Film Dokumenter, Energi Baru Perjuangan Warga Menolak Tambang di Dairi
Film dokumenter ”Mereka Menyebut Kami Ring 1” menjadi energi baru perjuangan warga menolak pertambangan seng di Dairi, Sumut. Film itu menggambarkan warga hidup harmonis dari hasil hutan, tapi kini terancam tambang.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
SIDIKALANG, KOMPAS — Film dokumenter berjudul Mereka Menyebut Kami Ring 1 menjadi energi baru perjuangan warga menolak pertambangan seng di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Film itu menggambarkan bagaimana warga hidup harmonis dari hasil hutan dan pertanian selama turun-temurun, tapi kini harus terancam terkena dampak negatif dari aktivitas tambang.
Film dokumenter berdurasi 13 menit 16 detik itu digarap oleh warga yang tergabung dalam Organisasi Marsitoguan Desa Bongkaras, Yayasan Petrasa, dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK). Film yang disutradarai Jupri Siregar itu diluncurkan di Sidikalang, ibu kota Dairi, Selasa (15/11/2022).
Film itu dibuka dengan aktivitas sehari-hari masyarakat di desa yang berbatasan langsung dengan lokasi tambang seng milik PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang saat ini dalam tahap eksplorasi. Warga memanen gambir, durian, jeruk purut, kapulaga, ikan, dan pergi ke sawah. Sementara anak-anak berangkat ke sekolah di pagi hari.
”Selama ini, kami hidup dari pertanian dan hasil hutan yang selaras dengan alam. Kami makan, menyekolahkan anak, dan melaksanakan upacara adat semuanya dari hasil pertanian dan hutan. Sekarang, kehidupan kami terancam oleh kehadiran pertambangan,” kata Marlen Girsang (48), warga Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-Pungga.
Film itu juga memotret dari udara posisi area pertambangan yang berada di tengah hutan lindung yang merupakan hulu sumber air untuk permukiman dan desa. Gudang bahan peledak pun berbatasan langsung dengan ladang dan permukiman masyarakat di Desa Longkotan. Bendungan penampung limbah dibuat di atas permukiman.
Ridwan Samosir dari Yayasan Petrasa mengatakan, film dokumenter itu menjadi energi baru perjuangan masyarakat dalam menolak pertambangan di Dairi. Sebelumnya, masyarakat bersama sejumlah organisasi advokasi sudah melakukan berbagai upaya hukum, unjuk rasa, hingga melakukan penelitian tentang dampak dari tambang.
Kami makan, menyekolahkan anak, dan melaksanakan upacara adat semuanya dari hasil pertanian dan hutan.
Warga, misalnya, sudah melayangkan gugatan keterbukaan informasi publik terhadap kontrak karya PT DPM dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Nomor 039/VIII/KIP-PS-A/2019 tanggal 20 Januari 2022 menyatakan, kontrak karya antara PT DPM dan pemerintah adalah informasi terbuka.
Akan tetapi, Kementerian ESDM tetap tidak membuka dokumen kontrak karya tersebut dan mengajukan banding. Di tingkat banding, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menguatkan putusan itu pada Juli 2022. Namun, Kementerian ESDM tetap berusaha menutup rapat kontrak karyanya dengan PT DPM. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan saat ini sedang menunggu putusan.
Warga juga sedang bersiap menggugat izin lingkungan PT DPM yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, mereka masih menunggu salinan resmi izin lingkungan PT DPM yang hingga kini juga belum diberikan KLHK.
Ketua Perhimpunan Penyuluh Pertanian Sumatera Utara Soekirman mengatakan, banyak pertambangan di sejumlah negara yang akhirnya merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, pertambangan dinilai hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan yang menambang.
Soekirman yang merupakan mantan Bupati Serdang Bedagai itu mengatakan, seharusnya Pemerintah Kabupaten Dairi duduk bersama dan berpihak pada rakyat.
Namun, Direktur YDPK Sarah Naibaho menyebut, Pemkab Dairi justru melakukan kampanye dan sosialisasi bahwa pertambangan membawa kesejahteraan dan membuka lapangan kerja. ”Pemkab juga menyebut bahwa pertanian tidak akan memajukan ekonomi. Sementara, selama ini, ekonomi Dairi ditopang sektor pertanian,” katanya.
Sebelumnya, ketika dihubungi Kompas, External Relations Advisor PT DPM, Agung Wibowo, mengatakan, PT DPM menghargai aspirasi masyarakat, baik yang menolak maupun mendukung keberadaan pertambangan. ”Di lapangan saat ini sama sekali tidak ada kegiatan, hanya pemeliharaan dan kontrol,” kata Agung.
Agung menambahkan, PT DPM mempertimbangkan semua aspirasi masyarakat serta kondisi lingkungan hidup di Dairi. Ia menyebut, gudang bahan peledak yang ada saat ini bersifat sementara dan belum pernah digunakan. ”Kami akan memindahkannya ke tempat yang jauh dari permukiman dan aman,” katanya.
Untuk bendungan limbah, kata Agung, perusahaan akan mengedepankan keamanan dan keselamatan warga. PT DPM pun mempertimbangkan berbagai opsi, seperti memperkecil kapasitas bendungan dan penggunaan teknologi yang lebih aman agar bendungan limbah lebih tahan. Konstruksi bendungan juga akan dikontrol langsung oleh pemerintah.