Situs Bersejarah di Palembang Didorong Menjadi Cagar Budaya
Desakan dari beragam pihak kian gencar mendorong sejumlah tinggalan sejarah di Palembang ditetapkan sebagai cagar budaya. Langkah ini penting sebagai upaya perlindungan dari ancaman pembangunan yang serampangan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penunjukan Palembang, Sumatera Selatan, sebagai tuan rumah Rapat Kerja Nasional ke IX Jaringan Kota Pusaka Indonesia menjadi momen yang tepat untuk mengajukan sejumlah tinggalan sejarah di Palembang menjadi bangunan cagar budaya. Langkah ini menjadi upaya perlindungan benda-benda bersejarah agar tidak dihancurkan.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Palembang Retno Purwanti, Jumat (4/11/2022), mengatakan, walau menjadi kota tertua di Indonesia, Palembang hanya memiliki satu bangunan cagar budaya tingkat kota, yakni Pasar Cinde. ”Padahal, potensi cagar budaya di Palembang sungguh berlimpah,” ucapnya.
Ia mengalkulasi bangunan diduga cagar budaya di Palembang setidaknya ada 66 situs. Situs tersebut memiliki nilai sejarah dan nilai edukasi yang sangat tinggi. Misalnya, Benteng Kuto Besak, Masjid Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo Palembang, Situs Pemakaman Ki Gede Ing Suro, dan Makam Sabokingking.
Keempat situs tersebut sebenarnya sudah diajukan ke Wali Kota Palembang untuk ditetapkan menjadi cagar budaya. Namun, sampai saat ini belum ada realisasinya.
”Momen rakernas Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) IX seharusnya dimanfaatkan untuk mengajukan situs tersebut menjadi cagar budaya,” ujar Retno.
Memang keempatnya sudah pernah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 5 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut, semua cagar budaya di segala tingkatan ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Meski demikian, ada aturan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. Di UU itu tertulis, sebuah cagar budaya dapat ditetapkan melalui sejumlah tingkatan atas rekomendasi TACB. ”Karena itu, penetapan status cagar budaya harus segera diperbarui,” ucapnya.
Retno menilai status sebagai cagar budaya akan sangat berperan dalam pelestarian bangunan bersejarah. ”Saya ingin merekomendasikan agar Palembang memiliki sejumlah kawasan cagar budaya sehingga tidak hanya melindungi satu bangunan, tetapi bisa melindungi beberapa bangunan yang berdiri di sebuah kawasan yang memiliki nilai sejarah yang kuat,” ujarnya.
Jika tidak dilindungi, dikhawatirkan akan terjadi perombakan terhadap bangunan bersejarah sehingga nilai sejarah yang ada di dalamnya pun ikut lenyap. ”Pengembangan bangunan bersejarah memang diperbolehkan, tetapi bukan untuk dihancurkan,” ujar Retno.
Retno berharap kasus Pasar Cinde menjadi satu-satunya kisah kelam terhadap bangunan bersejarah. Pasar yang memiliki kekhasan dengan tiang cendawan itu telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya oleh pemerintah kota melalui Surat Keputusan Wali Kota Palembang Nomor 179.a/KPTS/DISBUD/2017. Walau sudah ditetapkan, Pasar Cinde masih dihancurkan. ”Oleh karena Pasar Cinde sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, proses penghancuran itu bisa masuk ranah pidana,” ujar Retno.
Desakan ini juga diperkuat pegiat budaya dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Wanda Lesmana. Dia menyatakan, Palembang memiliki ratusan bangunan diduga cagar budaya yang berpotensi untuk diajukan sebagai cagar budaya. ”Hanya saja, baru Pasar Cinde yang sudah berstatus cagar budaya,” ungkapnya.
Kondisi ini berbeda dengan wilayah lain, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menjadikan ratusan benda bersejarah menjadi cagar budaya. Tujuannya tidak lain untuk melindungi cagar budaya dari risiko pembangunan yang serampangan. Menurut dia, masih sedikitnya cagar budaya di Palembang itu hanya disebabkan ketidaktahuan pemerintah daerah mengenai mekanisme penetapan.
Kami berharap agar pemerintah kota benar-benar memperhatikan semua cagar budaya karena itu adalah identitas kota Palembang. (Febri Irwansyah)
Wanda berharap agar usulan untuk menetapkan sejumlah banguann menjadi cagar budaya bisa direalisasikan agar tinggalan bersejarah di kota tertua di Indonesia ini tidak lenyap. ”Pelibatan TACB dan juga pihak independen perlu diperkuat untuk memberikan kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan,” ujarnya.
Budayawan Palembang, Febri Irwansyah atau yang kerap disapa Febri Al Lintani, menilai, saat ini banyak bangunan bersejarah di Palembang tidak terurus karena salah pengelolaan. Misalnya, balai pertemuan yang ada di kawasan Benteng Kuto Besak akhirnya tidak terurus setelah dikelola pihak ketiga. Padahal, Balai Pertemuan tersebut merupakan saksi sejarah perjalanan kota Palembang di masa kolonial.
Sebelumnya ada usulan agar bangunan tersebut dijadikan cagar budaya dan dimanfaatkan untuk kegiatan berkesenian para seniman di Palembang. Namun, usulan tersebut tidak terealisasi. ”Kami berharap agar pemerintah kota benar-benar memperhatikan semua cagar budaya karena itu adalah identitas kota Palembang,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) Nanang Asfarinal mengatakan, kota pusaka memiliki kekuatan besar untuk menarik minat para wisatawan. Para wisatawan terutama dari Eropa sangat tertarik dengan wisata sejarah terutama kota-kota lama.
Namun, masih ada pemerintah daerah yang menganggap bangunan bersejarah sebagai sampah sehingga mengubahnya menjadi bangunan baru yang miskin makna. Karena itu, penguatan narasi perlu dilakukan agar sebuah bangunan bersejarah memiliki nilai tambah. Selain itu, balutan teknologi kekinian juga perlu disematkan agar bisa memberikan kesan bagi para wisatawan.
”Palembang memiliki potensi besar karena memiliki cerita sejarah yang sangat panjang. Inilah yang harus diperkuat agar bisa mendatangkan geliat ekonomi di daerah,” ucapnya.
Wali Kota Palembang Harnojoyo berkomitmen untuk mengembangkan potensi tempat-tempat bersejarah di Palembang. Dia menyadari wisata sejarah menjadi potensi yang besar ke depannya.
”Rakernas IX JKPI di Palembang saja sudah mendatangkan tamu hingga 10.000 orang. Ini tentu menjadi berkah tersendiri bagi UMKM di Palembang,” ucapnya.
Dia berencana membentuk tim khusus untuk memperkuat narasi tinggalan bersejarah agar menjadi daya tarik bagi wisatawan dan membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar. ”Palembang memiliki sejarah panjang dari Kedatuan Sriwijaya hingga masa Kolonial,” ujarnya.