Kegalauan Buruh Majalengka Hadapi Upah Minimum dan Ancaman PHK
Buruh di Majalengka, Jawa Barat, menanti kenaikan upah dengan cemas. Kehidupan yang semakin tidak mudah membuat mereka khawatir bakal semakin terpuruk.
Potensi kenaikan upah minimum 2023 yang tak seberapa dan ancaman pemutusan hubungan kerja menghantui buruh di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Mereka kini menuntut pemerintah menjamin kesejahteraan pekerja di tengah ketidakpastian perekonomian global.
Kegalauan atas upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan pemutusan hubungan kerja (PHK) itu membawa ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Majalengka, Jawa Barat, Rabu (16/11/2022). Di bawah terik matahari siang, mereka berorasi dan bernyanyi.
Di antara riuh pengeras suara, Yeti Nuryeti (34), buruh dari pabrik sepatu di Jatiwangi, Majalengka, terdiam. Kepalanya sedang memikirkan UMK tahun depan. Jika merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, katanya, kenaikannya hanya 3,7 persen.
Artinya, penambahan upahnya sebulan hanya Rp 75.000. Jika dibagi 25 hari kerja, buruh hanya dapat Rp 3.000 per hari.
Angka itu jauh di bawah harga bakso goreng yang berkisar belasan ribu rupiah. Baginya, UMK Majalengka Rp 2.027.619 per bulan tahun 2022 belum cukup.
”Kebutuhan keluarga per hari saja Rp 100.000. Dengan gaji segitu, dalam sebulan saya sudah minus sekitar Rp 1 juta,” ujar ibu tiga anak ini. Ia memerinci, biaya transportasi dan jajan kedua anaknya di sekolah dasar dan seorang di taman kanak-kanak saja menghabiskan Rp 60.000 per hari.
Ongkos bensin dan makannya juga meningkat dari sebelumnya Rp 10.000 menjadi Rp 15.000 per hari. Maklum, harga bahan bakar minyak (BBM) naik beberapa bulan lalu. Kadang, Yeti yang masuk kerja pukul 07.30 harus lembur hingga sekitar pukul 19.00 demi Rp 34.000.
Belum lagi, biaya listrik sekitar Rp 150.000 per bulan hingga cicilan sepeda motor Rp 600.000 per bulan. Untungnya, suaminya bekerja di perusahaan travel sehingga masih ada pendapatan lain. Namun, usaha tersebut banyak saingan dan sempat terpukul pandemi Covid-19 dua tahun terakhir.
Itu sebabnya ia terpukul jika kenaikan UMK tahun depan hanya 3,7 persen. Apalagi, UMK di ”Kota Angin” itu tahun ini terendah keenam dari 27 kabupaten/kota di Jabar. UMK Majalengka hanya selisih Rp 175.610 dari UMK terbuncit, yakni Kota Banjar Rp 1.852.009 per bulan.
Upah minimum di Majalengka dua kali lipat lebih rendah dibandingkan dengan UMK tertinggi di Jabar, yakni Bekasi dengan Rp 4,8 juta per bulan. Padahal, kabupaten berpenduduk 1,2 juta jiwa itu mulai menjadi daerah industri seperti Bekasi. Industri tekstil, garmen, dan sepatu bermunculan.
Baca Juga: Angan Petani dan Perajin Pindang Majalengka kepada Puan
Ancaman PHK
Akan tetapi, alih-alih memimpikan upah sebesar buruh di kawasan industri, Yeti malah menghadapi masalah UMK murah dan ancaman PHK.
”Kata bagian manajemen pabrik, orderan sudah turun 40 persen. Makanya, kami juga lumayan waswas dengan isu resesi global,” ujarnya.
Sejumlah departemen di tempatnya bekerja juga dibubarkan untuk efisiensi. Namun, kata Yeti, sekitar 5.200 buruh masih bekerja di pabrik.
”Alhamdulillah, belum ada yang dirumahkan. Saya juga lagi menelusuri, benar enggak orderan berkurang 40 persen?” ucapnya.
Yeti mempertanyakan isu PHK dan resesi global di tengah tuntutan kenaikan upah. Apalagi, ia mendengar ada pabrik garmen di Majalengka yang buka lowongan untuk 1.000 pekerja.
”Kenaikan upah itu hak kami, tidak melihat sekarang bagaimana kondisinya,” ujarnya.
Ade Taufik, Ketua Bidang Advokasi Pengurus Cabang Aneka Industri (PC AI) FSPMI Majalengka, menilai, harapan buruh agar upahnya melonjak kerap terkendala. Dua tahun lalu, pandemi Covid-19 jadi hambatan. Kini, resesi global hingga perang Ukraina dengan Rusia jadi alasan.
Padahal, harga sejumlah kebutuhan pokok dan BBM naik terus. ”Apakah pemerintah bisa menjamin tidak ada kenaikan minyak (BBM) satu tahun? Namanya saja Pertamina, per tahun minyak naik. Memang ada bantuan Rp 600.000 (untuk 3 bulan), tetapi itu tidak cukup,” ujarnya.
Ketua PC AI FSPMI Kabupaten Majalengka Ricky Sulaeman mendesak Pemkab Majalengka mengusulkan UMK 2023 sebesar Rp 2.281.071 per bulan sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan UMK berdasarkan PP No 36/2021 yang hanya 3,7 persen tidak lagi relevan.
Regulasi itu juga tidak lagi bisa menjadi payung hukum terkait penetapan UMK. Sebab, regulasi itu mengacu pada Undang-Undang (UU) No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
”Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional,” ucapnya.
Wakil Bupati Majalengka Tarsono Mardiana telah membuat surat usulan UMK 2023 sesuai tuntutan buruh dan akan dikirimkan kepada Dewan Pengupahan Majalengka dan Jabar.
”Tapi, memang agak sulit. Kalaupun tidak 100 persen (terpenuhi), tetap ada perubahan,” ujarnya.
Tidak baik
Menurut dia, keputusan UMK tidak tunggal dari pemkab, tetapi harus sesuai persetujuan pengusaha, buruh, dan pemprov. Ia meminta buruh memahami keadaan sejumlah perusahaan yang operasionalnya terganggu.
”Kondisinya memang tidak baik-baik saja,” ucapnya.
Seperti dilaporkan sebelumnya, selama periode Januari hingga Oktober 2022 sejumlah pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jabar berhenti beroperasi. PHK mencapai 70.000 orang. Pemicunya, pelemahan pasar ekspor dan gempuran produk impor tekstil ke pasar domestik.
Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jabar Yan Mei mengemukakan, PHK dan putus kontrak terjadi di 14 kabupaten/kota di Jabar. Penurunan pesanan mencapai 40-70 persen sejak Mei 2022 hingga tahun depan. Volume pengurangan karyawan dan putus kontrak dikhawatirkan terus bertambah (Kompas, 3/11/2022).
Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah Majalengka Nana Sujana belum menerima laporan PHK. Terdapat sekitar 280 perusahaan kecil hingga besar dengan jumlah pekerja 54.000 orang di Majalengka.
Meski demikian, Nana mengakui, sejumlah perusahaan menghentikan kontrak pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Namun, pihaknya tak tahu angka pastinya. ”PHK itu kebijakan perusahaan. Kami meminta perusahaan mengoptimalkan potensinya,” katanya.
Selain mendorong tidak ada PHK, ia juga berharap buruh tidak memaksakan kenaikan upah yang besar. Sebab, upah menjadi pertimbangan para investor yang ingin menciptakan lapangan kerja. UMK yang jauh lebih rendah dari Bekasi menjadi alasan pabrik menjamur di Majalengka.
Apalagi, infrastruktur di daerah yang dikenal sebagai ”kota pensiun” itu mendukung investasi. Misalnya, Bandara Internasional Jabar Kertajati dan Tol Cikopo-Palimanan. Pemkab juga menyiapkan klaster TPT di lahan 125 hektar di Desa Palasah dan Mekarjaya, Kertajati.
”Iklim investasi harus dijaga. Jangan sampai terganggu,” ucapnya. Data sementara realisasi investasi penanaman modal dalam negeri sektor industri tekstil di Majalengka tahun 2014-2022 tercatat Rp 99 miliar. Realisasi penanaman modal asing di periode itu mencapai Rp 1,4 triliun.
Majalengka jelas ingin lebih dari sekadar tempat bagi ”pensiunan”. Ada banyak orang yang berharap sejahtera bukan hanya menatap senja.
Baca Juga: Integrasi Tol dan Bandara Kertajati Picu Pengembangan Kawasan Rebana