Tim sepeda Chasing the Shadow Greenpeace yang sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bali untuk menyuarakan krisis iklim di G20 dihadang dan diintimidasi sejumlah orang dari organisasi masyarakat di Probolinggo.
Oleh
DEFRI WERDIONO, DAHLIA IRAWATI, RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Tim sepeda Chasing the Shadow Greenpeace yang sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Pulau Bali, Senin (7/11/2022), dihadang dan diintimidasi oleh sejumlah orang dari organisasi masyarakat di Probolinggo, Jawa Timur. Tim sedianya akan menggelar kegiatan terkait krisis iklim saat perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 berlangsung. Pihak kepolisian menyatakan belum mendapat laporan adanya penghadangan itu.
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya, saat dihubungi, Selasa (8/11/2022), mengungkapkan, ada sekelompok orang dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) yang datang ketika tim Chasing the Shadow Greenpeace sedang makan di Probolinggo.
”Saat teman-teman sedang makan ada sekelompok orang dari beberapa ormas TKN (Tapal Kuda Nusantara). Mereka menyampaikan (kami) tidak boleh di Probolinggo, harus pergi. Juga ada intimidasi di video ‘Kalau ada apa-apa, kalau di sini kita (mereka) tidak tanggung jawab’,” ujarnya.
Tim Chasing the Shadow Greenpeace kemudian bergeser ke penginapan. Namun, sampai di penginapan, tim dikepung oleh orang-orang dan dipaksa menandatangani pernyataan bahwa Greenpeace tidak akan berkampanye sampai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 selesai. ”Dan, teman-teman terpaksa menandatangani,” ucapnya.
Tim sepeda Chasing the Shadow Greenpeace berangkat dari Jakarta pada 15 Oktober dan berencana sampai di Bali sebelum pelaksanaan KTT G20. Menurut Tata, yang pihaknya lakukan adalah aksi damai, kreatif, dan terbuka. Saat singgah di lima kota besar, mereka menyelenggarakan aktivitas kreatif, yakni pertunjukan musik, diskusi publik, dan workshop atau lokakarya.
Tata mengklaim pihaknya juga menyampaikan solusi soal transisi energi terutama dari fosil ke energi terbarukan. ”Itu kegiatan menyampaikan kepada publik dan pengambil kebijakan bahwa krisis iklim di kita sudah sangat mendesak,” ujarnya.
Namun, saat baru sampai di Bandung, lanjut dia, tim sudah mulai dipantau. Polisi mengontak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Bandung. Walhi kemudian menghubungi Tata menanyakan posisi sudah sampai mana.
Ketika sampai Semarang, pantauan semakin intens. Tata mengatakan, pihaknya mulai dimonitor, dan bisa dikatakan cenderung intimidatif. ”Ada tujuh polisi yang datang ke acara kami di radio anak muda. Kan, audiensnya anak muda, kalaupun diskusi, diskusi ringan,” ucapnya.
Saat itu tim mulai ditempel. Saat diskusi ada polisi. Tim juga beberapa kali diikuti orang-orang tidak berseragam bahkan sampai ke minimarket dan penginapan.
Ekskalasi semakin meningkat saat di Surabaya. Bahkan, saat itu sudah ada berita di media yang menyatakan keberatan dari organisasi massa tertentu. ”Bahkan, polisi sampai tanya siapa saja yang nginap? Pembicaranya di kamar berapa? dan benar-benar menempel selalu mix dengan yang berpakaian preman. Mobil kami juga diikuti,” katanya.
Pada titik tersebut, Tata mengatakan, pihaknya menilai hal tersebut sudah mencederai kebebasan berpendapat dan beraktivitas. Adapun tujuan mereka ke Bali adalah untuk menyampaikan pesan terkait kampanye perubahan iklim, dan bukan kegiatan penggalangan massa yang berupaya mengganggu konferensi.
”Kita ingin sampaikan ke pemimpin G20. G20 ini penting karena 80 persen ekonomi ada di G20. Emisi global juga begitu. Di Indonesia juga transisi energi butuh pembiayaan bisa melalui G20. Itu sebenarnya yang ingin kita dorong,” katanya.
Terkait tindakan yang dialami, pihaknya ingin menyampaikan protes keras dan keberatan kepada Kepala Polri serta Kepala Polda Jawa Tengah dan Jawa Timur. ”Saya kira polisi gagal berikan rasa aman kepada kami. Hal yang terjadi pada tim kemarin bisa terjadi pada semua orang,” ujarnya.
Ini mencerminkan kegagalan memahami demokrasi secara subtansif, penyampaian aspirasi di G20. (Tata Mustasya)
Akibat penghadangan ini, menurut Tata, pihaknya tidak melanjutkan kegiatan bersepeda ke Bali. Kegiatan Greenpeace di Bali pun dibatalkan lantaran tidak mendapat izin.
”Ini mencerminkan kegagalan memahami demokrasi secara subtansif, penyampaian aspirasi di G20. Apalagi, ini aspirasi yang kreatif, bukan demo yang gimana,” katanya. Ia menilai Pemerintah Indonesia paranoid terhadap kebebasan berpendapat.
Sementara itu, saat dikonfirmasi melalui Whatsapp, Kepala Kepolisian Resor Probolinggo Kota Ajun Komisaris Besar Wadi Sa’bani mengatakan, hasil pengecekan ke anggota tidak ada laporan dari masyarakat (Greenpeace) terkait penghadangan. Wadi berada di Banyuwangi sejak Minggu (6/11/2022) untuk membantu pengamanan KTT.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Dirmanto. Menurut dia, pihaknya belum menerima laporan terkait kasus penghadangan aktivis lingkungan oleh sekelompok orang di Probolinggo.