demak, segmen Purwodadi, segmen Cepu, segmen Blumbang, segmen Surabaya, dan segmen Waru.
Saat terjadi gempa mereka harus tahu berbuat apa agar masyarakat bisa selamat. (Amien Widodo)
Peta Gempa Indonesia tahun 2017 telah menunjukkan potensi masing-masing sesar tersebut. Kota Surabaya dilewati dua sesar, yaitu sesar Surabaya dan sesar Waru. Sesar Surabaya bergerak dengan kecepatan 0,1 mm/tahun dan bisa menimbulkan gempa sebesar magnitudo 6,8, sedangkan sesar Waru bisa menimbulkan gempa dengan magnitudo 7,2 dengan laju pergeseran 0,5 mm/tahun.
Kawasan lain yang dilewati sesar aktif adalah sesar Wonorejo Situbondo dengan dampak bisa menimbulkan gempa magnitudo 5,7 dengan pergerakan kecepatan 0,3 mm/tahun; sesar Probolinggo berpotensi menimbulkan gempa dengan magnitudo 6,5 serta pergerakan 0,2 mm/tahun; sesar Pasuruan yang berpotensi menimbulkan gempa dengan magnitudo 6,5 dengan pergerakan 0,2 mm/tahun; serta Blumbang Mojokerto berpotensi menimbulkan gempa magnitudo 6,9 dengan pergerakan 0,1 mm/tahun.
Utara
Tidak sekadar potensi kekuatan gempa, daerah dengan potensi dampak terbesar akibat gempa di Jatim juga sudah pernah diteliti oleh tim Departemen Teknik Geofisika Fakultas Teknik Sipil Lingkungan dan Kebumian Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Riset dilakukan oleh Augustika Ratna Salsabil, Anik Hilyah, Singgih Purwanto, dan M Haris Miftakhul Fajar tersebut, ditulis dalam laporan berjudul ”Zona Bahaya Kegempaan akibat Patahan Aktif di Wilayah Jawa Timur dengan Pendekatan Deterministik Menggunakan Perhitungan Atenuasi Chiou-Youngs 2014”.
Riset menunjukkan nilai puncak percepatan tanah maksimum atau peak ground acceleration (PGA) di Jatim, yang dirasakan suatu lapisan saat terjadi gerakan gempa, berkisar antara 0,0099 g (percepatan karena gravitasi bumi) untuk nilai terendah, dan 2,0014 g untuk nilai tertinggi.
Daerah dengan nilai PGA tertinggi meliputi pesisir utara, seperti Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Gresik. Nilai itu tervalidasi dengan kondisi geologi di sana, yang didominasi sedimen alluvium meliputi kerakal, kerikil, batu pasir, dan batu lempung.
Wilayah dengan kondisi geologi sedimen aluvium tersebut juga terdapat di pesisir pantai Tuban, Lamongan, Pasuruan, Probolinggo, serta Bojonegoro. Daerah itu disebut merupakan zona rawan gempa bumi karena bisa memicu amplifikasi (pembesaran/ penguatan) gelombang gempa.
Adapun daerah dengan nilai PGA terendah adalah Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Sumenep. Kondisi geologi di sana didominasi batuan kompak-batuan gunung api miosen, yaitu basal, andesit, perselingan breksi, sisipan batu pasir, batu lempung dan batu gamping. Struktur batuan seperti itu disebut mampu meredam gelombang gempa.
Selama ini tercatat sejumlah gempa merusak di Jawa Timur. Tahun 1867 di Surabaya terjadi gempa skala VI-VII MMI. Tahun 1889 terjadi gempa dengan skala VI MMI di Pasuruan. Tahun 1937 gempa skala VII-IX MMI di Pacitan, dan seterusnya. Selain kerugian fisik, juga tercatat korban jiwa.
Rekam jejak bencana tersebut, menurut Kepala Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Adi Susilo, sudah seharusnya menyadarkan bahwa kita hidup di tanah bencana. ”Kita tidak boleh lengah bahwa kita dikelilingi bencana. Pemerintah, BPBD, dan elemen pentaheliks harus waspada. Namun, yang terpenting tidak boleh panik. Sebab, kepanikan sangat mungkin menyebabkan dampak bencana meluas,” kata Adi.
Kewaspadaan di tingkat masyarakat, menurut Adi, juga harus terus didengungkan. ”Kewaspadaan terhadap bencana bisa ditanamkan sejak dini. Mulai dari keluarga dan sekolah. Relawan bisa masuk melalui kegiatan kepramukaan atau kegiatan sejenis lainnya,” kata Adi. Oleh karena itu, saat bencana benar-benar terjadi, masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukan.