Dianiaya karena Tidak Piket Kamar, Santri Tewas Dianiaya Seniornya di Sragen
Seorang santri asal Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, tewas setelah dianiaya seniornya pada sebuah pondok pesantren di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Alasan penganiayaan karena korban tak melakukan piket kamar.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Seorang santri tewas setelah dianiaya seniornya di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Kampus Masaran di Kecamatan Masaran, Sragen, Jawa Tengah, Sabtu (19/11/2022). Pelaku yang juga masih di bawah umur terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Korban bernama Daffa Washif Waluyo (15), warga Ngawi, Jawa Timur. Dia dianiaya setelah dituduh tidak melakukan piket kamar.
Sebelum tewas, Daffa bersama rekan-rekannya dikumpulkan sejumlah santri senior di salah satu ruangan. Mereka menjalani evaluasi kebersihan pondok, termasuk pelaksanaan piket kamar. Bagi yang tak melakukan piket kamar bakal diberikan hukuman.
Saat itu ada dua hukuman yang ditawarkan, singkat dan panjang. Hukuman panjang berupa menjalani tugas kebersihan selama dua pekan. Sementara sanksi singkat berupa pukulan. Daffa termasuk yang dipukul akibat tak menjalankan kewajibannya piket kamar.
”Mereka (senior) sempat izin pengurus untuk mengumpulkan santri. Namun, pada pelaksanaannya, senior memberikan tindakan yang kurang pas. Mungkin tindakannya juga kurang terkontrol. Akibatnya, salah seorang santri (Daffa) pingsan,” kata Kepala Seksi Humas Kepolisin Resor Sragen Inspektur Satu Ari Pujiantoro di Sragen, Rabu (23/11/2022).
Daffa lantas dibawa ke klinik setempat untuk mendapatkan perawatan. Namun, klinik tersebut tidak mampu memberikan penanganan lanjutan sehingga korban dirujuk ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Sragen. Dalam perjalanan tersebut, Daffa diduga mengembuskan napas terakhirnya.
Kabar kepergian Daffa disampaikan pengurus ponpes pada Minggu (20/11/2022) pagi. Saat bersamaan, pengurus ponpes juga melaporkan kejadian itu kepada polisi. Tidak lama, polisi melakukan olah tempat kejadian perkara dan memeriksa 11 saksi.
”Setelah itu, kami langsung gelar perkara dan menetapkan MHNR (16), warga Karanganyar, sebagai tersangka. Tetapi, tersangka tidak ditahan. Hanya dikenakan wajib lapor karena masih berusia di bawah umur. Meski demikian, proses hukum terus berjalan,” kata Ari.
Ari menyatakan, tersangka bakal dijerat Pasal 80 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak. Tersangka dianggap lalai sehingga mengakibatkan nyawa anak lainnya meninggal dunia. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
Nurhuda (56), kerabat korban, berharap kasus ini diusut tuntas. Ia juga menginginkan keluarga pelaku segera menemui keluarga korban. Sejauh ini belum ada komunikasi di antara kedua belah pihak.
Mochammad Wazir Tawam, anggota Forum Masyayikh (sesepuh) Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta, menyatakan tidak membenarkan tindak kekerasan. Selama ini, hukuman hanya diminta menghafal kitab suci atau membersihkan kamar mandi. Apabila pelanggaran dilakukan berulang kali, hukumannya berupa pemanggilan orangtua.
Untuk itu, Wazir prihatin dengan insiden tersebut. Apalagi, kekerasan dilakukan tiga santri senior anggota Organisasi Santri Ta’mirul Islam (OSTI) atau setingkat Organisasi Intra Sekolah (OSIS) di sekolah umum.
”Yang pelaku sudah kami kembalikan ke keluarganya atau dikeluarkan. Dua orang lainnya kami karantina karena mereka ikut menyidang adik-adik santri. Ini biar adik-adik santri tidak trauma,” kata Wazir.
Selain itu, Wazir menyebutkan, pihaknya juga membekukan kepengurusan OSTI. Selama ini, mereka diberi tugas untuk ikut mengawasi aktivitas keseharian santri lebih muda. Pengurus ponpes lalu mengirimkan sejumlah ustadz untuk menjadi pengawas pondok.