Pemuda Suarakan Krisis Iklim, dari Kayuhan Sepeda hingga Sajian di Meja Makan
Pemuda menempuh ratusan kilometer untuk menyuarakan krisis iklim. Lewat kayuhan sepeda dan sajian di meja makan, mereka mengingatkan akan masa depan yang suram jika tidak dilakukan pembenahan sejak sekarang,
Rafii Fujiberkah (25) adalah satu dari tiga orang yang mengikuti kegiatan bertajuk Chasing the Shadow yang dilepas dari Jakarta, Minggu (16/10/2022). Dia bersama dua rekan lainnya dari Jakarta, Kania Yuthika dan Iman Sulaeman, melintasi rute sejauh 152 kilometer selama lima hari menuju Bandung. Meski tidak terlalu jauh, sejuta masalah terkait dunia yang kian muram ia saksikan dan membuatnya resah.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Greenpeace ini bertujuan untuk mengampanyekan isu perubahan iklim. Perjalanan dibagi menjadi beberapa etape, mulai dari Jakarta menuju Bandung, lalu ke Semarang, Surabaya, Celukan Bawang di Buleleng, dan berakhir di Denpasar, Bali. Jaraknya diperkirakan lebih dari 1.000 kilometer.
Sejauh ini, ada 10 pesepeda yang akan ikut serta. Dari Jakarta ada 3 orang, Bandung 3 orang, Semarang 2 orang, dan Surabaya 2 orang. Namun, jumlahnya bisa bertambah dan berkurang hingga pesepeda direncanakan tiba di Bali pada 11 November 2022.
Akan tetapi, belum sampai Bali, Rafii sudah dipaksa mengelus dada melihat kondisi bumi dan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Perjalanan yang diawali dari rute Jakarta-Bandung itu bergerak ke arah utara. Tim menuju Marunda di Jakarta Utara dan Muara Gembong di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Baca juga : Generasi Muda Perlu Mendapat Pendidikan tentang Krisis Iklim
Di Marunda, Rafii menyaksikan debu batubara yang menempel di daun pintu hingga daun pepohonan. Salah satunya di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda, dia melihat kehidupan yang sulit dan menyesakkan dada.
Kondisi ini membuat kesehatan masyarakat terancam. Berdasarkan laporan Greenpeace yang bertajuk ”Pembunuh Senyap di Jakarta”, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di sekitar Jakarta dapat memicu 10.600 kematian dini. Bahkan, kondisi ini juga menyebabkan 2.800 kelahiran dengan berat lahir rendah per tahun, dan hampir setengah dampak ini terjadi di Jabodetabek.
”Sebelumnya, enggak kepikiran. Di Rumah Susun Marunda, kalau kita pegang dinding, itu (debu) hitam, tebal. Saya lihat anak-anak kecil mengucek mata, matanya merah. Sampai hari ini masih ada,” ujarnya saat ditemui di Bandung, Sabtu (22/10/2022).
Di Muara Gembong, Bekasi, mereka pun melihat kenyataan pahit. Tanah-tanah warga di pesisir tenggelam karena abrasi. Bahkan, mereka menghadapi banjir rob yang rutin merendam daerah tersebut.
”Warga cerita, 2004 orang-orang masih bermain di pantai. Sekarang semua tenggelam. Warga di sana pasrah, yang tadinya nelayan ada yang enggak dapat ikan lagi karena sulit melaut,” ujarnya.
Kondisi ini menguatkan hasil penelitian dari Greenpeace Asia Timur terkait kenaikan permukaan laut yang ekstrem. Penurunan yang diiringi banjir rob ini bahkan mengancam 15 juta penduduk di tujuh kota besar Asia pada 2030.
Selain Jakarta, kota besar yang terdampak adalah Hong Kong, Seoul, Tokyo, Manila, dan Bangkok. Dampak perubahan iklim ini juga berpotensi menurunkan produk domestik bruto (PDB) hingga 724 miliar dollar AS.
Setelah dari Muara Gembong, Rafii dan pesepeda lainnya bergerak ke selatan menuju Bandung. Dalam perjalanan ini, dia melihat sejumlah hamparan sawah yang hijau berbagi tempat dengan beton-beton yang tinggi menjulang.
Bercerita
Rafii menceritakan beragam kisah ini dalam diskusi bertajuk ”Krisis Iklim di Meja Makanmu” di Selasar Sunaryo, Kota Bandung, Sabtu sore. Kota ini menjadi pemberhentian pertama untuk menceritakan pengalaman para pesepeda sebagai saksi perubahan iklim selama perjalanan.
Puluhan peserta mendengar dengan raut wajah serius. Diskusi berlangsung hangat meskipun Bandung sore itu diselimuti mendung dan hujan di pengujung hari.
Sebagai orang yang giat bepergian (traveler), Rafii tergerak saat diajak kampanye perubahan iklim dari Greenpeace ini. Setahun sebelumnya, dia juga bersepeda selama tujuh bulan di Sulawesi.
”Tahun 2021, saya bersama beberapa teman bersepeda menjelajah Pulau Sulawesi. Saat itu, kami juga mendengar keresahan masyarakat terkait kerusakan lingkungan, seperti pertambangan,” paparnya.
Pengalaman itulah yang membuat Rafii lebih ingin menyuarakan kelestarian alam dan isu-isu lingkungan lainnya. Tanpa berpikir panjang, dia pun langsung menyanggupi ajakan Greenpeace yang baru disampaikan beberapa hari sebelum kegiatan dimulai.
”Dengan cerita sampai gambar selama di perjalanan, saya ingin mengabarkan ke orang-orang, perubahan iklim itu ada dan nyata. Pegal sedikit enggak apa-apa,” ujarnya sambil tertawa.
Baca juga : Skuter Listrik, Mobilitas Jarak Pendek nan Eksentrik
Meja makan
Kesaksian Rafii di Muara Gembong terkait nelayan yang sulit melaut hingga peralihan fungsi lahan disambut dengan paparan terkait isu pangan dalam perubahan iklim yang ada dalam diskusi itu. Menurut dosen antropologi Universitas Padjadjaran, Hardian Eko Nurseto, kondisi ini membuat masyarakat mau tidak mau beradaptasi, bahkan dari meja makan.
Perubahan iklim yang diperparah dengan cuaca ekstrem dapat berdampak pada produktivitas yang berkurang. Sebagai contoh, berdasarkan penelitian Journal of Agricultural Meteorology, produktivitas tanaman padi Ciherang, salah satu jenis padi yang ditanam di Indonesia, akan menurun hingga 30 persen.
Penurunan tersebut diperkirakan bakal terjadi dalam 20 tahun mendatang dibandingkan panen 1998-2002. Namun, Seto melihat perubahan ini masih belum dirasakan karena stok pangan masih bisa dijangkau masyarakat. ”Walaupun banyak nelayan yang tidak melaut, ikan tetap tersaji di meja makan. Tapi, bukan berarti harus mengabaikan. Jangan sampai semua sadar saat semua menghilang,” ujarnya.
Ancaman krisis pangan ini, lanjut Seto, bisa diantisipasi dengan memperkenalkan kembali pangan alternatif. Tidak perlu mendatangkan dari luar, sumber pangan yang dahulu dikonsumsi nenek moyang, seperti ketela, tetap menjadi sumber gizi yang baik untuk masyarakat.
”Manusia itu bisa beradaptasi di saat ada perubahan. Namun, sebelum itu terjadi, kita juga perlu kembali lagi menggunakan bahan pangan di sekitar. Itu juga mengurangi ketergantungan pangan. Kalau ada banyak alternatif, kelangkaan tidak akan terjadi," ujarnya.
Adaptasi
Tidak hanya pangan alternatif, adaptasi terhadap perubahan iklim juga bisa dilakukan dengan energi terbarukan untuk mengurangi emisi karbon. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyebut, energi karbon hingga gaya hidup saat ini membawa dampak kerusakan lingkungan dan pemanasan global.
”Tidak ada satu pun wilayah di dunia yang bisa lolos dari ancaman krisis iklim, termasuk Indonesia. Aksi individu penting untuk dilakukan, tetapi diperlukan perubahan skala besar yang harus dilakukan pemerintah melalui kebijakan yang dibuat,” ujarnya.
Dalam Climate Change Center ITB International Webinar 2022, Jumat (21/10/2022), Manajer Pengelolaan Perubahan Iklim PT PLN Kamia Handayani juga melihat pentingnya adaptasi di samping mitigasi. Apalagi, pemodelan sistem ketenagalistrikan pada sektor energi sangat rentan perubahan iklim.
”Dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap rantai pasok dan distribusi listrik, seperti hujan deras, gelombang panas, kekeringan, dan sebagainya,” paparnya.
Baca juga : Harapan Kemandirian Energi Terbarukan dari Jabar Selatan
Menurut Kamia, Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan penggunaan listrik 1,3 megawatt (MW) per jam per kapita per tahun. Di sisi lain, penggunaan batubara sebagai sumber pasokan energi di Indonesia mencapai 60-70 persen hingga 2050. Sementara itu, penggunaan gas hanya 20 persen dan sisanya dari energi terbarukan.
”Sinergi mitigasi-adaptasi akan mengurangi terkurasnya sumber energi dengan pemilihan alternatif pembangkit lain, seperti angin dan matahari. PLN melakukan kajian kerentanan dan memasukkan aspek perubahan iklim ke perencanaan kerja perusahaan,” kata Kamia.
Kepedulian pemuda
”Masih belum banyak pemuda sekarang yang peduli krisis iklim. Kalau saya bercerita dan memperlihatkannya di media sosial, mudah-mudahan itu bisa jadi pengingat dan membuat semua sadar,” ujar Rafii.
Menumbuhkan kepedulian terhadap perubahan iklim juga menjadi alasan Fanisya Ramagianti (21), pesepeda asal Bandung, untuk ikut dalam kegiatan ini. Aktif di Instagram dengan pengikut lebih dari 30.000 akun, dia bakal menceritakan setiap aktivitasnya selama bersepeda dengan membawa isu-isu lingkungan di media sosial tersebut.
”Aku suka hal baru terkait lingkungan. Dari kecil, aku suka ikut kegiatan menanam pohon dan lainnya. Sekarang dengan kegiatan ini, aku akan mengunggah video setiap hari agar orang-orang bisa melihatnya dan harapannya ada tujuan itu (kepedulian),” tutur pemilik akun Instagram @fanisssya ini.
Gema isu krisis iklim ini menjadi lebih nyaring saat para pemuda melihat langsung dan mengabarkannya kepada dunia dengan media sosial. Generasi penerus bangsa yang bakal memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober nanti bisa mendorong semua pihak untuk lebih sadar dan peduli terhadap bumi.
Baca juga : Kisah Penjaga Masa Depan Jabar Selatan