Pegiat Lingkungan di Sumut Sebut G20 Tidak Hasilkan Perubahan Berarti Mengatasi Krisis Iklim
Pegiat lingkungan yang berunjuk rasa di Medan menyebut KTT G20 di Bali tidak membawa perubahan berarti pada krisis iklim. Mereka mendorong percepatan pemberhentian dini PLTU batubara yang dinilai masih setengah hati.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sejumlah pegiat lingkungan dari sejumlah organisasi di Medan, Sumatera Utara, menyebut Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, 15-16 November, tidak membawa perubahan berarti untuk mengatasi krisis iklim. Mereka mendorong percepatan pemberhentian dini pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.
Para pegiat lingkungan dari Yayasan Srikandi Lestari, Extinction Rebellion (XR) Medan, dan sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus menyampaikan hal tersebut saat unjuk rasa di Jalan Balai Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis (17/11/2022). Mereka menyebut, krisis iklim sudah menjadi ancaman yang sangat nyata bagi masyarakat, tetapi tidak ada solusi konkret yang dihasilkan dari negara-negara G20.
”Negara-negara anggota G20 adalah penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Namun, dalam pertemuan G20 tidak ada solusi konkret untuk mengatasi krisis iklim,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti.
Aksi unjuk rasa itu diikuti belasan orang dengan membentangkan poster-poster di depan Kantor Pos Besar Medan di tengah hujan. Poster berlatar hitam itu, antara lain, bertuliskan sejumlah pesan ”Pulihkan lingkungan hidup sekarang” dan ”Batu bara membunuh ayo beralih ke energi terbarukan”.
Mereka mengangkat poster ke arah pengendara yang memadati Jalan Balai Kota saat jam pulang kerja. Sejumlah pengendara tampak memberikan apresiasi dengan mengangkat jempol.
Sumiati mengatakan, salah satu komitmen yang harus ditagih dari negara anggota G20 adalah pemberhentian dini PLTU batubara di negara masing-masing, termasuk Indonesia. Beberapa skema pendanaan untuk pemberhentian dini PLTU pun telah dibuat.
Skema itu, antara lain, pendanaan transisi energi global, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Climate Investment Funds (CIF), dan Energy Transition Mechanism (ETM). ”Pendanaan ini bertujuan mendukung pemensiunan dini PLTU batubara, penutupan tambang batubara, dan percepatan pengembangan energi terbarukan. Namun, pelaksanaannya masih minim,” kata Sumiati.
Sumiati menyebut, Indonesia pun telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. “Dalam aturan itu disebut akan dibuat peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, tetapi masih diberi ruang membangun PLTU baru meskipun syaratnya diperketat,” kata Sumiati.
Cindy Cilviana Sihotang dari Extinction Rebellion (XR) Medan mengatakan, Indonesia hanya memensiunkan PLTU batubara yang memang masa operasionalnya sudah habis. Hampir tidak ada PLTU yang diberhentikan dini sehingga konsumsi batubara Indonesia masih tinggi.
Di Sumut, dampaknya pun sudah dirasakan oleh warga di sekitar PLTU Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat. Masyarakat di sekitarnya mengalami berbagai jenis penyakit, seperti gatal-gatal, kulit melepuh, dan infeksi saluran pernapasan atas. Sektor ekonomi juga sangat terdampak karena kerusakan laut akibat limbah batubara. Hasil tangkapan nelayan menurut dan pertanian pun merosot sejak PLTU beroperasi pada 2016.
Peran G20 mitigas krisis iklim
Dalam artikel berjudul ”Peran G20 dalam Mitigasi Krisis Iklim Global” di rubrik Riset Kompas.id, Kamis (17/11/2022), disebutkan, setidaknya ada tiga target prioritas G20 tahun ini, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi berkelanjutan.
Penambahan emisi karbon kelompok G20 disebut sangat besar. Pada 2020, sekitar 84 persen dari total 35,26 miliar ton emisi karbon yang tercatat di seluruh dunia disumbang negara anggota G20. Sebanyak 29 miliar ton di antaranya disumbang dari buangan energi fosil, industri, penggunaan lahan, dan lain sebagainya.
Selama empat dekade terakhir ada tiga negara G20 yang memiliki tren kenaikan emisi karbon lebih dari 60 persen. Negara itu adalah China dengan peningkatan emisi karbon 70,08 persen, Indonesia 63,11 persen, dan India 62,16 persen. Periode kenaikan terbesar gas rumah kaca (GRK) tersebut muncul antara tahun 1990 dan 2010.