Warga Kembali Berunjuk Rasa Tolak Tambang Seng dan Timbal di Dairi
Warga kembali berunjuk rasa menolak keberadaan tambang seng dan timbal PT Dairi Prima Mineral di Dairi. Pembukaan kawasan hutan lindung, pembangunan gudang bahan peledak, dan bendungan limbah mengancam keselamatan warga.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
SIDIKALANG, KOMPAS — Warga kembali berunjuk rasa menolak keberadaan tambang seng dan timbal di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Selasa (1/11/2022). Pembukaan kawasan hutan lindung, pembangunan gudang bahan peledak, dan bendungan limbah dinilai mengancam keselamatan warga. Perusahaan menyebut masih menghentikan kegiatan perusahaan untuk sementara.
Rohani Manalu, perwakilan masyarakat dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, mengatakan, warga yang tergabung dalam Aliansi Petani Dairi Untuk Keadilan (APUK) berunjuk rasa ke Kantor DPRD dan Kantor Bupati Dairi.
Rohani mengatakan, mereka meminta kegiatan tambang milik PT Dairi Prima Mineral (DPM) itu berhenti total karena dinilai mengancam keselamatan warga dan merusak lingkungan hidup. Sejak ada aktivitas perusahaan, hasil pertanian dari daerah sekitar tambang pun disebut menurun drastis.
Rohani mengatakan, perusahaan sudah melakukan aktivitas sejak beroperasi pada 2017, seperti eksplorasi, pembangunan bendungan limbah, dan pembangunan gudang bahan peledak. Masyarakat pun sudah mulai merasakan dampaknya berupa kerusakan lingkungan dan penurunan hasil pertanian.
Pembangunan tambang itu digagas sejak tahun 2005 dan langsung mendapat penolakan keras dari masyarakat. Pembangunannya kemudian berhenti total pada 2012 hingga 2017 karena penolakan itu. Namun, pembangunan dilanjutkan pada 2017.
Rohani mengatakan, berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk menghentikan pertambangan seng. Mereka sudah melayangkan gugatan keterbukaan informasi publik terhadap kontrak karya antara PT DPM dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Nomor 039/VIII/KIP-PS-A/2019 tanggal 20 Januari 2022 pun menyatakan, kontrak karya antara PT DPM dan pemerintah adalah informasi terbuka.
Akan tetapi, Kementerian ESDM tetap tidak membuka dokumen kontrak karya tersebut dan melakukan banding. Di tingkat banding, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pun menguatkan putusan itu pada Juli 2022.
”Namun, Kementerian ESDM tetap berusaha menutup rapat kontrak karyanya dengan PT DPM. Mereka juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan saat ini kami menunggu putusannya,” kata Rohani.
Rohani mengatakan, mereka juga sedang bersiap menggugat izin lingkungan PT DPM yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, mereka masih menunggu salinan resmi izin lingkungan PT DPM.
”Kami sudah mengajukan permohonan kepada KLHK untuk mendapat salinan itu, tetapi hingga kini belum diberikan,” kata Rohani.
Ungkap Napitupulu, warga Desa Pandiangan, Kecamatan Laeparira, mengatakan, gudang bahan peledak yang sudah dibangun berada sangat dekat dengan permukiman. Bendungan limbah pun dibuat di hulu permukiman yang dikhawatirkan rentan jebol karena berada di kawasan rawan gempa.
”Bendungan limbah di hulu desa itu seperti bom waktu yang kapan saja bisa jebol dan mengempas permukiman warga. Kami setiap saat selalu khawatir,” kata Ungkap.
Ekternal Relations Advisor PT DPM Agung Wibowo menghargai aspirasi masyarakat baik yang menolak maupun mendukung keberadaan pertambangan. ”Di lapangan saat ini sama sekali tidak ada kegiatan, hanya pemeliharaan dan kontrol,” kata Agung.
Agung mengatakan, mereka mempertimbangkan semua aspirasi masyarakat. Ia menyebut, gudang bahan peledak yang ada saat ini bersifat sementara dan belum pernah digunakan. ”Kami akan memindahkannya ke tempat yang jauh dari permukiman dan aman,” katanya.
Untuk bendungan limbah, kata Agung, mereka akan mengedepankan keamanan dan keselamatan warga. Mereka mempertimbangkan berbagai opsi, seperti memperkecil kapasitas bendungan dan penggunaan teknologi yang lebih aman agar bendungan limbah lebih tahan. Konstruksi bendungan juga akan dikontrol langsung oleh pemerintah.