Menolak Tambang di Dairi dengan Menjaga Hubungan Sosiologis Masyarakat dengan Tanahnya
Hasil penelitian Sajogyo Institute menunjukkan hubungan sosiologis masyarakat Dairi dengan tanahnya bisa menjaga kelestarian lingkungan dan ekonomi. Sebaliknya, pertambangan merusak tatanan sosial masyarakat Dairi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
SIDIKALANG, KOMPAS – Hasil penelitian Sajogyo Institute menunjukkan hubungan sosiologis masyarakat Dairi dengan tanahnya bisa menjaga kelestarian lingkungan hidup dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Menjaga hubungan sosiologis juga disebut sebagai bentuk penolakan terhadap pertambangan.
”Salah satu cara menolak tambang adalah dengan menggali ingatan masyarakat pada hubungan sosiologisnya dengan tanahnya. Beberapa ritual penghormatan masyarakat pada tanahnya mulai hilang dan ini harus dikembalikan,” kata peneliti Sajogyo Institute, M Ali Rahangiar, dalam diseminasi hasil penelitiannya bersama peneliti Achmad Ridlo Irwafa, Senin (14/11/2022).
Mereka memaparkan hasil penelitiannya secara daring dalam diseminasi yang dimoderatori oleh Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Tongam Panggabean, dengan penanggap pengajar Antropologi Universitas Sumatera Utara Lister Berutu dan pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB University M Shohibuddin, dan komisioner (terpilih) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Saurlin P Siagian.
Ali dan Ridlo menyebut, mereka melakukan penelitian kualitatif berjudul ”Orang Dairi dan Tanahnya, Suatu Penjelasan Sejarah dan Ekonomi Politik” pada Juli hingga Oktober 2022. Peneliti mewawancara secara mendalam warga yang tinggal di enam desa dan satu kelurahan di sekitar area eksplorasi tambang seng PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi.
Ali menyebut, tanah di Dairi awalnya dikuasai secara kolektif oleh marga-marga, didistribusikan di internal kekerabatan marga, dan diwariskan secara turun-temurun. Penghasilan masyarakat Dairi umumnya dari hasil hutan, seperti durian, kopi, petani, jengkol, kemiri, dan kakao.
Masyarakat Dairi terdiri dari masyarakat tempatan, yakni etnis Batak Pakpak dan masyarakat pendatang, yakni Toba, Karo, Simalungun, dan etnis lain. Ali menyebut, Dairi sudah sangat beragam sejak awal 1900-an. Sebagian besar masyarakat Dairi hingga sekarang hidup dari hasil hutan dan pertanian.
Namun, kata Ali, perubahan terjadi sejak PT Dairi Prima Mineral melakukan eksplorasi tambang seng sejak 2005. Masyarakat langsung menolak keras aktivitas pertambangan seng itu. Pembangunannya kemudian berhenti total pada 2012. Namun, aktivitas eksplorasi dilanjutkan pada 2017. Perusahaan itu pun telah melakukan konstruksi beberapa bangunan seperti gudang bahan peledak dan lain sebagainya.
Ali mengatakan, banjir bandang dan longsor semakin sering terjadi dengan dampak yang lebih besar sejak tahun 2018. Hasil pertanian dan hasil hutan yang dikelola masyarakat pun terus menurun. Di saat yang sama, masyarakat pun mulai melupakan hubungan sosiologisnya dengan tanah.
Lister mengatakan, kehadiran pertambangan memecah belah masyarakat Dairi sebagaimana terjadi juga di banyak daerah. Saat banyak masyarakat menolak keberadaan pertambangan di daerahnya, ada upaya untuk mengorganisasi masyarakat lain untuk mendukung pertambangan itu. ”Konflik pun terjadi di tengah masyarakat, baik di tingkat kampung maupun antarkomunitas marga,” kata Lister.
Penelitian tentang migrasi di Tanah Batak itu sebenarnya lebih mudah dilakukan karena masyarakatnya mengingat di mana kampungnya, siapa leluhurnya, dan dia generasi keberapa.
Lister mengatakan, konflik masyarakat sudah banyak sekali muncul di tahap eksplorasi pertambangan itu. Jika berlanjut hingga tahap eksploitasi, konflik pun diperkirakan akan meluas dan bisa merusak tatanan sosial masyarakat. ”Posisi saya secara pribadi tidak setuju dengan tambang itu,” kata Lister.
Sohibuddin mengatakan, terkait keberadaan tambang PT DPM, masyarakat Dairi pun mulai terbelah antara penduduk tempatan, yakni Pakpak yang dianggap mendukung tambang, dengan etnis pendatang, yakni Batak Toba yang dinilai menolak pertambangan. Konflik ini harus dihindarkan sejak awal agar tidak membesar dan meluas di Dairi.
Saurlin menyebut, penelitian itu menarik jika diperdalam untuk melihat bagaimana tata kelola lahan dilakukan di Dairi. Penelitian tentang migrasi atau asal-usul masyarakat Dairi juga perlu diperdalam.
”Penelitian tentang migrasi di Tanah Batak itu sebenarnya lebih mudah dilakukan karena masyarakatnya mengingat di mana kampungnya, siapa leluhurnya, dan dia generasi ke berapa,” kata Saurlin.
Sebelumnya, ketika dihubungi Kompas, External Relations Advisor PT DPM Agung Wibowo menghargai aspirasi masyarakat, baik yang menolak maupun mendukung keberadaan pertambangan. ”Di lapangan saat ini sama sekali tidak ada kegiatan, hanya pemeliharaan dan kontrol,” kata Agung.
Agung mengatakan, mereka mempertimbangkan semua aspirasi masyarakat dan lingkungan hidup di Dairi. Ia menyebut, gudang bahan peledak yang ada saat ini bersifat sementara dan belum pernah digunakan. ”Kami akan memindahkannya ke tempat yang jauh dari permukiman dan aman,” katanya.
Untuk bendungan limbah, kata Agung, mereka akan mengedepankan keamanan dan keselamatan warga. Mereka mempertimbangkan berbagai opsi, seperti memperkecil kapasitas bendungan dan penggunaan teknologi yang lebih aman agar bendungan limbah lebih tahan. Konstruksi bendungan juga akan dikontrol langsung oleh pemerintah.