Krisis Global Jadi Peluang Pengembangan Wisata Sejarah dan Budaya
Resesi dan krisis global yang diprediksi akan terjadi tahun depan menjadi peluang besar untuk pengembangan wisata sejarah di kota-kota pusaka. Optimisme itu muncul karena Indonesia memiliki aset yang berlimpah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Resesi dan krisis global yang diprediksi akan terjadi tahun depan menjadi peluang besar untuk pengembangan wisata sejarah di kota-kota pusaka. Optimisme itu muncul karena Indonesia disokong dengan pasar domestik dan narasi sejarah yang kuat. Diperlukan komitmen bersama dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mulai mengumpulkan aset-aset sejarah yang berpotensi menjadi obyek wisata yang diminati wisatawan demi kemajuan daerah setempat.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Presidium Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) Bima Arya Sugiarto dalam Rapat Kerja Nasional ke-IX JKPI di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (3/11/2022). Ratusan pegiat budaya, termasuk beberapa kepala daerah anggota JKPI, hadir dalam Rakernas tersebut.
Bima menyebut ancaman resesi dan krisis global yang diperkirakan terjadi tahun depan bisa menjadi peluang besar untuk memajukan pariwisata sejarah di kota-kota pusaka. ”Ketika resesi terjadi, akan banyak orang yang mencari tempat wisata yang unik dan murah meriah. Peluang besar inilah yang harus direngkuh bersama,” ucap Bima yang juga menjabat sebagai Wali Kota Bogor itu.
Menurut dia, daerah anggota JKPI memiliki peluang besar untuk mewujudkan potensi tersebut. Dia mencontohkan Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat, yang dikaruniai situs warisan dunia yang ditetapkan Unesco pada 2019, yakni tambang batubara Ombilin. Kondisi ruang bawah tanahnya sudah seperti kota. ”Tampilannya seperti dalam film Indiana Jones. Ini tentu akan menjadi daya tarik bagi wisatawan,” ucapnya.
Atau Tjong A Fie’s Mansion, sebuah bangunan tua bergaya arsitektur Tionghoa yang berdiri di tengah Kota Medan, Sumatera Utara. Bangunan ini memiliki narasi kuat soal kedermawanan sang pemilik bangunan yang kerap membantu kaum duafa tanpa membeda-bedakan. Sama halnya dengan Kota Palembang yang dulu dikenal dengan julukan ”Venesia dari Timur” karena memiliki ratusan anak sungai yang mengalir di dalam kota Palembang. ”Jika kita kumpulkan, Indonesia memiliki ratusan situs pusaka yang bisa menjadi daya tarik pariwisata,” ujar Bima.
Dia menilai, ada dua keunggulan kota pusaka Indonesia dibandingkan dengan kota-kota di negara lain, sebut saja Thailand dan Vietnam. Keunggulan tersebut adalah adanya narasi sejarah yang kuat.
Narasi ini penting untuk memberikan pengetahuan dan wawasan baru bagi para pelancong ketika mengunjungi sebuah kota. ”Kalau anak sekarang menyebutnya content is everything (konten adalah segalanya),” ujarnya. Bahkan, beberapa kota di dunia tidak memiliki narasi yang kuat sehingga mereka harus mencari data lebih lama atau bahkan membuat narasi artifisial sendiri sebagai daya pikat wisata.
Selain itu, Indonesia juga dikaruniai dengan pasar domestik yang melimpah. Misalnya, Sumatera Barat yang memiliki pangsa pasar wisata tersendiri, yakni para perantau yang ingin pulang kampung. ”Bahkan, ada yang bilang, jumlah perantau dari Minang empat kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan penduduk Minang sendiri,” ucapnya.
Kekayaan inilah yang harus dimanfaatkan untuk menggerakkan roda perekonomian daerah. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah mewanti-wanti agar pemerintah daerah memanfaatkan 40 persen produk lokal agar dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional hingga 1 persen. ”Saya yakin, jika aset sejarah ini dikelola dengan baik dan serentak, dampaknya akan lebih dari 1 persen,” tutur Bima.
Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, ujar Bima, beragam kendala ditemui, seperti kurangnya komitmen pemerintah untuk mengusung kebudayaan dan sejarah sebagai pendorong pariwisata potensial. Ketika pemerintah daerahnya berkomitmen memajukan wisata budaya, tidak didukung oleh pemerintah pusat.
Begitu juga sebaliknya, ketika pemerintah pusat sudah bersemangat mengusung program itu, tidak disambut oleh pemerintah daerah. ”Karena itu, komitmen bersama itu sangat penting," ucapnya.
Selain itu, permasalahan infrastruktur juga menjadi kendala utama. Banyak titik pusaka potensial tidak disokong oleh sarana infrastruktur yang memadai sehingga potensinya tidak terjamah sama sekali. Masalah lain adalah kekuatan hukum di banyak tempat yang berpotensi dikembangkan sebagai wisata pusaka dimiliki oleh pribadi sehingga pemerintah sulit melakukan intervensi.
Menghadapi masalah itu perlu ada kolaborasi yang kuat agar kekayaan tersebut dapat termanfaatkan dengan baik. ”Kekayaan dan sumber alam akan habis, tetapi kekayaan kebudayaan akan terus abadi, bahkan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya," ucap Bima.
Wali Kota Palembang Harnojoyo menyatakan, pihaknya akan segera membentuk tim untuk mencari data narasi mengenai aset sejarah dan budaya yang ada di Palembang. Dengan begitu, diharapkan akan muncul tempat wisata baru yang bisa menarik minat wisatawan.
Palembang sebagai kota tertua di Indonesia memiliki cerita panjang yang luar biasa. Di sinilah pusat Kedatuan Sriwijaya berdiri, bahkan tinggalan-tinggalan dari masa selanjutnya, Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam, masa kolonial Belanda dan Jepang juga ada di kota ini. Tinggal bagaimana cara mengemasnya sehingga memberikan daya tarik bagi warga yang datang.
Terhitung ada 66 situs diduga cagar budaya di Palembang. Namun, tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai situs cagar budaya tingkat kota.
Menurut Harnojoyo, kekayaan pusaka sangatlah besar manfaatnya karena, ketika ada festival kebudayaan, mampu mendatangkan wisatawan. Pada Rakernas JKPI kali ini saja, ujar Harnojoyo, diprediksi bisa mendatangkan tamu hingga 10.000 orang dengan potensi uang berputar hingga Rp 10 miliar. Ini tentu akan mendatangkan berkah bagi para pelaku UMKM dan semua pihak yang berkecimpung di dalamnya.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Palembang Retno Purwanti berharap dipilihnya Palembang sebagai tuan rumah JKPI bisa menjadi tonggak awal komitmen pemerintah kota untuk mulai memerhatikan pelestarian cagar budaya yang ada di wilayahnya. ”Walau diusung kota tertua, nyatanya belum ada satu situs pun yang menjadi cagar budaya tingkat kota,” ucapnya.
Padahal, potensi situs cagar budaya di Palembang cukup besar. Pada pendataan tahun 2004, terhitung ada 66 situs diduga cagar budaya di Palembang. Namun, tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai situs cagar budaya tingkat kota.
Sampai saat ini, baru Pasar Cinde yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun, kondisi bangunanya telah hancur karena akan dijadikan pasar tradisional walau hingga kini belum terealisasi.
Di sinilah diperlukan peran pemerintah untuk melindungi potensi cagar budaya dan melestarikannya agar bisa dijadikan obyek wisata baru yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah.