Kerusakan alam akibat alih fungsi lahan berdampak pada kelestarian Budaya Dayak. Mulai dari banyaknya bahasa subsuku Dayak yang mulai hilang, hingga cerita rakyat yang mulai dilupakan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Kerusakan alam akibat alih fungsi lahan berdampak pada kelestarian Budaya Dayak. Mulai dari banyaknya bahasa subsuku Dayak yang mulai hilang, hingga cerita rakyat yang mulai dilupakan. Gerakan melawan kepunahan pun mulai kembali gencar, salah satunnya lewat Festival Lewu Dayak.
Festival Lewu Dayak diselenggarakan oleh komunitas Dayak Voices dan Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) yang bermitra oleh Gerakan Harmoni dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Festival ini akan berlangsung sejak Senin (14/9/2020) hingga 14 November 2020 di Kalimantan Tengah.
Festival itu dimulai dengan lomba fotografi, videografi, juga tulisan yang mengangkat cerita-cerita budaya Dayak. Tak hanya itu, dalam proses rekrutmen, penyelenggara juga akan mengadakan pelatihan kepada para peserta mulai dari mengumpulkan gagasan hingga proses pengambilan gambar juga tulisan.
“Jadi pemuda Kalteng mencari identitasnya kembali lewat karya yang mereka buat. Cerita-cerita rakyat yang mulai hilang, hingga Bahasa yang akan punah diungkapkan dan diingatkan kembali dalam karya mereka,” kata Direktur JPIC Frans Sani Lake.
Frans mengungkapkan, budaya lahir dari air sungai, pepohonan di hutan hingga tanah. Namun, dengan kerusakan yang masif budaya ikut terancam. Hal itu yang mendorong festival tersebut perlu diadakan.
“Gelombang perusakkan alam itu menghantam sumber-sumber pengetahuan asli masyarakat di daerah, sehingga harus ada gerakan yang mampu melestarikan sumber-sumber pengetahuan itu,” ungkap Frans Sani Lake.
Jadi pemuda Kalteng mencari identitasnya kembali lewat karya yang mereka buat. Cerita-cerita rakyat yang mulai hilang, hingga Bahasa yang akan punah diungkapkan dan diingatkan kembali dalam karya mereka
Hal itu terlihat dari data Balai Bahasa di Kalimantan Tengah. Di Kalteng, terdapat lebih kurang ada 400 bahasa Dayak beserta subsukunya. Total penuturnya 1,4 juta orang. Dayak Ngaju sebagai salah satu suku besar di Kalteng hanya punya 850.000 penutur. Salah satu yang terancam punah adalah bahasa Paku di Barito Timur, tepatnya di daerah Paku dan Dusun Tengah. Bahasa ini hanya memiliki 150 penutur yang semuanya orang tua.
Jumlah 1,4 juta penutur relatif sedikit untuk 400 bahasa. Dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya seperti dikutip dari Ethnologue: Language of the World (2005), bahasa Musi di Sumatera Selatan punya 3,9 juta penutur, lalu bahasa Aceh dan bahasa Banjar dari Kalimantan Selatan masing-masing sekitar 3,5 juta penutur.
“Jadi dalam karya yang akan mereka buat itu kami sangat menyarankan untuk menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, apalagi di Kalteng ini subsuku Dayak itu banyak sekali dengan beragam Bahasa. Nanti akan tetap diterjemahkan ke Bahasa Indonesia,” kata Frans.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Guntur Talajan. Menurutnya, budaya Dayak sangat terpengaruh dengan alam, seperti sungai, pohon, hingga tanah. Namun dengan banyaknya perusahaan di sektor tambang dan perkebunan sawit itu semua tergerus.
“Seharusnya gerakan seperti ini didukung penuh oleh mereka yang punya izin di atas tanah, hutan dan lain sebagainya. Sehingga komunitas dan seniman-seniman di Kalteng itu bisa bertahan dan menyebarkan pesan budaya Dayak ke semua orang,”kata Guntur.
Guntur menyampaikan, sumber wisata yang paling banyak dikunjungi di Kalteng semuanya berbasis ekowisata dan budaya. Banyak turis yang datang tak hanya ingin mengenal alam beserta satwa liarnya, tetapi juga unik dan kayanya budaya Dayak di Kalteng.
“Festival ini wajib didukung, kami juga sangat mengapresiasi adanya festival ini sehingga memunculkan pesona dari daerah tertentu, juga adat-adat yang sarat makna,” kata Guntur.
Ketua Pelaksana Festival Lewu Dayak Bama Adiyanto mengungkapkan, festival kali ini mengambil tema Dayak dan Pandemi Covid-19. Menurutnya, Dayak memiliki banyak cerita juga pengalaman nenek moyang dalam menghadapi wabah.
“Ada ritual-ritual yang bisa diangkat yang sebenarnya sudah ada dalam cerita rakyat namun ingin kembali diangkat dalam skema audio visual sehingga jauh lebih menarik,” kata Bama.
Bama menjelaskan, tidak hanya ritual terkait pandemi, peserta juga bisa mengungkap ritual dan budaya Dayak lain yang menarik. Pihaknya akan melakukan penerimaan peserta hingga 30 September 2020 dari 14 kabupaten/kota di Kalteng.
“Kami akan jemput bola, jadi akan kami datangi ke tiap kabupaten kota di Kalteng sambil melakukan pelatihan, jadi pemuda di Kalteng bisa belajar juga sambil bekarya,” kata Bama.