Menyeduh Kopi Rumahan, Menangkap Cuan
Selain "ngopi" di kedai kopi, kini muncul tren penyeduh kopi rumahan atau "home brewer". Tren ini menambah peluang meraup cuan dari harum dan nikmatnya kopi.
Tren ngopi yang tumbuh di berbagai kalangan, tidak hanya memunculkan kedai-kedai kopi baru di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tetapi juga "home brewer" atau para penyeduh kopi rumahan yang kini dilirik karena membuka peluang meraup cuan.
Pukul 13.30 Wita, Latif Arief Rahadi (27) keluar dari ruang roasting atau sangrai kopi Rota Kopi Roaster di kawasan Jalan Catur Warga, Kota Mataram, Kamis (17/11/2022). Ia terlihat membawa kopi dalam kemasan berukuran 200 gram hingga 1 kilogram.
"Coffee roaster" atau tukang sangrai kopi itu, kemudian meletakkan kopi-kopi kemasan itu pada rak di ujung barat lobi kedai Rota Kopi. Ia meletakkannya secara terpisah yakni ukuran 1 kilogram di bagian paling atas dan bawah, serta 200 gram di tengah.
Agar menarik, ia memposisikan label kemasan ke arah tempat duduk pengunjung. Pada label, tertulis asal biji kopi seperti Semendo, Arjuna, Bali Plaga, Java Halu, hingga Aceh Bener Meriah. Setiap kemasan juga memiliki info tentang proses kopi dari full wash, organic natural, mix variety, hingga anaerobic natural.
Menurut Latif, ia rutin menyangrai kopi setiap hari dari Senin sampai Jumat. Hal itu karena kopi hasil sangrai mereka terus dicari. Baik oleh kedai kopi lain, juga tamu terutama wisatawan yang mampir ke Rota Kopi sebagai oleh-oleh. “Selain itu, banyak juga home brewer atau penyeduh kopi rumahan yang membeli kopi ini,” kata Latif.
Belakangan, penyeduh kopi rumahan memang terus tumbuh. Tidak hanya di Lombok, tetapi berbagai wilayah di Indonesia. Mereka tidak lagi sebatas menyeduh kopi secara tubruk (kopi dengan air panas saja), tetapi menggunakan peratalan khusus.
Ali Rahman (26) yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi NTB, setiap tiga minggu sekali membeli kopi sangrai baru antara 150-200 gram.
Ali mulai menjadi penikmat kopi sejak 2018 saat masih tingga di Jakarta. Dari semula rutin ke kedai kopi, ia memutuskan menjadi penyeduh kopi rumahan.
Baca juga : Ramai-ramai Jadi Turis di Kota Sendiri
“Selama satu bulan sejak diperkenalkan kopi tanpa gula, saya rutin ke kedai kopi. Tetapi satu bulan, pengeluarannya cukup besar. Akhirnya, saya belajar menyeduh kopi di rumah dengan belajar dari Youtube,” kata Ali yang kini sudah tinggal di Mataram.
Menurut Ali, ia awalnya membeli peralatan seperti penggiling, v60 dripper, dan teko. Saat kembali ke Mataram pada 2019, ia membeli timbangan. “Kata teman sesama pecinta kopi, kalau tidak pakai timbangan, hasil seduhnya kurang maksimal,” kata Ali.
Ali yang sesekali masih ke kedai kopi mengatakan, ia kini menyisihkan anggara khusus untuk membeli biji kopi. Khususnya arabika yang lebih cocok untuk penyeduh kopi rumahan. Ia memesan kopi arabika asal luar daerah.
“Kopi lokal juga sebenarnya enak. Tetapi khusus arabika, susah dapatnya. Jadi sementara membeli kopi arabika luar misalnya Sumatera, Jawa, atau Sulawesi,” kata Ali.
Baca juga : Geliat Kota
Penyeduh kopi rumahan seperti Ali, kemudian dilihat pelaku usaha kopi sebagai peluang. Tidak hanya kedai kopi, tetapi juga orang per orang. Mereka membeli biji kopi, menyangrai, hingga mengemasnya untuk dijual kembali. Bentuknya bisa berupa biji kopi yang disangrai (roasted bean) juga bubuk.
Sopian Hadi (33), warga Desa Beririjarak, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat misalnya, bisa menjual sekitar 10 kilogram per bulan kopi bubuk. Baik robusta maupun arabika. Pembeli kopi dengan merek Kopi Rau itu, selain kedai kopi, juga banyak pribadi.
“Setahun terakhir memang terasa meningkat pesanan. Baik robusta maupun arabika. Selain cita rasa dari semua proses, harga jual saya juga murah. Kadang, ada satu orang pesan, berikutnya datang tiga pembeli lain,” kata Sopian.
Selain wilayah Lombok Timur, Sopian juga memasok kopi untuk wilayah Mataram. Juga mengirim keluar NTB. Untuk robusta, ia menjual dengan harga Rp 25.000 perbungkus ukuran 160 gram. Sementara arabika, dijual Rp 30.000 per 100 gram.
“Tidak hanya kopi yang diproses cepat, kopi yang harus difermentasi dalam waktu lama sekitar 1,5 bulan pun laris. Bahkan, sekarang ada yang beberapa yang sudah pre-order. Baik kedai kopi, maupun personal. Khusus personal, alasannya penasaran mencoba kopi dengan proses lama,” kata Sopian.
Peluang dari penyeduh kopi rumahan tidak hanya dilakukan Sopian yang telah terjun ke bisnis kopi sejak 2018 lalu. Para pemain baru juga muncul dari kalangan lain dan melirik bisnis ini. Termasuk mahasiswa seperti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram.
Mereka mengusung merek Salon Coffee sebagai produk utama. Selain kopi, mereka juga membuat cascara tea (teh dah kulit kopi). Rahmat Eriyandi Hidayat (21) mengatakan, usaha itu dijalankan bersama beberapa rekannya dari satu kampus yang sama yakni Ahmad Syiddiq Hidayat (21), Afansyah Arrahman (21), Izani Maulana (20), dan Feri Gusriyadi (22).
Menurut Rahmat, usaha itu berawal dari keterlibatan mereka di program Institutional Support System-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (ISS-MBKM) di Lombok Utara. Mereka meneliti tentang kopi menyangkut biji kopi dan kulit kopi, kulit kopi terpermentasi, biji kopi terpermentasi, hingga biji kopi terpermentasi cita rasa buah.
Dari penelitian itu, mereka menemukan jika kopi tidak hanya bisa diproses dengan teknik pada umumnya. Dapat juga menambahkan cita rasa buah seperti nanas, jambu biji, dan pepaya.
“Sebenarnya masih dalam tahap penelitian untuk fermentasi cita rasa buah. Sehingga belum kami produksi. Tetapi dari hasil sementara, memang muncul,” kata Rahmat.
Meski demikian, kata Rahmat, mereka berencana memproduksinya jika sudah selesai. Dengan begitu, para penikmati kopi, termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah bisa menikmati kopi dengan cita rasa premium.
“Selama ini, kopi-kopi dengan proses permentasi jangka panjang hanya bisa dinikmati jika ke kedai-kedai kopi. Harganya juga tinggi. Jika kami bisa memproduksi kopi permentasi buah dalam jumlah besar, tentu masyarakat umum juga akan menikmatinya dengan murah,” kata Rahmat.
Sambil menunggu, mereka telah mulai memproduksi kopi dengan proses umum. Bahan kopi mereka peroleh dari Senaru dan Sajang baik arabika maupun robusta. “Prosesnya, termasuk roasting di Senaru. Selanjutnya kami bawa ke Mataram untuk digiling dan dikemas,” kata Rahmat.
Kami bergerak sambil kuliah. Tetapi setelah lulus, kami akan fokus ke sini. Apalagi potensi pasarnya besar karena semakin banyak orang suka ngopi
Meski baru sekitar dua bulan dengan produksi 20 kilogram biji kopi, minatnya telah ada. Beberapa bungkus kopi yang dijual mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 25.000 tergantung berat itu, sudah laku.
“Kami bergerak sambil kuliah. Tetapi setelah lulus, kami akan fokus ke sini. Apalagi potensi pasarnya besar karena semakin banyak orang suka ngopi,” kata Rahmat yang mulai menanam kopi di lahan 80 are miliknya di Lombok Timur.
Tantangan
Menurut Sopian, munculnya pengolah baru menjadi tantangan. Baik skala besar maupun kecil. Sehingga ia berusaha menjaga kualitas produk, ditambah promosi maksimal lewat media sosial dan lokapasar.
“Lainnya adalah masalah pasokan. Khususnya arabika yang pembudidayanya sedikit. Bahkan, sudah ada yang dibeli dengan sistem ijon saat masih dalam bentuk bunga,” kata Sopian.
Mensiasati hal itu, kata Sopian, ia kini membudidayakan sendiri kopi arabika Beririjarak dengan branding Kopi Rau. Dengan begitu, ia bisa terus memasok kopi untuk konsumen khususnya penyeduh kopi rumahan.
Sebagai komoditas penting, kopi mampu memunculkan usaha-usaha sepanjang rantai produksinya dari hulu hingga ke hilir. Tinggal sekarang, kejelian masyarakat untuk menangkap peluang. Tidak harus pada skala besar seperti kedai kopi atau roastery, penyeduh kopi rumahan juga bisa cuan.