Empat Terdakwa Kasus Kerangkeng Langkat Dituntut Tiga Tahun, Termasuk Anak Bupati Nonaktif
Empat terdakwa penganiayaan hingga meninggal di kerangkeng rumah Bupati Langkat nonaktif dituntut 3 tahun penjara. Jaksa menuntut dengan Pasal 351 KUHP, tidak menggunakan Pasal 170 dengan ancaman 12 tahun.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
STABAT, KOMPAS — Empat terdakwa kasus penganiayaan hingga tewas di kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin dituntut 3 tahun penjara. Jaksa hanya menuntut dengan Pasal 351 KUHP, tidak menggunakan Pasal 170 KUHP yang didakwakan sejak awal dengan ancaman jauh lebih tinggi maksimal 12 tahun.
Pasal 351 KUHP mengatur tentang penganiayaan. Jika menyebabkan meninggal, pelaku diancam paling lama 7 tahun penjara.
Adapun Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama. Jika menyebabkan meninggal, pelaku diancam 12 tahun penjara.
Tuntutan itu dibacakan jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Langkat, Baron Sidik, di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Stabat yang diketuai Halida Rahardhini, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Senin (14/11/2022).
Tuntutan itu didengarkan empat terdakwa yang ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Medan melalui sambungan video konferensi. Hadir pengacara para terdakwa di PN Stabat.
Empat terdakwa dituntut dalam dua berkas berbeda. Dewa Perangin-Angin (anak Terbit) dan Hendra Surbakti dituntut atas penganiayaan yang menyebabkan kematian penghuni kerangkeng, yakni Sarianto Ginting. Kerangkeng itu bagian dari panti rehabilitasi narkoba ilegal di rumah pribadi Terbit.
Hermanto Sitepu dan Iskandar Sembiring dituntut pasal yang sama atas penganiayaan yang menyebabkan kematian penghuni kerangkeng Abdul Sidik Isnur.
Mereka dituntut Pasal 351 Ayat (3) juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. ”Hal yang meringankan, terdakwa tidak pernah dihukum, para terdakwa telah membayar restitusi ganti rugi kematian Rp 265 juta (Rp 530 juta untuk dua korban meninggal), para terdakwa menyesali perbuatannya, dan ahli waris keluarga korban telah memaafkan para terdakwa,” kata Baron.
Jaksa mengatakan, hal yang memberatkan, para terdakwa menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Baron mengatakan, terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak atau menderita rasa sakit atau luka dan merusak kesehatan orang lain yang menyebabkan mati.
Sementara itu, empat terdakwa lain, yakni Terang Ukur Sembiring, Junalista Surbakti, Suparman Perangin-Angin, dan Rajisman Ginting, belum dibacakan tuntutannya. Jaksa menyebut, mereka akan membacakan tuntutan pada Kamis (17/11).
Mereka sebelumnya didakwa melanggar Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Halida mengatakan, tuntutan empat orang lainnya harus dibacakan pada Kamis ini. Setelah itu, majelis hakim memberi kesempatan kepada para terdakwa menyampaikan nota pembelaan. Saat ditanya Halida apakah ada tanggapan terhadap tuntutan itu, para terdakwa menyebut tidak ada.
Tuntutan ringan
Adapun Terbit belum menjalani sidang pada kasus penganiayaan atau perdagangan orang. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu. Namun, Terbit sudah dijatuhi vonis 9 tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terbit terbukti korupsi proyek infrastruktur dan pendidikan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Langkat.
Menanggapi tuntutan jaksa, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan Irvan Saputra menyesalkan langkah jaksa yang menghapus Pasal 170 KUHP dari tuntutannya. ”Sejak awal jaksa sudah mendakwa dengan Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman yang jauh lebih tinggi, yakni 12 tahun penjara. Mengapa di tahap tuntutan pasal itu justru dihapus,” kata Irvan.
Irvan menyebut, penghapusan Pasal 170 dari tuntutan jaksa membuat jaksa hanya menuntut dengan pasal penganiayaan yang jauh lebih ringan, yakni Pasal 351. Padahal, menurut Irvan, fakta persidangan menunjukkan penganiayaan dilakukan secara bersama-sama sehingga seharusnya pasal yang lebih tepat adalah Pasal 170 KUHP. Irvan menegaskan, pemberian restitusi juga tidak bisa menjadi alasan menerapkan pasal yang lebih ringan.