Bagi para penari di Kota Palangkaraya, tari itu lebih dari sekadar pertunjukkan. Tari juga sebuah cara penari menelisik kehidupan leluhur mereka. Pengetahuan itu terselip di lenggak-lenggok ragam tari.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Pagi itu, Selasa (22/11/2022), Wisdariman baru pulang dari kebun yang terletak tak jauh dari rumahnya di Kalampangan, Kota Palangkaraya. Urat-urat di tangannya menegang saat ia berjalan keluar dari kebun membawa dua ember penuh berisi air. Ia melompat-lompat di antara semak-semak berduri dengan sandal jepit sebagai alas kaki.
Tubuhnya mungil. Baju kemeja kotak-kotak lengan panjang yang terlihat besar hampir menenggelamkan tubuhnya. Ia juga mengenakan celana kain panjang dengan tambalan di sana-sini yang dihiasi cipratan lumpur di lipatan bagian bawah.
Banyak orang mengenalnya sebagai petani. Ia pun ingin dikenal sebagai petani. Namun, beberapa muridnya yang mampir datang ke rumah Wisdariman mencium tangan sarjana hukum lulusan STIH Tambun Bungai Palangkaraya itu.
Ia bukan guru yang mengajar pelajaran di sekolah, tetapi bagi sebagian muridnya ia guru yang mengajar kehidupan lewat menari. Pria 67 tahun itu merupakan salah satu pendiri sanggar tertua dan pertama di Kota Palangkaraya, yakni Sanggar Manguntur Janang.
Masih lekat di ingatan Wisdariman ketika bercerita tentang kisahnya 42 tahun lalu saat masih mencari jati diri. Kala itu, ia datang dari kampungnya di Kabupaten Barito Timur ke Palangkaraya. Lebih dari 350 kilometer ia lalui untuk mengejar mimpinya memiliki komunitas sanggar.
Dengan cermat ia bisa menjelaskan sejarah sanggar pertama yang ia gagas. Suaranya begitu lembut hingga lawan bicara perlu mendekatkan telinga. Suara yang jatuh ke telinga bisa samar, tetapi pesannya jelas.
Wisdariman yakin betul jika tarian Dayak itu merupakan warisan leluhur. Diturunkan lewat berbagai momen ritual hingga acara adat. Tari adalah bagian dari ritual adat. Seperti tarian Balian Dadas yang terkenal karena bunyi gemerincing gelang.
Tarian ini dikenal, kata Wisdariman, sebagai tarian penyembuh penyakit. Hanya orang tertentu yang bisa menjalankan ritual itu. Ada lagi tarian Babukung yang dikenal saat upacara kematian, atau tari di masa panen, yang bisa dilihat saat pesta gawai di Kalimantan Barat dan banyak tarian lain.
Semua tarian itu, menurut Wisdariman, adalah tarian tradisional yang turun-temurun. Semuanya punya makna dan lekat dengan pengalaman leluhur sebagai pesan ke generasi berikutnya.
”Gerakan-gerakan tarian dalam ritual itu yang kemudian saat ini dipakai untuk dipentaskan. Gerakannya saja, tak semua syarat ritualnya juga ikut dipentaskan karena bisa datangkan tulah,” tutur Wisdariman.
Wisdariman sangat memahami pakem dasar beberapa tarian yang ia sebutkan. Pola gerak itu, menurut dia, tak boleh hilang dalam pertunjukan tari jika membawa embel-embel Dayak di belakangnya.
”Tapi, ya, bagaimana, dunia kan berubah. Menari ikut berubah di dalamnya,” kata Wisdariman.
Perubahan atau peralihan pola gerak itu juga yang kemudian membuat Tris Sofia Wartina (37), pemilik Sanggar Betang Batarung, membuat koreografi dengan nama Tari Hatampung Penyang yang dalam bahasa Dayak berarti menampung kekuatan atau menyatukan kekuatan. Dalam koreografi ciptaannya, Tris menggabungkan tari gelang, tari mandau, tari pasai, unsur bela diri, hingga nuansa Melayu-Dayak dalam tarian itu.
”Dari semua unsur itu disatukan dan lahirlah penampilan yang luar biasa,” kata Tris.
Di satu sisi, Tris sadar bahwa budaya dengan segala isinya itu berkembang. Begitu juga tarian, yang awalnya digunakan sebatas ritual adat, kini menjadi seni pertunjukkan yang bisa dinikmati. ”Yang penting dasar-dasarnya itu tidak hilang,” kata Tris.
Tris mungkin bisa mewakili penari-penari sanggar di Kota Palangkaraya yang berupaya menampilkan pertunjukkan tari tanpa menghilangkan dasar-dasar atau pola tradisional Dayak. ”Meskipun demikian, kami sadar pakem dalam menari itu juga dibuat berdasarkan kesepakatan sehingga tidak ada salahnya mengubah pola gerak, tetapi enggak boleh keluar pakem atau dasarnya,” tuturnya.
Manusia menanam pohon, pohon memberikan buahnya untuk dimakan manusia. Itu jadi satu siklus kehidupan. Siklus kehidupan itu tergambar dengan sangat apik dalam tarian-tarian tradisional Dayak.
Berbeda lagi penari muda di Sanggar Hagatang Tarung yang didirikan Try Herianto (23) Bersama teman-temannya semasa kuliah. Try mampu menari tari kreasi tradisional karena memang ia sekolah menari di Program Studi Pendidikan Sendratasik Universitas Palangka Raya (UPR). Namun, sanggarnya justru banyak mengembangkan seni tari kontemporer dengan tema-tema tertentu.
Try pernah menampilkan tarian kontemporer dengan tema ”Rimba Terakhir” di salah satu pergelaran kesenian di Kota Palangkaraya. Ia jauh lebih berani menghadirkan pola gerak yang merdeka dan memilih untuk tidak terpaku dengan dasar-dasar yang pun ia pahami.
Samuel Putra, di sanggar yang sama, juga memiliki pemikiran yang sama. Menurut dia, menari juga bagian dari eksistensi diri, bukan sekadar menjadi bisnis karena menggeliatnya sanggar di Palangkaraya.
”Tidak sedikit sanggar yang mati karena persoalan manajemen, uang, dan lain sebagainya. Kami mau terus hidup dengan menari dan musik Dayak, bukan hanya soal bisnis, tetapi juga identitas,” kata Samuel yang biasa bermain gandang atau gendang di sanggar itu.
Berkehidupan
Antropolog Dayak di Kalteng, Marko Mahin, menjelaskan, orang Dayak percaya manusia diciptakan dari pohon kehidupan yang disebut Batang Garing. Dalam falsafah Batang Garing, digambarkan dua burung enggang di bagian kanan dan kiri bawah. Keduanya burung jantan dan betina, ciptaan dewa dan dewi.
Marko melanjutkan, kedua burung itu bertempur untuk merebut buah dari Batang Garing. Pertempuran keduanya disebut pertempuran suci dan dianggap asal mula diciptakannya alam dan manusia Dayak.
Seusai pertempuran, kata dia, manusia dan alam hidup berdampingan. Manusia menanam pohon, pohon memberikan buahnya untuk dimakan manusia. Itu jadi satu siklus kehidupan. Siklus kehidupan itu tergambar dengan sangat apik dalam tarian-tarian tradisional Dayak.
Tari menjadi cara paling asik memahami dan mengimajinasikan proses penciptaan kehidupan. Penari seperti Wisdariman, Tris, ataupun Try dan kawan-kawannya pun menjadi bukti bagaimana penari di Kota Palangkaraya tak sekadar menari. Mereka menguatkan identitas mereka dengan pola perubahan gerak tari dari waktu ke waktu, cara yang tua dengan kesetiaan dan muda dengan kejujuran juga kemerdekaan bergerak dalam ruang dan waktu.