Masjid Lautze 3, Wajah Keberagaman Muslim Tionghoa di Cirebon
Keberadaan Masjid Lautze 3 di Kota Cirebon menebalkan makna akulturasi dan keberagaman. Kehadirannya diwarnai kebaikan banyak pihak.
Shalat Jumat perdana di Masjid Lautze 3, Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (28/10/2022), berlangsung haru. Sejumlah jemaah keturunan Tionghoa berjabat tangan dan menitikkan air mata. Mereka mengenang perjuangan membangun masjid dan dukungan warga meski berbeda agama.
Tak terasa, pelupuk mata Harry Saputra Gani basah. Ketua Yayasan Haji Karim Oei Cirebon, pengurus Masjid Lautze, ini tak menyangka, jemaah memadati masjid yang berusia belum sepekan itu. Sekitar 100 warga shalat Jumat. Padahal, masjid dua tingkat itu hanya berkapasitas 80 orang.
Berada di antara rumah toko di Jalan Pekalipan, masjid itu memang lebih mirip ruko. Tidak ada menara tinggi dan kubah seperti masjid pada umumnya. Sepintas, masjid itu bak bangunan Tionghoa dengan perpaduan warna hijau, merah, dan kuning. Kaligrafinya juga khas dari China.
Tidak banyak yang tahu keberadaan masjid tersebut. Itu sebabnya, Harry mengira hanya segelintir orang yang berkunjung. Nyatanya, warga setempat hingga pengendara jalan singgah. Apalagi, pengelola masjid yang juga keturunan Tionghoa menyediakan nasi kotak bagi jemaah.
”Terharu juga, akhirnya bisa begini,” ucap Harry menyeka air matanya. Ia kembali mengingat perjuangan mendirikan Masjid Lautze Cirebon, cabang ketiga setelah Masjid Lautze 2 di Jalan Tamblong, Bandung, tahun 1997 dan Masjid Lautze 1 di Sawah Besar, Jakarta Pusat (1991).
Baca juga: Jatuh-Bangun Pemuda Cirebon Menjaga Nyala Toleransi
Semua masjid berada di bawah Yayasan Haji Karim Oei (YHKO). Haji Karim Oei atau Oei Tjen Hien adalah tokoh Islam keturunan Tionghoa yang dekat dengan mendiang proklamator Soekarno dan ulama Buya Hamka. Karim juga mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Akhir 1980-an, sejumlah tokoh dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, hingga Muslim keturunan Tionghoa mendirikan YHKO. Salah satu tujuannya, menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam. Caranya, antara lain, dengan mendirikan Masjid Lautze.
Selain tempat berdakwah, masjid itu juga menjadi wadah keturunan Tionghoa yang ingin tahu tentang Islam. Mereka, kata Harry, kerap sungkan dan takut belajar soal Islam di masjid yang pengelolanya bukan orang Tionghoa. Ini berbeda dengan Masjid Lautze yang berarti ”sang guru”.
Akan tetapi, pembangunan masjid cabang ketiga itu penuh rintangan. Harry dan sejumlah Muslim Tionghoa keliling kota mencari calon lokasi masjid. Pilihannya akhirnya jatuh di Jalan Pekalipan yang juga sentra pertokoan keturunan Tionghoa. ”Di RW 003 juga belum ada masjid,” ucapnya.
Berada di kawasan perdagangan, biaya sewa ruko di sana bisa mencapai Rp 100 juta per tahun. ”Awalnya kami bingung. Modal awal hanya Rp 15 juta bulan Agustus. Untungnya, Bu Haji, pemilik ruko, mengizinkan,” ucap Harry yang menjabat Ketua YHKO Cabang Cirebon pada Juli.
Masalah belum kelar. Renovasi ruko menjadi masjid terancam terhenti karena kekurangan uang. Namun, dalam hitungan jam, sejumlah donator menyumbang. Pembangunan berlanjut. ”Bahkan, tukangnya bilang, tenaganya enggak usah bayar. Pemborongnya juga nyumbang cat,” ujarnya.
Sekitar 60 mualaf Tionghoa yang bergabung dalam grup YHKO Cirebon saling bantu dan patungan. Terakhir, pengurus masjid pusing karena belum memiliki karpet. Tak dinyana, sehari sebelum peresmian yang jatuh pada Sabtu (22/10), seorang mualaf Batak menyumbang karpet.
Baca juga: Energi Keberagaman untuk Pulihkan Ekonomi Cirebon
Berbeda agama
Tidak hanya sesama Muslim, dukungan juga datang dari pemeluk agama lain. Ketika meminta izin memasang toa ke pemilik toko sekitar, misalnya, tak satu pun protes. ”Bahkan, kurma di nasi kotak itu dari tetangga yang Nasrani. Padahal, kami tidak minta,” katanya.
Sebelum membangun masjid, pergulatan mualaf keturunan Tionghoa itu cukup berat. Hj Kristanti (65), salah satu pendiri YHKO Cirebon, mengatakan, sejak 1995 organisasi itu sudah ada di Cirebon. Kantornya di rumahnya yang juga toko di Jalan Plered. Namun, lokasinya kurang ideal.
Ia bersama suaminya, H Andaka Widjadja (72), lalu mengontrak ruko di Jalan Petratean, daerah yang penghuninya banyak keturunan Tionghoa. Saat itu, mereka membuka rumah makan dan organisasi usaha BMT Lautze. Harapannya untuk menjaring orang China belajar tentang Islam.
”Tetapi, ternyata kurang efektif karena bentuk kami bukan masjid. Jadi, orang-orang yang ingin tanya tentang Islam agak segan,” ujarnya. Kesibukan pengurus dan minimnya generasi mualaf Tionghoa di Cirebon juga menyebabkan YHKO sempat mati suri hingga kini mulai bangkit lagi.
Andaka menuturkan, warga keturunan Tionghoa yang ingin memeluk Islam mendapatkan sejumlah tantangan. Ia mencontohkan, kala jadi mualaf awal 1990-an, tidak semua keluarganya mendukung. ”Kakak saya menangis dan bilang dia kehilangan adiknya,” katanya terisak.
”Anak saya yang 10 tahun waktu itu bilang, Papa ini bagaimana?” ucap bapak tiga anak ini. Ia mafhum, banyak orang Tionghoa yang punya pandangan negatif tentang Islam karena belum memahami agama itu. Apalagi, etnis Tionghoa sempat merasakan diskriminasi di negeri ini.
Saat Orde Baru, pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 1967 melarang masyarakat Tionghoa mengekspresikan keyakinan dan adat istiadatnya di ruang publik. Kondisi ini turut memengaruhi pandangan orang Tionghoa pada warga setempat yang Muslim.
”Bahkan, ada juga (keturunan Tionghoa) yang mualaf sempat diusir oleh keluarganya,” ujar Andaka. Namun, hubungan keluarga yang berbeda agama dapat kembali terjalin jika semuanya saling menghargai. Ini, katanya, sesuai ajaran Islam yang memberikan rahmat bagi semesta alam.
Meskipun tak seiman, Andaka tetap berusaha menjadi orang pertama yang menjenguk keluarganya ketika sakit. Begitu pun Harry, yang masih mengantar ibunya ke kelenteng, tetapi tidak ikut berdoa. Sebaliknya, ketika Lebaran, keluarga besarnya yang Tionghoa turut kumpul.
Sejak dahulu
China sejak dahulu sudah mengenal Cirebon. Mengutip manuskrip China, ”Shun-Feng Hsiang-Sun”, yang disusun tahun 1430, instruksi jalur pelayaran dari Shun-t’a (Sunda Pajajaran) ke arah timur menuju Che-Li-Wen atau Cirebon dengan pelabuhan besarnya.
Mukhoyyaroh dalam disertasinya berjudul ”Akulturasi Budaya Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon” tahun 2021 menuliskan, gelombang pertama etnis Tionghoa ke Cirebon pada 1415 saat Laksamana Cheng Ho dan rombongan datang. Mereka adalah Muslim Hanafi.
Mereka sempat shalat di sebuah bangunan yang kini menjadi Kelenteng Talang, sekitar 1,7 kilometer dari Masjid Lautze Cirebon. Muslim Tionghoa, Tan Sam Cai, kemudian membangun kelenteng itu sekitar 1450. Ketika ia wafat, warga menggelar upacara untuk menghormatinya.
Gelombang kedua adalah saat kedatangan Putri Ong Tien, putri Raja Yung Lo, bernama Hong Gie dari Dinasti Ming, akhir abad ke-15. Ong Tien lalu jadi istri Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon yang juga wali sanga atau sembilan ulama besar penyebar Islam di tanah Jawa.
Gelombang ketiga, lanjut mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini, terjadi pada abad ke-18. Warga keturunan China dari Batavia atau Jakarta waktu itu pindah ke Cirebon. Warga setempat dan etnis Tionghoa pun semakin membaur.
Perpaduan Islam dan Tionghoa dalam ritual keagamaan juga terjadi. Pembangunan Kelenteng Jamblang, sekitar 16 kilometer dari Kota Cirebon, misalnya, memakai kayu wuwungan dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid yang diprakarsai Sunan Gunung Jati itu berdiri 1480-an.
Baca juga: Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Warisan Wali untuk Indonesia
Sebaliknya, keramik dari China tertempel di Masjid Merah Panjunan dan Keraton Kasepuhan. Pada 1917, Mayor Tan Tjin Kie, pemimpin Tionghoa di Cirebon dahulu, membangun Masjid Nona yang juga dikenal sebagai Masjid Baiturrahman Sukadana di Kecamatan Pabuaran.
Menurut Mukhoyyaroh, Cirebon telah menjadi tempat akulturasi Tionghoa dan Islam. Uniknya, Tionghoa Muslim melakukan ritual keagamaan, tetapi tidak meninggalkan tradisi adatnya. Saat Imlek, misalnya, keluarga Tionghoa yang berbeda agama tetap bersua.
”Ini merupakan bukti bahwa mereka melakukan penghormatan kepada leluhurnya sekaligus sebagai momen untuk menjaga keharmonisan sesama keluarga walaupun berbeda keyakinan,” tulisnya.
Masjid Lautze 3 kembali menghadirkan wajah Tionghoa yang beragam di Cirebon. Kali ini, keberadaannya semakin banyak dihiasi keberagaman dan kasih sayang sesama manusia.
Lihat juga: Pesan Toleransi dari Keramik